“Kesetaraan gender yang sesungguhnya tidak akan terjadi selama perempuan tidak mendapat akses aborsi yang aman dan legal”.

Kalimat diatas merupakan potongan dari pembukaan Airlie Declaration, sebuah deklarasi yang disepakati tanggal 25 Maret 2014 lalu pada pertemuan di Airlie Center, Virginia Amerika Serikat. Perumusan Deklarasi Airlie tersebut ditandatangani oleh organisasi-organisasi dan para tokoh yang bergerak di isu kesehatan reproduksi, termasuk aborsi aman dan legal dari berbagai negara, diantaranya Elizabeth Maguire (Presiden dan CEO IPAS, Amerika Serikat), Hon. Nana Oye Lithur (Menteri Perlindungan Anak, Gender dan Sosial, Ghana), Beatriz Galli (Penasehat senior IPAS, Brazil), Kenneth Keng (Direktur Advokasi Kesehatan Reproduksi, Filipina) dan Inna Hudaya, pendiri sekaligus direktur Samsara, Indonesia.

ABLawsDeklarasi Airlie didasari keresahan bersama atas kriminalisasi aborsi dan tidak tersedianya akses aborsi yang aman dan legal di banyak negara. Dalam dua dekade terakhir, satu juta perempuan mati dan sekitar 100 juta perempuan mengalami komplikasi akibat aborsi yang tidak aman. Setengah dari mereka yang mati karena aborsi tidak aman berumur dibawah 25 tahun. Kriminalisasi aborsi tidak menghentikan aborsi, justru malah mengarahkan perempuan pada layanan aborsi yang membahayakan tubuh dan jiwanya.

Dalam Deklarasi Airlie dicantumkan beberapa tuntutan bagi setiap pemerintah dan pemegang kebijakan, yaitu:

  • Mencabut peraturan yang mengkriminalkan aborsi, dan menghilangkan hal-hal yang menghambat perempuan untuk mengakses aborsi yang aman.
  • Membebaskan semua perempuan, anak perempuan serta tenaga kesehatan yang dipenjara akibat hukuman aborsi
  • Membuat aborsi aman dan legal tersedia secara universal, mudah diakses dan terjangkau bagi setiap perempuan dan anak perempuan
  • Berinvestasi dalam tindakan pencegahan yang efektif termasuk pendidikan seksualitas yang komprehensif, penghapusan diskriminasi gender dan kekerasan seksual, dan akses penuh ke semua metode kontrasepsi modern.
  • Memastikan aborsi aman dan legal masuk dalam prioritas kerangka pembangunan global sebagai komponen yang terintegrasi dengan hak kesetaran gender, kesehatan seksual dan reproduksi.

Deklarasi Airlie Untuk Aborsi Aman dan Legal

Kami memimpikan sebuah dunia dimana setiap perempuan dan remaja perempuan memiliki hak untuk membuat keputusan mengenai tubuhnya, kesehatannya dan masa depannya. Kesetaraan gender yang sesungguhnya tidak dapat dicapai tanpa akses aborsi aman dan legal. Namun visi ini masih jauh dari kenyataan, karena pembatasan pada aborsi aman dan legal terus berlangsung diberbagai belahan dunia. Kriminalisasi aborsi tidak menghilangkan aborsi; hal tersebut justru beresiko bagi nyawa dan kesehatan perempuan. Konsekuensinya sangatlah mengerikan :

  • Dalam dua dekade terakhir, sekitar 1 juta perempuan dan remaja perempuan meninggal dan lebih dari 100 juta menderita dan cedera – kebanyakan dari mereka seumur hidup – karena komplikasi dari aborsi tidak aman.
  • Setengah dari mereka yang meninggal karena aborsi tidak aman berusia kurang dari 25 tahun.
  • Banyak perempuan dan remaja perempuan dipaksa untuk mempertahankan kehamilan diluar kehendak mereka.
  • Perempuan dan tenaga kesehatan profesional dikenai hukuman berat, termasuk hukuman penjara, apabila berusaha mencari atau menyediakan layanan aborsi.
  • Sikap yang menghukum dan masih terus berlangsung, diperburuk oleh beberapa kelompok keagamaan yang mengerahkan tekanan yang tidak semestinya kepada pemerintah untuk membatasi hak-hak reproduksi perempuan.
  • Akses untuk aborsi aman tidak setara, dengan kelompok remaja, perempuan miskin dan perempuan marjinal terkena risiko yang lebih
  • Sistem kesehatan menghabiskan jumlah dana yang berlebihan setiap tahun untuk menangani cedera yang sebenarnya bisa dicegah dan ekonomi mengalami dampak buruk dengan berkurangnya partisipasi perempuan dan remaja perempuan.
  • Kondisi yang tidak bisa ditolerir ini melanggar Hak Asasi paling mendasar bagi perempuan

Kami menyambut terwujudnya kemajuan penting yang ditunjukkan dengan adanya liberalisasi undang-undang dan kebijakan di sejumlah negara; peningkatan kebijakan dan dukungan keuangan di tingkat global, regional, dan nasional; peningkatan penggunaan metode kontrasepsi yang efektif; peningkatan teknologi untuk aborsi aman; dan menurunkan angka kematian dan cedera di kebanyakan negara. Meski demikian, kita harus membangun kemajuan ini dan mempercepat upaya-upaya yang kita lakukan bersamaan dengan menentukan prioritas untuk dua dekade kedepan.

