DIARY OF LOSS : Penuturan Aborsi Tidak Aman
Saya masih muda dan penuh keingintahuan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jogja. Apa yang saya tahu tentang seks hanya terbatas dari cerita teman, film porno, majalah atau internet. Apa yang saya tahu tentang seks adalah bahwa seks itu indah, asyik, enak dan menyenangkan. Dan sebagai perempuan, lingkungan saya seakan memberi tahu bahwa itulah cara untuk memuaskan pasangan agar ia tidak lari ke pangkuan perempuan lain.

Saya tidak terfikir bahwa seks itu beresiko, saya tidak pernah memikirkan konsekuensi sosial dari seks pra-nikah. Saya hanya tahu bahwa kondom bisa membantu saya menghindari kehamilan. Namun keyakinan saya pada kondom selalu kalah oleh keluhan pasangan bahwa kondom itu tidak enak.

Akhirnya, pada tahun 2004 saya mengalami kehamilan tidak diinginkan. Tanpa informasi yang cukup tentang efek dan resiko aborsi, konsekuensi sosial dan hukum, saya akhirnya melakukan aborsi tidak aman. Saya mengalami perdarahan berat selama 2 minggu, belum lagi rasa sakit berkepanjangan pasca aborsi. Dan yang terberat adalah mengalami stress akut pasca aborsi. Gejala dari  stress akut pasca aborsi yang saya alami adalah : sulit konsentrasi, insomnia, kenaikan berat badan, emosional, mudah menangis/tertawa tanpa alasan, mimpi buruk, psikosomatis, numbness dan menarik diri dari lingkungan. Efek terburuk dari  stress akut pasca aborsi  adalah karena saya menjadi orang yang sangat ’negatif’.

Kehamilan Tidak Diinginkan dan Aborsi Tidak Aman merupakan masalah global.

Kehamilan tidak aman merupakan kejadian umum yang dialami oleh perempuan baik mereka yang sudah menikah ataupun ibu rumah tangga. Estimasi global menyebutkan bahwa 4 dari 10 kehamilan adalah kehamilan tidak diinginkan . Dari 45 juta aborsi yang terjadi setiap tahunnya di dunia, 19 juta merupakan aborsi tidak aman dengan 5 juta diantaranya dirawat di rumah sakit akibat komplikasi . Bahkan di beberapa negara afrika, 50% kematian perempuan berhubungan dengan kehamilan yang berakhir dengan aborsi tidak aman. 20% dari perempuan yang melakukan aborsi tidak aman mengalami infeksi saluran reproduksi . Aborsi yang tidak aman juga menyumbangkan 11% dari Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia.

Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk, 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk, 2001).

Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan pada tahun 2003 menyebutkan 87% yang melakukan aborsi adalah istri dan ibu, hanya 12% oleh remaja putri . Data WHO tahun 2006 menyebutkan angka aborsi di Indonesia menjadi 2,6 juta kasus pertahun. Angka ini didapat dari rumah sakit, rumah bersalin, klinik dan puskesmas. Dimana hanya ibu rumah tangga yang dapat mengakses tempat-tempat tersebut. Hanya sedikit dari jumlah tersebut yang berasal dari perempuan pra-nikah, angka yang tercatat dari kelompok pra-nikah adalah mereka yang mengalami komplikasi sehingga harus dirawat di rumah sakit.

Menurut Alan Guttmacher Institute pada 2003, di Eropa di mana aborsi legal justru angka aborsi rendah. Namun di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana aborsi ilegal, angka aborsi justru tinggi. Rendahnya angka aborsi di Eropa karena adanya kesadaran masyarakat akan pendidikan seks dan angka pemakaian kontrasepsi yang tinggi. Pelegalan aborsi kemudian hanya mengurangi resiko terjadinya aborsi tidak aman.

Aborsi dan Perempuan

Perempuan selalu menjadi korban, tersubordinasi dalam hukum, budaya bahkan dalam hak-hak reproduksinya sendiri. Rahim, dimana janin tumbuh berada di bawah kendali perempuan sebagai pemilik alat reproduksi. Itu sebabnya aborsi selalu dikaitkan sebagai masalah perempuan, kesalahan perempuan. Lelaki seakan menjadi bagian yang terpisahkan dalam permasalahan ini. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) terjadi karena adanya hubungan seksual antara lelaki dan perempuan. Dalam hal ini lelaki turut berperan serta mengakibatkan terjadinya KTD yang berbuntut pada aborsi. Lelaki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam hal aborsi.

Perempuan muda, tidak menikah, berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah dan berada di daerah pedesaan adalah mereka yang paling terkena dampak paling parah ketika menghadapi pilihan aborsi. Pada kelompok ini, aborsi tidak aman adalah pilihan yang tersedia dengan mudah dan murah.

Selain itu, layanan aborsi ilegal dan tidak aman menjadi lahan yang sangat subur bagi para penyedia layanan aborsi yang tidak bertanggung jawab dan hanya mencari untung dari kesulitan bertumpuk yang dialami perempuan. Penjualan obat aborsi yang meminta transfer uang banyak berakhir dengan penipuan. Dalam posisi ini, perempuan tidak memiliki perlindungan hukum untuk menuntut hak mereka.

Pengakuan hak perempuan untuk membuat keputusan tentang tubuh mereka sendiri – termasuk hak atas integritas fisik, hak untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah dan jarak antar kehamilan – ditemukan dalam dokumen internasional. Maka menjadi kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut. Sebagai upaya memenuhi hak tersebut, sudah seharusnya pemerintah memberikan akses yang terbuka dalam pendidikan, informasi dan layanan konseling yang berhubungan dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Ketika layanan kontrasepsi dan pendidikan tersebut terpenuhi, maka angka Kehamilan Tidak Dinginkan yang memicu terjadinya aborsi bisa ditekan. Layanan aborsi aman hanya menjadi pilihan terakhir.

Hak perempuan untuk mengakhiri kehamilan diimplikasikan dan didukung dalam berbagai perjanjian dan instrumen internasional. Akses terhadap layanan aborsi yang aman adalah bagian penting untuk melindungi hak perempuan terhadap kesehatan dan hak mereka untuk hidup. Termasuk di dalamnya adalah hak perempuan untuk menikmati hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya yang tercantum dalam Kovenan ekonomi, sosial dan budaya dimana perempuan tidak hanya mendapat akses terhadap aborsi yang aman, namun juga terhadap metode-metode aborsi terbaru yang dianggap aman dan efektif . Oleh karena itu, pembatasan atau pelarangan terhadap layanan aborsi yang aman merupakan diskriminasi terhadap perempuan .

( Makalah untuk Diskusi di Institut Hak Asasi Perempuan, Yogyakarta, 31 Maret 2010 )

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here