Sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016 kasus intoleransi di Indonesia semakin marak terjadi. Mulai dari kasus intoleransi dan intimidasi terhadap kelompok Syiah, Ahmadiyah, pembakaran Gereja di Bantul, Yogyakarta oleh pihak yang tidak bertanggung jawab serta kasus Intimidasi dan interogasi aparat terhadap tim kecil riset dokumenter Peace Women Across the Globe (PWAG) Indonesia di Padang Pariaman pada 16 Februari 2016.

Tak hanya itu, tindakan intoleransi juga terjadi terhadap festival Belok Kiri yang kemudian terpaksa harus pindah lokasi ke LBH Jakarta. Dan kasus intoleransi terkini terjadi pada sabtu lalu, yaitu pembubaran secara paksa dan intimidasi terhadap acara LadyFast di Yogyakarta dengan alasan peredaran alkohol dan baju yang digunakan oleh pengunjung serta panitia acara dianggap terlalu terbuka.

Anastasia Kiki dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) saat dihubungi melalui sambungan telfon mengatakan, dari seluruh kasus intoleransi yang terjadi di Yogyakarta tak ada satupun yang berhasil diselesaikan dan diusut oleh pihak kepolisian.

“Tidak ada satupun kasus intoleransi yang berhasil diselesaikan atau di usut tuntas, alasannya selalu kurang alat bukti, pelaku sulit di cari, sebenarnya yang terjadi itu Polisi yang tidak mau mengusut saja, buktinya saat pembubaran acara Lady Fast itu justru Polisi datang ke lokasi bersama orang – orang intolerir,” kata Anastasia Kiki.

Anastasia Kiki menambahkan, dengan pembubaran acara Lady Fast pada sabtu lalu menunjukkan bahwa saat ini kelompok – kelompok intolerir bukan hanya mengarah pada isu ancaman atau kelompok minoritas seperti LGBT namun juga pada isu – isu sensitive.

“Nah kasus intoleransi yang masuk pada isu perempuan sebenarnya sudah lama, tapi dengan adanya pembubaran acara Lady Fast itu menjadi bukti nyata bahwa isu perempuan menjadi isu sentitif yang mudah dibenturkan, ini juga bahaya bagi teman – teman perempuan yang sedang memperjuangkan isu – isu kekerasan, patriarki, karena selama ini yang dibenturkan selalu pada masalah moralnya dan tindakan,” kata Anastasia Kiki.

Untuk mengatasi permasalahan intoleransi yang khususnya semakin marak terjadi di Yogyakarta, Anastasia Kiki mengatakan saat ini harusnya kelompok minoritas mulai bersatu.

Selain itu, harus mulai di ciptakan ruang – ruang diskusi dan merangkul masyarakat. Masyarakat juga harus diberi pemahaman, karena selama ini alasan yang digunakan oleh kelompok intorerir untuk melakukan tindakan intoleransi adalah membela kepentingan masyarakat.

 

 

 

 

dengan kekerasan, intimidasi maupun yang terjadi

 

 

 

Daftar insiden pelarangan acara dalam setahun terakhir, yakni:

  1. Acara diskusi mengenai 1965 dan pemutaran film Senyap karya Joshua Oppenheimer di Yogyakarta selama Januari-Februari 2015
  2. Pertemuan korban atau penyintas 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan yang diintimidasi, didatangi, bahkan rumahnya digeledah, di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada Februari 2015.
  3. Intimidasi terhadap pertemuan korban 1965 di Salatiga, Jawa Tengah, yang diselenggarakan pada 7-8 Agustus 2015.
  4. Pencekalan Tom Illyas, penyintas 1965 yang selama ini menjadi eksil di Eropa pada 11 Oktober 2015.
  5. Penarikan Majalah edisi Salatiga Kota Merah dan intimidasi redaksi yang diterbitkan oleh LPM Lentera, Oktober 2015
  6. Pelarangan diskusi 1965 di Ubud Writers Readers Festival di Bali, akhir Oktober dan awal November 2015.
  7. Pelarangan pembacaan naskah drama 50 tahun memori 1965 di Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Kapolda Jakarta, pada Desember 2015.
  8. Lokakarya LGBT di Hotel Cemara Jakarta dibubarkan polisi karena alasan keamanan dari serbuan FPI
  9. Intimidasi FUI dan dua kali pembatalan pada nobar dan diskusi IPT65 “65 Hari Ini” di Yogyakarta selama Februari 2016.
  10. Intimidasi dan interogasi aparat terhadap tim kecil riset dokumenter Peace Women Across the Globe (PWAG) Indonesia di Padang Pariaman pada 16 Februari 2016.
  11. Pelarangan dan protes terhadap festival Belok Kiri yang seharusnya dilaksanakan di TIM pada 27 Februari – 5 Maret 2016, yang kemudian dipindahkan ke kantor LBH Jakarta dan tetap dijalankan sepanjang akhir pekan Maret 2016.
  12. Pelarangan pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Beta karya Rahung Nasution. Film itu seharusnya diputar di pusat kebudayaan Goethe Haus, tapi kemudian dipindah ke kantor Komnas HAM pada Maret 2016.
  13. Intimidasi dan pelarangan pementasan teater Monolog Tan Malaka di IFI Bandung pada 23 Maret 2016 oleh FPI. Setelah Walikota Bandung Ridwan Kamil menambah personil keamanan, pementasan bisa dilakukan pada 24 Maret 2016
  14. Aksi pantomim Wanggi Hoediyanto dihentikan Polisi karena alasan tidak ada izin pada 27 Maret 2016 saat Hari Tubuh Internasional. Ia kemudian diperiksa di kepolisian.
  15. Acara diskusi oleh HMI Pekanbaru diancam dan dilarang oleh FPI dan koordinator HMI Pekanbaru Safwan dibawa oleh FPI tanpa kejelasan.
  16. Acara LadyFast yang diadakan Kolektif Betina di Yogya dibubarkan ormas dan KOKAM dengan alasan peredaran alkohol dan baju.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here