Oleh karena itu kami menyerukan pemerintah dan para pembuat kebijakan untuk :

    • Mencabut undang-undang yang mengkriminalkan aborsi dan menghilangkan hambatan-hambatan bagi perempuan dan remaja perempuan untuk mengakses layanan aborsi aman.
    • Membebaskan semua perempuan, remaja perempuan dan tenaga kesehatan profesional yang dipenjara karena undang-undang hukum aborsi.
    • Membuat aborsi aman dan legal tersedia secara universal, dapat diakses dan terjangkau untuk semua perempuan dan remaja perempuan.
    • Berinvestasi dalam langkah-langkah pencegahan yang efektif, termasuk pendidikan seksualitas yang komprehensif, penghapusan diskriminasi gender dan kekerasan seksual, dan akses penuh ke semua metode kontrasepsi modern.
    • Memastikan bahwa pemerintah dan donor memperioritaskan kerangka pembangunan global post-2015 dengan memasukkan akses aborsi aman dan legal sebagai komponen yang integral dalam kesetaraan gender dan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Sebagai pemimpin global di bidang kesehatan, hak asasi manusia, pemerintah dan pembuat kebijakan dari berbagai negara dan budaya, kami berjanji secara individual dan kolektif untuk mengerahkan pengetahuan kami, sumber daya dan jaringan untuk mencapai tujuan ini. Kami menyerukan kepada masyarakat global untuk bergabung dengan kami dalam memastikan pemerintah, lembaga-lembaga donor global mengambil tanggung jawab untuk menghormati hak-hak perempuan dalam membuat pilihan ketika menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, serta memenuhi kewajiban mereka kepada para perempuan.

Kami bersatu dalam menyelamatkan kehidupan perempuan melalui akses aborsi aman dan legal.

Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
Di Indonesia, Presiden baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam Pasal 31 ayat 1 diatur bahwa aborsi legal dilakukan jika ada indikasi kedaruratan medis, atau kehamilan akibat perkosaan. Tentu saja PP No 61 dapat dianggap memberi sedikit angin segar bagi yang memperjuangkan aborsi aman dan legal di Indonesia. Namun jika mengkritisi lebih lanjut, pengaturan aborsi dalam PP No 61 ini belum sepenuhnya mengakomodir hak setiap perempuan untuk dapat mengakses aborsi aman dan legal. PP No 61 Tahun 2014 merujuk pada UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 Pasal 75 dimana aborsi hanya bisa dilakukan dengan indikasi tindakan medis. UU Kesehatan ini tidak lebih baik dari UU sebelumnya, di dalam KUHP, perempuan dapat dipidanakan dengan maksimal kurungan 4 tahun penjara, di dalam UU Kesehatan 1992, kurungan penjara bertambah menjadi 15 tahun dan denda sebesar tiga ratus juta rupiah, dan di dalam UU Kesehatan 2009, kurungan penjara berkurang menjadi 10 tahun namun denda meningkat menjadi 1 miliar rupiah.
Yang perlu dikritisi adalah UU Kesehatan 2009, UU ini jelas membatasi akses aborsi aman dan legal bagi perempuan. Pada kenyataannya, yang membutuhkan aborsi aman tidak hanya perempuan korban perkosaan, namun hampir semua perempuan. Data global menunjukkan bahwa 4 dari 10 kehamilan adalah kehamilan tidak direncanakan. Hal ini menunjukkan bahwa Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) merupakan masalah umum perempuan yang terjadi hampir kapanpun dan dimanapun. Aborsi aman dan legal menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan harus diberikan kepada setiap perempuan jika mereka memang memutuskan tidak ingin melanjutkan kehamilan. Sayangnya, tubuh perempuan tidak pernah lepas dari kontrol negara, agama dan moralitas budaya yang tidak pernah berpihak pada perempuan. Pelegalan aborsi di negara kita tidak pernah berdasarkan hak perempuan atas tubuhnya, melainkan pada norma budaya dan agama yang subjektif dan primitif.

Deklarasi Airlie harusnya dapat menjadi cerminan bagi pemegang kebijakan di negara kita, bahwa aborsi aman dan legal merupakan kebutuhan setiap perempuan, tidak terbatas pada korban perkosaan dan faktor kedaruratan medis semata. Menutup akses aborsi aman bagi perempuan KTD tidak akan mengurangi jumlah aborsi, melainkan justru mengumpankan perempuan pada resiko kematian akibat layanan aborsi gelap yang tidak aman.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here