“Bagaimana bila aku bukan perawan seperti yang engkau mau, mungkin saja dulu ku pernah ternoda, apa bedanya bila aku mencinta?”

Kutipan lirik lagu dari Helena, “Sekali Cinta Tetap Cinta” tersebut menggambarkan keperawanan sebagai sebuah hal yang dianggap sakral dan suci dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan nilai kehormatan seorang perempuan yang ditakar dari keberadaan selaput dara pada liang vaginanya. Mereka akan digolongkan pada kategori perempuan baik-baik atau tidak.

Menurut Nawal El Saadawi dalam bukunya Perempuan dalam Budaya Patriarki mengatakan bahwa hal tersebut sangat keliru karena tidak ada hubungannya antara aturan biologis dan anatomis manusia dengan nilai-nilai moralnya. Nilai moral adalah produk sistem sosial, sedangkan setiap organ tubuh manusia, termasuk selaput daranya adalah ciptaan Tuhan dan semesta dengan bentuk yang beraneka ragam.

Sementara menurut penjelasan medis tidak semua bayi perempuan terlahir dengan selaput dara. Mereka yang lahir dengan selaput dara pun memiliki lubang atau pori yang berlainan yang akan terus berkembang pada masa pubertasnya. Fungsi dari selaput dara pun tidak diketahui secara pasti, namun dianggap sebagai pelindung organ reproduksi, sedangkan porinya berfungsi untuk mengalirkan darah haid. Selain pori tersebut, jenis selaput dara pun bermacam – macam, ada yang sangat elastis, tebal, juga tipis. Selaput dara yang tipis akan mudah robek akibat olahraga, seperti bersepeda, senam, berkuda, kecelakaan, dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa selaput dara bisa robek tanpa berhubungan seksual. Sementara selaput dara yang elastis, dalam beberapa kasus justru diketahui tidak mudah robek meskipun sudah melakukan hubungan seksual. Sehingga selaput dara sebagai tolak ukur untuk dapat melihat keperawanan seorang perempuan adalah sebuah perkara yang tidak masuk akal. Sayangnya, mitos tersebut terus direproduksi oleh masyarakat dan dikultuskan dalam berbagai bentuk, seperti lagu, film, pengajaran dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif.

Masih ingat tentang tes keperawanan bagi perempuan-perempuan calon TNI dan Polwan yang sempat santer di media beberapa waktu yang lalu? Atau Reperda di Jember tentang tes keperawanan dan keperjakaan bagi siswa untuk lulus UN? Para aktivis HAM merespon kebijakan-kebijakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. Tes keperawanan adalah sebuah kekerasan seksual yang meninggalkan trauma bagi perempuan. Hasil dari tes tersebut juga akan memunculkan pelanggaran atas hak perempuan untuk berkarir dan anak untuk mendapatkan pendidikan.

Selain hal-hal tersebut, mitos keperawanan pun sangat mendiskriminasikan perempuan korban kekerasan seksual. Kesucian yang digambarkan dari utuhnya selaput dara membuat mereka kemudian merasa tidak lagi memiliki harga diri dan kehidupan yang bahagia. Tidak sedikit survivor yang kemudian memilih menyingkir dari masyarakat dan bahkan sampai mengakhiri hidupnya akibat stigma yang diberikan padanya. Mitos keperawanan pun memunculkan praktik-praktik operasi untuk mengembalikan keperawanan seseorang. Usaha tersebut seringkali dilakukan untuk memberikan bukti tentang perawan atau tidaknya seorang perempuan yang lagi-lagi dikaitkan dengan moral dan kesucian perempuan. Hal tersebut tentunya terus menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.

Salah kaprah tentang selaput dara dan kepercayaan pada mitos keperawanan sebenarnya dapat diretas demi kesetaraan dalam masyarakat dan terpenuhinya hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Pemberian informasi kesehatan seksual dan reproduksi yang benar kepada anak dan remaja sedini mungkin adalah salah satu cara yang cukup efektif untuk mampu memberikan pemahaman yang baru tentang selaput dara dan fakta yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pertanyaan “kamu masih perawan?” pada generasi mendatang.

Penulis : Siti Utami Dewi Ningrum

Editor : Wita Ayodhyaputri

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here