Sebuah tulisan yang menarik coba ditawarkan oleh Ahli Fiqh Faqihuddin Abdul Kodir, yakni dengan memaknai teks-teks dan pandangan-pandangan ulama dalam hal aborsi. Islam pada dasarnya melarang aborsi adalah sesuatu yang dipaksakan. Menurut Faqih, Islam atau lebih tepatnya fiqh telah membiarkan  teks-teks tentang aborsi terbuka untuk diperdebatkan. Jika pada masa lalu saja, mereka membuka perbedaan dan perdebatan seputar aborsi, maka pada sekarang perdebatan itu juga harus diteruskan untuk menemukan pandangan yang lebih tepat dengan konteks kita saat ini.

Ayat-ayat al-Qur’an yang biasa digunakan para penulis dalam membicarakan persoalan aborsi adalah ayat-ayat yang tidak langsung, karena yang eksplisit melarang atau membolehkan aborsi sebenarnya memang tidak pernah disebutkan di dalam al-Qur’an itu sendiri.

Ayat-ayat yang tidak langsung yang dimaksud kebanyakan berisi tentang penghormatan manusia, penciptaan dan proses perkembangan janin serta larangan membunuh anak seperti (Qs. Al-Isra, 17:70), (Qs. Al-An’am, 6:151), (Qs. Al-Isra, 17; 31), (Qs. Al-Hajj, 22:5), (Qs. Al-Mu’minun, 23: 12-14) dll.

Sebenarnya  masih sulit untuk menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur’an telah membicarakan persoalan aborsi dan mengharamkannya. Beberapa sisi memang aborsi disamakan  dengan pembunuhan yang diharamkan, tetapi dari sisi-sisi lain tidak bisa disamakan begitu saja. Contohnya pemaknaan kandungan yang masih diperdebatkan kapan ia mulai memiliki nyawa. Berbeda jelas pada obyek pembunuhan yakni manusia yang jelas-jelas bernyawa.

Aborsi dalam Perdebatan Ulama Fiqh
Perbedaan pendapat sudah dimulai dari menyamakan  aborsi dengan ‘azl atau senggama terputus.  Seperti yang diceritakan Imam Muhammad bin Isma’il ash-Sha’ani (1059-1182H)  : ‘azl pun ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. (Subulussalam, 3/146).

Muhammad Syaltut dari ulama kontemporer misalnya menceritakan bahwa ulama fiqh sepakat menyatakan haram terhadap aborsi paska peniupan ruh kecuali jika kehamilan itu mengancam kehidupan ibu yang mengandung. Tetapi terhadap aborsi pra-peniupan, ulama fiqh berbeda pendapat (al-Fatwa, 289-292).

Syekh Jadul Haq lebih rinci lagi menjelaskan pernyataan beberapa madzhab fiqh dalam aborsi . Madzhab Hanafi aborsi sebelum kandungan umur 120 hari secara umum diperbolehkan jika ada alasan yang sah;memelihara air susu agar tetap mengalir bagi bayi yang sedang disusui, kekhawatiran pada kesehatan ibu karena hamil, atau kesulitan medis yang harus dialami sata melahirkan.

Sementara mayoritas ulama madzhab Malikiyah melarang aborsi sekalipun kandungan belum berumur 40 hari, karena menurut mereka proses kehidupan telah dimulai sejak pertemuan sperma dengan ovum. Proses ini dimuliakan. Sedang, Ibn Hajar membolehkan aborsi sebelum kandungan berumur 42 hari, sementara Muhammad bin Abu Sa’id mengizinkan selama belum mencapai umur kandungan 80 hari. Madzhab Zaydi memperkenalkan aborsi sebelum kandungan berumur 120 hari, karena dianggap sama persis dengan ‘azl (senggama terputus) yang memang diperkenankan.

