Oleh: Nurul Intani

download
Sumber : World Health Organization

Negeri ini sepertinya telah mengalami banyak kemajuan, dimana teknologi baru terus ditemukan dan pembangunan semakin gencar digalakkan. Namun miris, di tengah-tengah hingar bingar pembangunan tersebut, perempuan masih harus terus menerus berkutat pada posisinya yang kian tersudut. Dari sekian banyak program pembangunan, perempuan sering hanya menjadi penonton yang berdiri jauh di garis pinggir; hanya bisa nyinyir dan rawan tergelincir.

Kemajuan jaman nyatanya memang tidak lantas dibarengi dengan peningkatan rasa aman dan nyaman pada perempuan. Tubuh perempuan masih terlalu kerap dijadikan obyek utama atas parade panjang pelecehan dan kekerasan. Ribut-ribut soal rok mini, hingga berbagai pelecahan yang sempat marak terjadi di metromini, tentu membuat kita semua mendongak dan bertanya, apa yang salah dengan negeri ini?

Khusus tentang pelecehan seksual yang menimpa perempuan, kecenderungan untuk menjadi korban yang justru malah disalahkan (victimized the victim) masih sangat rawan terjadi. Kasus perkosaan yang menimpa perempuan misalnya, masih kerap menyisakan ruang untuk menjadikan perempuan sebagai penyebab utama atas kemalangan yang menimpanya. “Salah sendiri pake baju mini”, “makanya jangan centil” dst. Hal ini membuktikan bahwa masih ada bagian dari masyarakat kita yang bersikap permisif atau bahkan apatis terhadap kekerasan yang menimpa perempuan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan pada 2013 lalu, terdapat setidaknya 15 jenis kekerasan yang selalu mengancam perempuan selama lebih dari 15 tahun terakhir. Human trafficking, nikah paksa, eksploitasi, dan diskriminasi berbasis gender adalah tema utamanya. Perempuan –dalam konteks ini—masih dipandang tidak lebih dari sekedar tumpukan daging mentah yang lemah dan harus selalu bersikap pasrah.

Tradisi, budaya, dan tafsir agama yang diberlakukan secara kaku memiliki andil terbesar dalam upaya pelanggengan berbagai macam kekerasan terhadap perempuan, dimana perempuan masih terlalu sering dibatasi atas nama budaya dan tradisi. Apa yang bisa dilakukan perempuan hanyalah tunduk dan menerima apapun yang terjadi, tidak boleh melawan. Atas nama agama pula, perempuan harus puas untuk selalu berada diposisi nomor dua. Sehingga dalam lingkup masyarakat, perempuan tidak lebih dari sekedar pelengkap.

Hal ini tentu mengoyak seluruh sisi kewarasan dan kemanusiaan kita, karena menerima begitu saja segala bentuk kekerasan bukan ‘tugas’ perempuan. Masih adanya praktek-praktek kekerasan justru menunjukkan bahwa kita belum mencapai kemajuan. Bayangan tentang masyarakat idaman tidak akan tercapai jika kita masih saja sibuk bertikai. Karenanya, kekerasan –atas nama apapapun—harus segera dihapuskan. Hal ini tidak lantas berarti bahwa perempuan harus selalu dimuliakan, cukup beri kesempatan dan kepercayaan kepada perempuan agar mereka dapat membuktikan bahwa perempuan layak untuk diperhitungkan.

Usaha untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali kekerasan pada perempuan memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, terlebih karena kekerasan tersebut terjadi secara sistematis dan memiliki akar yang kuat pada tafsir sempit atas budaya dan agama. Namun tindakan nyata untuk menghilangkannya tidak boleh lagi ditunda. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan harus segera dihentikan karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Perempuan harus pula diberi ruang untuk belajar mengenali dan mencintai diri mereka sendiri agar disposisi tidak lagi terjadi. Masyarakat kita tidak akan mengalami kemajuan yang berarti jika masih ada anggotanya yang tersakiti; kemajuan dan kemuliaan kita sebagai manusia hanya akan tercapai manakala kesetaraan dan keharmonisan dapat kita mujudkan, tak sekedar diimpikan. Rantai kekerasan ini harus dan pasti bisa dihentikan, dan kita bisa melakukannya!

*Penulis adalah Ketua Korp PMII Putri (KOPRI) PKC Jawa Tengah

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here