PP Kesehatan No.28 tahun 2024 diterbitkan sebagai aturan turunan untuk mengimplementasikan UU Kesehatan No.17 tahun 2023 yang telah disahkan setahun lalu. Tanpa adanya keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna, peraturan yang berisi lebih dari 1.000 pasal ini telah menutup peluang agar kepentingan masyarakat luas terakomodir dengan utuh. Padahal masyarakat memiliki hak partisipasi dan wajib dilibatkan untuk memastikan penyusunan kebijakan berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal penyusunan kebijakan berkenaan dengan korban kekerasan seksual, pengalaman korban, dan pendamping harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. Jika hal mendasar ini saja tidak tersedia, sudah selayaknya kita bertanya, untuk siapa peraturan ini dibuat?
Kami dalam aliansi masyarakat sipil yang konsisten memantau perubahan aturan sejak sebelum UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 disahkan mencatat ada sederet persoalan kritis dalam peraturan pelaksana ini yang harus diperbaiki dalam penyusunan aturan operasional berikutnya. Persoalan tersebut diantaranya adalah, kuatnya stigma dan diskriminasi serta aturan yang masih didominasi oleh pemikiran ableist kepada Orang Dengan Disabilitas. Sebagaimana terlihat pada pasal 19 (3), pasal 58 (5), dan Bagian Ketiga terkait Kesehatan Penyandang Disabilitas, dimana Kementerian Kesehatan masih menempatkan kedisabilitasan sebagai penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan. Stigma dan diskriminasi juga termuat dalam Pasal 148 huruf (b) dan (c), Pasal 155, Pasal 167, Pasal 171 jo. Pasal 172, dan Pasal 783, serta pasal lainnya. Untuk itu, aturan operasional dari PP ini harus menempatkan kesehatan penyandang disabilitas dalam perspektif Hak Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Menempatkan kedisabilitasan sebagai suatu penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan justru melanggengkan stigma dan tindakan diskriminasi kepada orang dengan disabilitas, khususnya disabilitas psikososial.
PP No.28 Tahun 2024 ini mengabaikan asas non-diskriminatif yang secara jelas tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2023, bahkan melanggengkan stigma yang dapat menghambat individu untuk mengakses layanan kesehatan serta kuat berpotensi membahayakan dan memperburuk kesehatan fisik dan mental individu. UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 Pasal 28 ayat 4 dengan jelas menyatakan bahwa: “Penyediaan akses pelayanan kesehatan primer dan pelayanan kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup masyarakat rentan dan bersifat inklusif non-diskriminatif”. Dalam penjelasan pasal tersebut, poin (g) menyebutkan bahwa masyarakat rentan itu termasuk “individu yang tersisihkan secara sosial karena agama/kepercayaan, ras atau suku, orientasi seksual, identitas gender, penyakit, serta status kewarganegaraan.” Namun ironisnya P No.28/2024 Pasal 114 ayat 1 P justru menyebutkan “kehidupan seksual yang sehat meliputi terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual.” Pasal ini bertentangan dengan asas non-diskriminatif di pasal 28 ayat 4 UU No.17/2023 karena memposisikan orientasi seksual sebagai gangguan. Memposisikan orientasi seksual sebagai gangguan menunjukkan bahwa ada upaya-upaya untuk mengoreksi atau mengubah orientasi seksual seseorang. Padahal, orientasi seksual bukanlah gangguan, tapi variasi. Situasi ini akan membuat individu dengan orientasi seksual yang beragam menjadi semakin rentan mengalami diskriminasi dan menjadi korban kekerasan seksual akibat upaya-upaya koreksi tersebut.
Diskriminasi atas layanan juga termuat dalam pasal 110 tentang pemberian kontrasepsi darurat yang hanya diberikan kepada korban perkosaan. Selain diskriminatif, hal ini juga tidak konsisten dengan upaya lain di dalam undang-undang yang telah mengatur akses kesehatan bagi korban perkosaan dan korban kekerasan seksual lainnya. Pembatasan atas pemberian kontrasepsi darurat juga berpotensi menghambat upaya pemulihan kesehatan terutama bagi korban kekerasan seksual dan korban perkosaan. Akses layanan untuk kontrasepsi darurat dan penanganan kesehatan korban kekerasan seharusnya juga dimandatkan pada unit-unit atau lembaga pendamping korban berbasis masyarakat sebagaimana dimandatkan pada UU TPKS, tidak terbatas pada fasilitas kesehatan.
