Poligami di kalangan masyarakat, terutama di kota Surabaya terus mengalami peningkatan. Poligami, selain diperbolehkan dalam ajaran agama, terutama Islam, juga sudah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah (PP) No 9 tahun 1975 tentang Poligami.

Dalam PP No 9 Tahun 1975 disebutkan ada 3 syarat soal poligami. Diantaranya adalah istri mengalami cacat tubuh dan istri yang tidak bisa memberikan keturunan.

Meski poligami diperbolehkan, namun fakta menarik di Pengadilan Agama (PA) Surabaya. Menurut Humas PA Surabaya, Asyari, selama tahun 2015 jumlah permohonan cerai yang masuk dalam setiap bulannya mencapai 500 laporan, baik itu permohonan perceraian, cerai talak atau cerai gugat.

Dari jumlah itu, angka perceraian didominasi pihak perempuan yang terlebih dahulu mengajukan gugatan cerai. Salah satu yang mendominasi materi gugatan cerai adalah keengganan untuk di poligami.

Menyikapi hal tersebut, Direktur Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K), Iva Hasanah mengatakan setuju dan memberikan dukungan terhadap perempuan yang menolak di poligami.

“Meski saya muslim, saya tetap menganggap Islam tidak pernah mengajarkan umatnya poligami. Menurut saya memaknai sebuah perkawinan dalam Islam harus dengan landasan kasih sayang, karena itulah Mawaddah Wa Rohmah yang didasari atas hubungan setara,” ujarnya.

Iva menegaskan, jika ada perempuan yang mengatakan ikhlas di poligami harus di cek relasi hubungan suami istri tersebut karena dalam konteks relasi perkawinan yang mainstream tidak lepas dari budaya patriarki yang dilegalkan dalam bentuk perkawinan.

Menurutnya, jika perempuan sudah pada tingkat kesadaran kritis, tidak akan ada perempuan yang mau di duakan apalagi di poligami.

Terkait dengan aturan tentang poligami yang tertuang dalam PP No 9 tahun 1975, Iva menilai aturan itu sudah mendiskriminasi perempuan dan sudah saatnya pasal ini direlevansikan dengan produk hukum lainnya terutama tentang perlindungan kelompok difable, perlindungan kesehatan dan ratifikasi internasional terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Indonesia sebagai bagian dari negara global sudah wajib hukumnya merevisi produk hukum yang mengandung unsur diskriminasi gender, dan pelanggaran HAM lainnya jika tidak mau dikatakan negara yang mengalami kemunduran dan perkembangan hukum formalnya.

Tentunya produk hukum seperti ini sudah kadaluarsa atau tidak relevan dengan perkembangan sosial,budaya dan politik saat ini yang seharusnya negara sudah berlomba-lomba untuk menuju kesetaraan gender.

Iva berpendapat pasal ini merugikan  perempuan karena membuat perempuan lebih rentan dan berpotensi untuk jatuh pada situasi kemiskinan yang akut atau dampak masifnya adalah tingginya angka feminisasi kemiskinan.

“Dengan melegitimasi pasal ini maka para laki-laki akan diberikan peluang untuk cenderung melakukan poligami yang dampaknya akan ada kekerasan psikis, fisik serta seksual dan jangka panjangnya adalah kekerasan struktural,” jelasnya.

Iva menegaskan, ada beberapa tindakan yang bisa diambil perempuan jika pasangannya sudah melakukan kekerasan terutama terkait poligami, diantaranya menggugat cerai agar suami dapat menikah dengan perempuan yang dihamili dengan catatan bukan usia anak.

Jika masih ingin melanjutkan perkawinan maka harus berani membangun konsensus baru terutama memberikan nafkah kepada anak hasil hubungan tersebut.

Sedangkan si pria harus mengaku sebagai bapak biologis untuk memenuhi hak anak dalam akte kelahiran.

Penulis : Yovinus Guntur

Editor : Wita Ayodhyaputri

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here