Komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di DIY menyatakan sikap untuk menolak dan melawan segala bentuk ketakutan berupa homophobia, biphobia, atau pun transphobia. Lantaran tindakan anti-LGBT dilakukan dengan cara kekerasan, memberikan stigma, dan mendiskriminasikan komunitas LGBT.

“Negara pelaku utama penindasan itu. Negara menindas melalui tangan milisi sipil reaksioner, institusi pendidikan, juga aparat pemerintah dan penegak hukum,” kata Direktur People Like Us Satu Hati (PLUSH) Mario Prajna Pratama saat membacakan pernyataan sikap komunitas LGBT DIY dalam peringatan The International Day Against Homophobia, Transphobia and Biphobia (Idahot) 2016 alias Hari Internasional Melawan Homo/Bi/Transphobia di Jalan Taman Siswa Yogyakarta, Selasa, 31 Mei 2016 petang.

Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami LGBT di DIY, menurut Mario juga dilegitimasi melalui pembuatan Peraturan Daerah DIY Nomer 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.Dampaknya, sebanyak 21 waria selama 2015 ditangkap dan ditahan di camp assessment tanpa peradilan.

Kemudian penyerangan oleh milisi sipil reaksioner alias ormas yang mengatasnamakan agama dilakukan sejak 2000. Berupa pembubaran acara Kerlap Kerlip Warna Kedaton 2000 di Kaliurang, upaya penyerangan acara Idahot 2010, penyerangan acara Q! Film Festival 2010, penyerangan diskusi aktivis feminis Irshad Manji di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) pada 2012, juga penyerangan peringatan Transgender Day of Remenbrance 2014.

“Semua kasus berhenti di kepolisian!” kata Mario.

Selain itu, sepanjang kurun 2014-2016 telah terjadi pengancaman, pelarangan, dan pembubaran diskusi bertema LGBT oleh pihak kampus. Kemudian sejak 20 Januari 2016-19 Maret 2016 tercatat ada 39 kasus kekerasan terhadap LGBT, seperti intimidasi kegiatan One Billion Rising Jogja, juga penutupan Pondok Pesantren Waria Al Fatah.

Kian maraknya kekerasan terhadap LGBT membuat mereka menyelenggarakan peringatan Idahot 2016 yang diikuti sekitar lebih dari 50 orang itu secara sembunyi-sembunyi. Upaya itu untuk mencegah tindak kekerasan oleh orang atau kelompok lain yang menolak keberadaan LGBT.

Anggota Komisi A DPRD DIY Rendradi Suprihandoko menyayangkan tindakan kekerasan yang dialami LGBT tersebut. Semestinya, aparat penegak hukum menjadi garda terdepan penegakan hukum serta memberikan perlindungan yang sama kepada LGBT.

“Mereka (LGBT) punya hak yang sama. Gubernur seharusnya mengambil langkah. Ormas juga instrospeksi,” kata Rendradi saat ditemui di ruang Komisi A DPRD DIY, Rabu, 1 Juni 2016.

Penulis: Goestin

Editor : Wita Ayodhyaputri

untitled-poster2

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here