Gedung bioskop malam itu tidak terlalu penuh, beberapa kursi masih kosong. Penonton memilih kursi di deretan paling belakang untuk mendapatkan jarak pandang ke layar terbaik. Kami ada di antara deretan penonton yang memilih duduk di deret kursi belakang itu. Sebuah film berjudul Show Dogs karya sutradara Raja Gosnell yang dirilis 25 Mei 2018 diputar tepat ketika kami mulai mengatur pantat untuk mendapatkan pose duduk paling nyaman. Ini film yang kami pilih untuk ditonton secara dadakan, tidak ada alasan khusus, hanya pertimbangan ulasan-ulasan pendek di mesin pencari.

Penonton di sekitar kami beberapa kali terlihat gelak tawanya ketika melihat seekor anjing polisi bernama Max tiba-tiba harus berlagak macam anjing kompetisi, atau saat melihat tiga burung dara criwis tiada henti mengomentari polah Max. Film ini secara umum bercerita tentang seekor anjing polisi Rottweiler bernama Max. Max ditugaskan untuk pergi menyamar sebagai anjing berpenampilan terhormat dalam pertunjukan anjing bergengsi dengan rekan manusia anggota kepolisian, Frank (Will Arnett). Kedatangan Max bersama Frank dalam pertunjukan anjing itu untuk melaksanakan misi yang lebih besar yaitu menghentikan sindikat penjualan hewan dan penyelundupan yang menggunakan pertunjukan anjing untuk mengelabui aktivitasnya.

Seekor Panda bernama Ling Li diselundupkan dari Asia untuk dijual di Las Vegas. Pertama kali sampai di pelabuhan Ling Li bertemu Max. Gara-gara kecurigaan Max terhadap aktivitas para penyelundup Max akhirnya berusaha menghalau penyelundup itu, tapi Max gagal saat mencoba menyelamatkan Ling Li. Pada pertemuan pertama dengan bayi panda itu Max berjanji padanya akan melepaskannya dari para penyelundup.

Skema penjualan Ling Li akan dilakukan dalam acara pertunjukan anjing Canini Invitational yang akan digelar di Las Vegas. Di sini cerita baru dimulai, keseruan dalam setiap usaha Max menyelamatkan Ling Li hingga harus pura-pura menjadi anjing pertunjukan bercampur baur dengan pertemuan Max dengan anjing-anjing lain yang memiliki keunikan masing-masing. Hampir bisa dipastikan, anjing-anjing yang ditemui Max seperti manusia, ada yang culas, ada yang baik, ada yang sukanya hanya mengambil posisi aman sambil sesekali menasehati, ada yang begitu membanggakan kesempurnaan tubuhnya. Tidak lupa ada juga kisah cinta antara Max dengan seekor anjing kenalan barunya.

Bersamaan dengan polah tingkah Max dan anjing-anjing lain di kontes anjing itu penonton dibuat tertawa lepas melihat kelucuannya, atau mungkin lebih dari lucu, tapi malah berpikir “kok tingkah anjing ini mirip karakter manusia ya”. Saya awalnya fokus ke film ini, tapi gara-gara gelak tawa penonton di sekitar saya semakin keras, fokus saya teralihkan. Begitu film selesai dan penonton keluar satu persatu. Mata saya pelan-pelan mengamati setiap penonton yang keluar. Hampir semua penonton adalah orang dewasa untuk film yang menyasar penonton anak-anak-remaja. Mengapa begitu?

Mengapa orang dewasa bisa begitu menikmati, atau paling tidak bisa dibuat tertawa oleh cerita anjing yang bisa bicara? Bukankah seharusnya orang dewasa tahu kalau cerita film ini menghayal saja. Tidak mungkin anjing bisa saling bercakap, apalagi bisa berpetuah macam-macam selayaknya ustadz atau tokoh agama. Kenapa penonton orang-orang dewasa ini terbawa sampai ketawa melihat nilai-nilai kebaikan, tolong-menolong, saling mengasihi dilakukan anjing dengan cara hampir mendekati tingkah laku manusia.

Di sela kehidupan sehari-hari, kita dengan mudah bisa menemukan berita tentang pembunuhan, pelecehan seksual, penggusuran, setiap hal yang menghina kemanusiaan dan merendahkan martabat manusia. Kadang tidak hanya dalam berita, tapi kita juga menyaksikan langsung atau bahkan terlibat di dalamnya. Menyaksikan semua itu terus saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, ada rasa jenuh, tapi juga ada keinginan untuk bisa mengubah keadaan. Manusia pesimis di depan segala bentuk kejahatan karena seolah melihat tidak ada orang yang melakukan kebaikan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, keadilan, sehingga ruang publik dan privat kita ternoda oleh hal-hal yang mencederai nurani kita.

Bukan tidak ada yang melakukan kebaikan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Mereka tetap ada, tetapi upaya-upaya dalam bentuk tindakan yang menghancurkan kemanusiaan juga ada bersamaan dengannya. Selamanya ruang publik kita adalah ruang tempat berbagai upaya kemanusiaan harus berjuang merebut ruang yang lebih luas.  Ada optimisme, tapi juga pesimisme selalu mengintai dari balik pintu. Show Dogs bisa jadi adalah upaya menyuarakan pesimisme dalam bentuk yang lebih bertenaga. Saat berbagai gagasan kebaikan dan kemanusiaan sulit disebarluaskan dari manusia ke manusia, pilihan hewan sebagai tokoh utama adalah cara paling baik.

Sepanjang cerita Show Dogs kita terpapar cerita yang dimainkan oleh anjing tetapi sangat dekat bahkan identik dengan perilaku dan persoalan manusia. Kisah Show Dogs yang amat manusiawi membantu kita merawat harapan, meneguhkan optimisme untuk terus menyebar semangat kemanusiaan. Lewat karya fiksi ini orang-orang dewasa yang paham bahwa konten film itu hanya rekaan justru dibuat seolah terhipnotis. Orang dewasa butuh tempat untuk merawat harapannya, meyakinkan dirinya kembali, mengobati rasa kecewa sebab jenuh menghadapi realitas nyata yang semakin tidak karuan. Show Dog hadir sebagai cerita fantasi yang menguatkan, membuat dunia orang dewasa sejenak rileks tetapi juga tetap optimis. “Jika anjing saja mampu melakukan kebaikan-kebaikan, apalagi dengan orang dewasa?”

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here