Pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo menyayangkan berbagai pemberitaan yang muncul di media massa terkait Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Dede mengatakan, sebagian besar pemberitaan media massa tidak membantu mengurangi homophobia atau ketakutan berlebih terhadap LGBT di kalangan pemerintah maupun masyarakat. Menurutnya, pemberitaan di media massa terkait isu LGBT justru banyak yang keliru.

“Pemberitaan di sana-sini keliru. Mereka juga tidak mengikuti perkembangan mutakhir dalam sains tentang seksualitas,” ujar Dede.

Dede menilai beberapa pemberitaan justru cenderung merancukan orientasi seksual (hetero – bi – homo) dengan identitas gender (perempuan – laki-laki – waria – priawan).

Selain itu, saat ini pemberitaan yang berhubungan dengan isu LGBT justru disamaratakan oleh media, sehingga semakin membingungkan dan memicu homophobia yang besar di kalangan masyarakat dan pemerintah.

“Misalnya, pernyataan Khofifah tentang anak di Lombok yang katanya di iming-iming oleh LGBT dewasa. Itu LGBT yang mana? Lalu ada pria pakai lipstik. Ini sih urusan ekspresi gender,” kata Dede.

Selain itu, Dede menjelaskan, bahkan sains seksualitas juga menyebutkan dorongan transgender itu sudah ada sejak awal. Apapun usaha yang dilakukan untuk mencegahnya akan sia-sia dan justru berpotensi merusak kejiwaan si anak.

Dede juga mengatakan, bahwa sebenarnya tidak ada yang salah apabila seseorang menjadi waria, bahkan menurut HAM internasional, Komnas HAM dan Komnas Perempuan, waria justru diakui sebagai identitas gender.

“Menjadi waria tidak bisa dikatakan lebih rendah dari menjadi laki-laki dan perempuan,” jelasnya.

Dede juga mengatakan bahwa sebenarnya LGBT bukanlah pilihan, sebab menjadi LGBT merupakan dorongan diri yang kuat, hal ini juga didukung oleh penelitian yang sudah dilakukan terkait kromosom manusia.

Saat ini justru yang membuat rumit adalah ada orang yang tidak beridentitas L, G, B atau T yang melakukan hubungan seks dengan sesama gender, semua gender atau berekspresi gender yang tidak lazim untuk gendernya sendiri.

Dede menambahkan, sehingga jika berbicara tentang orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender (SOGIE) atau orientasi seksual, identitas gender dan ciri-ciri interseks (SOGII), maka sebagian akan mempunyai identitas, dan sebagian lainnya justru tidak mempunyai identitas.

“Contoh, santri-santri yang mairilan atau melakukan sihaq di pesantren, rata-rata bukan gay atau lesbian, dan kebanyakan juga tidak melakukannya lagi ketika dewasa. Sekarang di Barat ada fenomena bromance, yaitu 2 laki-laki yang resminya hetero, tapi suka melakukan hubungan seks sampai ada rasa cinta juga, tapi mereka juga bukan gay,”pungkasnya.

Sehingga Dede berharap media dapat lebih berimbang dan lebih memahami soal LGBT terlebih dahulu sebelum melakukan pemberitaan, agar tidak semakin memperburuk homophobia di kalangan pemerintah dan masyarakat saat ini.

Penulis : Yovinus Guntur

Editor : Wita Ayodhyaputri

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here