Cuaca siang itu cerah. Adalah hari ketiga Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR). Tepatnya, pada 8 Mei 2010. 15 peserta terlihat serius menyaksikan pemutaran film antologi dokumenter Pertaruhan di sebuah rumah panggung di Kedai Hijo WALHI daerah Kotagede, Yogyakarta. Sambil duduk lesehan, semua tampak menikmati. Bahkan, salah satu peserta bernama Madha dengan girang menuliskan pesan ke saya yang mengatakan dia akhirnya bisa menonton film ini.

Kami memutar film ini setelah memberikan sesi presentasi dan diskusi mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Pemutaran film dilakukan tepat pukul 10.00 WIB. Sesi ini berada di tengah antara sesi HAM dasar dan Hak-hak Seksual dan Hak-hak Reproduksi. Ini menyenangkan, pikirku. Karena dalam film ini banyak isu yang berkaitan dengan dua sesi yang mendampingi pemutaran film Pertaruhan.

Usai menonton, diskusi dimulai. Syaiful Huda, salah satu peserta dari PLU Satu Hati mengatakan bahwa perempuan berperan ganda. Menurutnya, dalam cerita pertama seorang perempuan bertanggung jawab sebagai pekerja domestik dan pencari nafkah utama. Perempuan punya posis yang penting dalam keluarga. Dia menambahkan bahwa film ini tentu saja erat kaitannya dengan seksualitas dimana isu tersebut masih menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dengan keluarga. Hingga dapat terlihat bahwa disemua cerita ada masalah besar ketika dalam sebuah keluarga, seorang anak kemudian mengalami kesulitan untuk mencari informasi mengenai seksualitas dan akhirnya kebingungan.

“Sebenarnya intinya adalah berhubungan dengan hak asasi manusia,” lanjut Agung. Salah satu peserta yang berprofesi sebagai peneliti di PKBI Yogyakarta. Melanjutkan diskusi, Agung mengungkapkan pengalamannya saat bercerita dengan seorang teman perempuannya mengenai sunat perempuan empat hari yang lalu. Setelah membaca sebuah artikel mengenai sunat perempuan, teman perempuan Agung langsung bertanya ke ayahnya. Apakah dia pernah disunat? Jawaban ayahnya, iya dengan alasan untuk mengatur syahwatnya sebagai anak perempuan. Banyak hal yang sama terjadi dimana-mana.

“Tapi, jujur saja saya lebih suka perempuan yang liar. Jadi, tidak seperti es batu,” canda Agung kemudian.

Pada cerita ketiga, Nona? Nyonya?. Agung heran. “Sepertinya banyak orang Indonesia lebih suka jika seseorang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) daripada memberikan layanan kesehatan reproduksi.” katanya.

Tanpa membicarakan ideologi mengenai agama dan keyakinan serta moral. Namun, selalu ada pandangan yang terkesan aneh ketika seseorang ingin memeriksakan kesehatan reproduksinya bagi seorang perempuan yang statusnya belum menikah. Pengalamannya menuturkan yang sama dengan cerita mengenai Pap Smear tersebut dimana status Nona atau Nyonya seolah-olah adalah sebuah pertanyaan pembuka yang akan menentukan apakah anda akan mendapatkan akses atau tidak.

“Saya bukan orang yang pro atau kontra dengan free sex,  tapi yang paling penting sekarang adalah kesehatan reproduksi seseorang,” lanjutnya.

Agung juga menambahkan, pada cerita terakhir sangat menarik ketika ada negosiasi penggunaan kondom. Di awal cerita Ragat’e Anak, Agung sempat bertanya kenapa di lokalisasi seperti di Tulung Agung tidak ada pemberian informasi mengenai seks aman karena sangat berpotensi untuk terjangkit penyakit menular seks (PMS). Apalagi, khususnya para perempuan pekerja seks dalam cerita tersebut adalah perempuan-perempuan yang memiliki akses terbatas dari segi ekonomi.

“Tapi yang paling penting adalah kita kemudian hadir untuk tidak lagi bertanya kenapa. Tapi, mari melihat kemampuan mereka untuk mempertahankan hidup. Dan mereka butuh support kita.” katanya.