Bagi korban, PP ini berpeluang menambah pengalaman traumatis dalam mengakses layanan akibat dari mekanisme yang terlalu panjang untuk mengakses layanan aborsi. PP ini telah mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh. Adanya tim pertimbangan sebagaimana tertuang dalam pasal 120, berpotensi menghambat penyediaan akses aborsi. Syarat tim pertimbangan ini selain tidak sensitif terhadap situasi kekerasan seksual, perkosaan, dan indikasi medis terutama pada kehamilan beresiko yang membutuhkan layanan secara segera. Hal ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Adanya task shifting untuk memastikan kewenangan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer. Sehingga akses aborsi aman dengan ragam metode dapat tersedia di fasilitas kesehatan tingkat primer yang paling dekat dengan masyarakat dan korban.
Surat keterangan penyidik dalam pasal 118, berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan. Hak pemulihan kesehatan telah jelas disebutkan pada UU TPKS No.12 Tahun 2022. Untuk itu, pengaturan di dalam PP wajib diperbaiki pada aturan operasional berikutnya untuk memastikan korban mendapatkan hak atas pemulihan kesehatan yang komprehensif.
Dengan banyaknya catatan kritis dan persoalan yang ada di dalam peraturan pemerintah ini, maka aliansi masyarakat sipil mendesak agar masyarakat sipil termasuk pendamping korban kekerasan seksual dan perkosaan diberi ruang untuk melakukan monitoring dan pemantauan untuk memastikan akses aborsi diberikan sesuai dengan kebutuhan korban. Termasuk juga tersedianya mekanisme yang jelas dalam menyampaikan kritik dan komplain atas penyediaan layanan kesehatan yang mengukuhkan stigma dan diskriminasi.
Kami dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan yang Adil dan Inklusif, memiliki tuntutan untuk peraturan pemerintah ini, di antaranya:
- Mendesak Kementerian Kesehatan untuk membuka ruang seluas-luasnya dan memastikan pemenuhan hak partisipasi masyarakat dalam pembahasan aturan turunan/operasional seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan panduan nasional lainnya;
- Mendesak Kementerian Kesehatan untuk melakukan perbaikan dalam penyusunan aturan operasional tentang layanan kesehatan yang memuat prinsip non diskriminatif, bebas stigma, inklusif, berpusat pada korban/penyintas dan memastikan prinsip-prinsip atas layanan tersebut terimplementasi dengan utuh dan menyeluruh;
- Mendesak Kementrian Kesehatan untuk mengakomodir kebutuhan nyata masyarakat di antaranya:
a) Menghapuskan stigma dan diskriminasi kepada Orang Dengan Disabilitas dengan menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia dalam penyediaan layanan kesehatan,
b) Memastikan layanan aborsi tersedia secara komprehensif termasuk akses ke kontrasepsi darurat sebagai pemenuhan hak pemulihan kesehatan bagi korban kekerasan seksual dan korban perkosaaan, dan individu dengan indikasi kedaruratan medis;
c) Memastikan konsistensi implementasi penyediaan layanan kesehatan yang inklusif dan non-diskriminatif, terutama bagi kelompok rentan termasuk di dalamnya kelompok dengan ragam orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender. - Mengajak seluruh masyarakat sipil untuk terus memantau implementasi Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penyediaan layanan kesehatan.
Salam solidaritas!
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan yang Adil dan Inklusif
Jakarta, 09 Agustus 2024
Kami di dalam aliansi:
-
- Save All Women and Girls (SAWG)
- Yayasan Kesehatan Perempuan
- Perhimpunan Jiwa Sehat
- Dokter Tanpa Stigma
- Asosiasi LBH APIK Indonesia
- LBH APIK Jakarta
- Transmen Indonesia
- Koalisi Perempuan Indonesia
- Mubadalah.id
- Marsinah.id
- Samsara
- Yayasan Curahan Hati Sambung Kasih
- YIFOS Indonesia
- Qbuka Tabu
Narahubung:
Ika Ayu – (Save All Women and Girls/Samsara) 0818278587
Nanda Dwinta (Yayasan Kesehatan Perempuan) 081586602575
Febda Risha (Asosiasi LBH APIK Indonesia) 081392946185