Kami mengawali sesi pada hari ke delapan Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) dengan pemutaran film berjudul Precious. Film genre drama yang bercerita tentang kehidupan seorang perempuan muda bertubuh besar bernama Precious. Film ini memenangkan dua piala Oscar untuk kategori Best Performance oleh Mo’Nique (ibu Precious) dan Best Writing skenario berdasarkan material yang sudah diproduksi dan dipublikasikan sebelumnya. Film ini berdasarkan cerita dari sebuah novel berjudul Push yang ditulis oleh Sapphire pada tahun 2009. Peserta dan panitia tampak antusias menikmati film ini. Sesekali ada suara histeris, memaki karena jengkel bahkan memeluk teman yang berada disampingnya saat melihat agedan yang memancing emosi mereka dalam film tersebut.

Life is hard. Life is short. Life is painful. Life is rich. Life is….Precious.”

Lima kalimat tersebut adalah tagline film ini. Hidup Precious digambarkan dengan berbagai macam masalah.

Claireece Precious Jones, perempuan berumur 16 tahun. Obesitas dan buta huruf. Cerita ini digambarkan pada tahun 1987 di lingkungan Harlem Kota New York. Precious hidup di sebuah keluarga yang mengalami disfungsi. Dia korban pemerkosaan oleh ayahnya, Carl. Sedangkan ibunya, Mary melakukan kekerasan fisik dan mental kepadanya.

Beberapa peserta terlihat meneteskan air mata atau ada yang sekedar menghela nafas panjang saat menyaksikan agedan yang sangat mengharukan. Bagaimana Precious mendapat penyiksaan mental dan fisik oleh ibunya sendiri. Atau jika dia menjadi bahan ejekan oleh beberapa pemuda saat dia berjalan membawa badan gemuknya. Precious punya mendapatkan semangatnya untuk berjuang menjadi tegar ketika mengikuti sebuah sekolah alternatif bersama beberapa perempuan muda lainnya yang dianggap bermasalah.

Sebelumnya, Precious dipindahkan dari sekolahnya karena mengalami kehamilan dua kali. Precious belajar bertahan dan terbukti dia mampu dengan mendapat dukungan dari guru dan teman-temannya. Film ini berakhir dengan adegan yang menampilkan sosok Precious yang berbeda dari cerita pada bagian awal. Dia menggandeng seorang anak perempuannya yang mengalami Down Syndrome dan menggendong anak laki-lakinya sambil berjalan penuh kekuatan. Dan dia menang meski pada akhirnya dia tahu bahwa dia terjangkit HIV-AIDS. Kami semua tepuk tangan melihat adegan tersebut.

Film ini adalah salah satu bahan diskusi bersama semua peserta. Diskusi diharapkan berhubungan dengan materi selanjutnya yakni Body Image. Sambil menikmati coffee break, diskusi dimulai.

Iwan Kapit, fasilitator  diskusi dibantu oleh Sartika Nasmar. “ Apa tanggapan kalian terhadap film tersebut? “ pertanyaan pertama dari Sartika Nasmar.

“Melihat film ini, mungkin saya, dan lain – lain bertanya apa tipe perempuan Indonesia?
Ya tipe perempuan Indonesia itu putih, rambut panjang, manut, kalo dipecah ya kulit putih dan rambut panjang itu Eropa, kalo manut itu Jawa, jadi perempuan Indonesia itu Eropa dan Jawa,” kata Agung.

Endang Fatmawati juga memberikan tanggapannya, “ Ada adegan dimana dia (Precious) terlihat membayangkan kalau dia berkulit putih dengan tubuh langsing. Kemudian dia mengalami tekanan, kekerasan seksual, trauma, tapi dia adalah perempuan hebat,”

Indri  Susanti terlihat menangis saat menyaksikan film ini. Tak mau ketinggalan, kali ini microfon ada di tangannya dan mengeluarkan suara dengan mengatakan bahwa film Precious  sangat menyentuh. Jauh dari bayangan Indri. Dalam kehidupan sehari-harinya, Indri sadar bahwa setelah menyaksikan Precious, hal ini bisa saja terjadi dalam kehidupan seseorang. Ini seperti realitas.

“Ini bukanlah hal yang mudah. Dengan melihat kondisi Precious yang masih sangat muda dan mengalami kekerasan dan pelecehan seks yang dilakukan oleh justru orang-orang terdekatnya,” kata Hendra.

Una menanggapi berbeda. Menurut peserta termuda di SSKR ini, kita seharusnya tidak sepenuhnya menyalahkan ibu Precious dengan tekanan mental yang dia lakukan kepada Precious. “Mungkin lebih baik menyalahkan ayahnya, bunuh aja kalo perlu,” tegas Una. Mengenai Body Image, lanjut Una, terjadi karena adanya pengaruh media selama ini dimana mereka menciptakan sosok perempuan cantik dengan memberi gambaran bahwa harus dengan tubuh yang langsing, kulit putih dan rambut panjang. “Padahal perempuan cantik itu kan gak seperti itu,” kata Una.

Yemmestri Enita kemudian menambahkan. Nita mengatakan bahwa cerita Precious sangat kompleks. Ada pelecehan seksual, penyakit menular seksual, kekerasan, tapi ada hal yang menarik dimana ini kemudian tidak ditemukan di Indonesia. Di Indonesia, siswi seumuran Precious atau pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mengalami kehamilan pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Kalau di luar negeri, tidak seperti itu. Siswi akan dipindahkan dan disekolahkan di sekolah alternatif, seperti yang dialami Precious. Menurut Nita, ini menarik karena selain belajar, Precious diberikan konseling dan pendampingan. “Yang awalnya wajahnya (Precious) tegang, diakhir wajahnya bisa senyum. Nah itu cermin perempuan yang kuat!” kata Nita.

Menyambung pernyataan Nita, Syaiful Huda menambahkan. Pria yang akrab disapa Itong ini mengatakan bahwa kasus-kasus seperti yang dikatakan Nita banyak terjadi di negara ini. “Ini adalah ketidakadilan gender. Perempuan hamil, harus keluar dari sekolah sementara cowoknya bisa tetep sekolah,”

Tubuh adalah milik setiap pemiliknya. Namun, pencitraan tubuh kadang ditentukan oleh siapa yang melihatnya dan melupakan siapa pemiliknya. Setiap orang punya hak atas tubuhnya.  Postur tubuh gemuk, kurus, langsing, tinggi, pendek, dalam keadaan hamil dengan perut buncit adalah image dan akan mempengaruhi kehidupan sosial seorang perempuan.  Siapa yang seharusnya mengatakan bahwa tubuh anda adalah tubuh yang ideal? Anda. Pemilik tubuh anda. Bukan media, bukan pasangan atau orang lain.

Sesi diskusi film Precious berakhir. Sesi pertama di hari Minggu, 23 Mei ini diakhiri dengan menghukum Angga Yudhi bergoyang. Dia datang terlambat dan wajib memberikan hiburan untuk peserta dan panitia. Sebuah lagu dangdut diputar, Angga bergoyang meski masih tampak malu sambil melempar senyum dan sesekali berhenti dan tertawa. Peserta yang lain menyemangati dengan memberi tepuk tangan. Kami tertawa bersama.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here