Direktur Samsara, Inna Hudaya yang berdiri di depan kelas  kemudian meminta agar peserta perempuan juga memberikan suaranya dalam diskusi ini. Apalagi, ini adalah cerita-cerita tentang wacana mengenai tubuh perempuan.

“Apakah ada di antara teman-teman yang pernah disunat?” tanya Inna.

Fira, salah satu peserta mengaku tidak walau masih belum yakin dengan pengakuannya. Fasilitator diskusi, Nur Hidayah Perwitasari meminta peserta perempuan agar dapat dengan terbuka berbagi cerita.

“Sunat ini persoalan tradisi banget. Saya pernah disunat. Saya yakin setelah diberitahu bahwa memang saya pernah disunat saat kecil,” kata Maya. Peserta yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta ini.

Lain halnya dengan Juju Julianti, salah satu peserta SSKR yang juga aktif di Lembaga SAPDA Yogyakarta. Juju menceritakan pengalamannya dengan berbagai kondisi yang mendukung terjadinya sunat perempuan di daerahnya.

“Kalau saya, karena memang tempat saya agamis banget. Dan kita disunat dari kecil karena memang budaya. Kami tidak bisa mengatakan tidak karena sudah tradisinya seperti itu. Saya juga bersyukur mendapatkan pemahamannya di sini jadi saya mungkin bisa membagikannya di daerah tempat tinggal saya,” harap Juju.

Juju menambahkan bahwa sunat perempuan juga tidak lepas dari permasalahan HAM. Film ini akan sangat membantunya untuk memberikan pemahaman kepada siapa saja agar sunat perempuan ditiadakan.

Hampir sama di beberapa daerah di Sumatera Barat dimana daerah tersebut masih mentradisikan sunat perempuan. Menurut Yemmestri Enita, peserta dari Perhimpunan IDEA mengatakan bahwa Nangroe Aceh Darussalam pun demikian. Nita, berpendapat bahwa tradisi ini dipertahankan karena adanya ketidakcerdasan menginterpretasikan ajaran dengan berbagai alasan-alasan seperti agama yang sebenarnya tidak penting.

Mengenai cerita Ragat’e Anak, Nita dengan tegas mengatakan bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan miskin yang memaksa mereka harus menjadi pekerja seks. Secara bersama, mereka berbagi kemiskinan antar sesama pekerja seks dimana mereka harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerja seks miskin seharusnya menjadi tanggung jawab negara. “Tapi, begara tidak bertanggung jawab hingga akhirnya mereka berbagi kemiskinan dengan kiwir atau preman,” kata Nita.

Masih membahas sunat perempuan. Sangat berharganya klitoris perempuan hingga harus menerima sebuah aturan yang sebenarnya tidak perlu. Kenapa harus klitoris? Ini menjadi pertanyaan Inna.

Fira mencoba memberikan jawaban. “Saya belum tahu jelas. Tapi, saya pernah dengar wacana mengenai G-Spot dimana posisinya berada pada wilayah klitoris. Jadi, ketika bagian kecil klitoris ini dihilangkan maka kenikmatan seksual perempuan akan sedikit berkurang,”

Yusak kemudian memberikan perspektif yang berbeda. Menurut ajaran agama yang dia yakini, Yusak percaya bahwa sunat perempuan memang tidak perlu dilakukan. Yusak berpikir bahwa jika kenikmatan seksual perempuan dibatasi maka akan mempengaruhi sistem reproduksi perempuan.  “Dalam filmnya mengatakan bahwa alasan perempuan harus disunat untuk menahan nafsunya. Logikanya, jika perempuan dihilangkan nafsunya, lalu siapa yang akan melanjutkan peradaban di dunia.  Jika dalam ajaran agama mengatakan bahwa hasrat seksual perempuan lebih besar daripada laki-laki kan sebenarnya tidak masalah. Sunat perempuan tidak penting sekali, ini alasan yang dibuat-buat,” tegasnya.