Pada makalah ‘Telaah Kritis terhadap Fakta Aborsi Perspektif Fiqh Kontemporer, menguraikan apakah pengguguran kandungan dibolehkan? “Ya, selama belum terjadi penciptaan, dan itu baru terjadi berusia 120 hari” (Husein Muhammad). Dalam semangat yang hampir sama, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pengguguran kandungan sebelum berumur 120 hari bisa dilakukan dengan alasan yang tepat, jika tanpa alasan maka hukumnya makruh saja. (Fiqh as-Sunnah, 2/177-178).

Intinya, bagi kelompok yang mengharamkan, memandang bahwa konsepsi adalah proses awal dari kehidupan manusia,yang harus dihormati. Namun, dalam pernyataan Imam al-Ghazali (w. 505 H) misalnya, aborsi sangat berbeda dengan ‘azl. Karena aborsi adalah tindakan pidana terhadap sesuatu yang telah ada dan berproses untuk memulai kehidupan (mawhudun hashil). Sementara ‘azl hanya sekadar pemutusan sebelum terjadinya konsepsi sebagai awal dari proses kehidupan.

Perspektif Perempuan
Berbagai tulisan, buku, diskusi banyak memperbincangkan persoalan aborsi di Indonesia -dimulai dari persoalan legalitas hukum, moral, dan atau agama – yang belum dilakukan adalah penggunaan ‘perspektif perempuan’ sebagai kerangka berfikir utama.

Umar bin Khattab ra suatu saat menyatakan; “Dulu kami pada  masa Jahiliyah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian ketika datang Islam dan Allah Swt menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kamu tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami, tetapi kami masih enggan menyertakan mereka dalam urusan-urusan kami”. (Hadits Bukhari, kitab 77/bab 31, no. 5843). Ini menjadi gambaran realitas sosial-budaya yang memarjinalkan perempuan, termasuk pada masyarakat muslim sendiri.  Sehingga Nabi Muhammad Saw, menjelang akhir hayatnya beliau , pada saat haji wada’ menyampaikan pesan ke hadapan ribuan sahabat; “Aku wasiatkan kepada kalian, agar berbuat baik kepada perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal, kalian berkewajiban untuk berbuat baik kepada mereka,” (Hadits Turmudzi no. 1163 dan Ibn Majah  1851)

Pernyataan Nabi Muhammad saw ini merupakan peneguhan terhadap dua hal; bahwa realitas sosial dalam banyak hal sering tidak bersahabat terhadap perempuan , dan ini bertentangan dengan misi Islam itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan persoalan aborsi misalnya, realitas sosial sampai saat ini masih menyudutkan perempuan, bahkan membahayakan dan mengancam jiwa mereka. Dalam hal aborsi, baik pandangan keagamaan, perilaku budaya, kebijakan pemerintah maupun tatanan hukum dan sosial, semua mengarah kepada perempuan dan menjadikan mereka korban-korban stigma dan praktik aborsi, baik secara fisik dan juga mental, baik aborsi yang aman apalagi yang tidak aman.

Fakta yang seharusnya bisa dilihat secara murni menjadi sebuah pertimbangan; WHO mencatat 15-50 % kematian ibu disebabkan aborsi yang tidak aman. Dari tiap 20 juta pengguguran kandungan yang terjadi di dunia setiap tahunnya, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia karena praktik aborsi tidak aman. Angka ini termasuk tinggi dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.

*sumber ; Makalah “Penghentian Kehamilan (yang Tidak Dikehendaki) Secara Tidak Aman) ; Tinjauan Islam oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam sebuah Workshop mengenai kesehatan reproduksi, 21 Agustus 2003 di Yogyakarta. Faqihuddin Abdul Kodir MA merupakan Direktur Fahmina Institute. Beliau adalah dosen STAIN Cirebon dan alumnus fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah.

4 KOMENTAR

  1. tetapi jika krn alasan kesehatan..yakin klw aborsi itu dibolehkan-bukankah ALLAH maha mengerti-tetapi jika usia kandungan belum 4minggu…..? betulkah dibolehkan?

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here