Yusak menambahkan jika hasrat seksual perempuan ditiadakan, maka tidak ada proses melahirkan. “Memangnya laki-laki bisa hamil? Kan tidak bisa. Intinya, saya sangat setuju jika sunat perempuan ditiadakan saja. Ini lebih bagus.” katanya.

Inna kemudian menjelaskan bahwa klitoris adalah salah satu titik rangsang terbesar di tubuh perempuan yang dipenuhi oleh syaraf-syaraf. Ini sebabnya mengapa klitoris menjadi pusat perhatian untuk menghilangkan kenikmatan seksual perempuan. “Yah, biar gak binal-binal banget. Tapi, anehnya kalau istri gak binal, yang pusing suaminya dan akhirnya mencari yang lain yang lebih binal,” canda Inna diiringi tawa peserta.

“Itu tadi mengenai sunat perempuan. Bagaimana dengan pap smear?” tanya Wita.

Semua peserta perempuan mengaku belum pernah melakukan pap smear.

Juju Julianti membagi pengetahuannya mengenai Pap Smear kepada teman-teman sekelasnya. “Pap smear itu pengambilan cairan di vagina untuk mengetahui apakah seseorang mempunyai penyakit  kanker.” katanya.

Hellatsani Widya Ramadhani juga kemudian menceritakan pengalamannya terkait Pap Smear. Peserta yang akrab disapa Madha ini juga pernah berniat memeriksakan kesehatan organ reproduksinya bersama beberapa temannya. Madha mengalami keputihan yang berlebih. Madha mencari informasi ke salah satu temannya yang notabene pendidikannya dari kedokteran hingga mendapat saran untuk melakukan pap smear. Akhirnya, Madha mendatangi seorang bidan yang kemudian mengatakan bahwa pap smear hanya diperuntukkan bagi perempuan yang aktif secara seksual atau orang yang sudah pernah melakukan hubungan seks. Alasannya, karena vagina akan dibuka dengan menggunakan spekulum dan takut jika selaput darah perempuan yang masih perawan rusak. Anehnya, Madha kemudian mendapatkan rekomendasi dari bidan tersebut untuk melakukan USG.

Mendengar cerita Madha, Inna tergelitik untuk bertanya dengan menghubungkan cerita dalam film Pertaruhan dengan hak asasi manusia jika setiap manusia seharusnya setara. Apakah kehadiran HAM sebagai kebutuhan dasar setiap manusia belum cukup dengan hadirnya Hak Asasi Perempuan dan Hak-hak Seksual dan Hak Reproduksi? “Kenapa kita harus membicarakan ini?” tanya Inna.

Astutik, salah satu peserta yang aktif di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta memberikan pendapatnya mengenai cerita dalam film tersebut. Dia mencoba menyambungkan pendapatnya dengan berbagai pertanyaan yang menggelitik Inna.

Menurut Tuti, dari 4 cerita yang disajikan, perempuan selalu mengalami diskriminasi di mana pun posisinya. Misalnya pada sesi mengenai TKW atau pada cerita pertama, ketika dia ingin melakukan operasi vagina, ternyata dia mendapatkan reaksi penolakan dari calon suami.

“Sebenarnya, alasannya apa?” tanya Tuti. Akan sangat tidak logis sekali, dia mendapatkan judgement bahwa dia sudah “ngapa-ngapain”.

Dan cerita yang kedua, perempuan tidak punya hak untuk menolak. Apalagi proses sunat dilakukan saat masih kecil dengan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan keluarga. Ketiga soal pap-smear, perempuan mau melakukan tes kesehatan saja, dia sudah dapat stigma. Apakah perempuannya sudah menikah atau belum, pertanyaan itu, menurut Tuti sangat menggangu, padahal setiap orang punya hak untuk mendapat kesehatan. Banyak sekali pertanyaan dalam prosedur yang memojokkan secara psikologi. Dan cerita yang terakhir, mengenai pekerja seks.

“Sangat memprihatinkan melihat pemerasan dan harus bekerja sebagai pekerja seks. Pokoknya sudah tidak sejahtera lahir dan batin.” kata Tuti mengakhiri sesi diskusi film Pertaruhan siang itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here