oleh:  Fatahillah Nur Bintang

1389920481298Untuk memahami perspektif feminisme dengan lebih mendalam, maka, mau tidak mau kita juga harus memahami perspektif gender. Hampir semua pandangan atau ide para feminis yang berkecimpung dalam isu ini, mengawali pondasi kritiknya berbasiskan pemahaman tentang gender secara menyeluruh. Artinya, ada upaya untuk menggali secara mendalam tentang bagaimana konsep awal mula gender terkonstruksi dan dikonstruksi. Walaupun pada akhirnya kita akan dihadapkan pada berbagai pandangan yang berbeda-beda antara pemikir satu dengan pemikir yang lain dalam mendefiniskan dan memahami gender. Judith Butler dalam pengantar bukunya yang berjudul “Gender trouble: feminism and the subversion of identity” (1990) menyatakan: “Perdebatan feminis kontemporer dalam memaknai gender tak pernah berkesudahan, dari sejak awal sampai sekarang dan lagi, pada permasalahan terntentu, seolah-olah ketidakpastian gender akhirnya bisa jadi berujung pada kegagalan feminisme.”

Gender tidaklah serupa dengan pemisahan kealamian/fisiologis menurut jenis kelamin atau seks. Gender adalah suatu kategorisasi kultural dan tingkatan yang bersandar pada sebuah pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin yang, bisa jadi merupakan bentuk tunggal kultural yang terpenting.[1]Di dalam buku yang berjudul “A glossary of terms in gender and sexuality” yang diterbitkan oleh The Southeast Asian Consortium on Gender, Sexuality, and Health-gender diartikan sebagai sebuah konsep yang merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, dapat berubah-ubah dan mempunyai perbedaan luas di dalam dan di tengah-tengah budaya. Berlawanan dengan karakteristik tegas secara biologis, gender merujuk pada tingkah laku dan harapan-harapan untuk mewujudkan sebuah image dari maskulinitas dan femininitas. Hal ini juga digunakan secara sosial, ekonomi dan politik untuk menganalisis peran masyarakat, tanggung jawab, kendala dan peluang. Sedangkan menurut Mansour Faqih, gender merupakan atribut yang dilekatkan secara sosial maupun kultural, baik pada laki-laki maupun perempuan. Gender bukan merupakan kodrat, tetapi merupakan konstruksi sosial, budaya, agama, dan ideologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu sehingga gender sangat tergantung pada nilai-nilai masyarakat dan berubah menurut situasi dan kondisi.[2]

Sudah sejak lama, ratusan bahkan ribuan tahun-perempuan dan alam secara universal telah dihilangkan nilainya oleh paradigma dominan laki-laki. Ursula Le Guin[3]memberikan kita koreksi yang tepat dari ketidakpercayaan Paglia akan keduanya (perempuan dan alam): “Manusia beradab berkata: Aku adalah diri, Aku adalah tuan, segala sesuatu diluar dari Aku adalah yang lain-berada di luar, di bawah, tak terlihat, bawahan. Aku memiliki, Aku menggunakan, Aku mengeksplorasi, Aku mengeksploitasi, Aku mengontrol. Apa yang kulakukan adalah yang penting.  Apa yang Aku inginkan adalah alasan mengapa semua ini ada. Aku adalah Aku, dan selain dari itu adalah keperempuanan dan keliaran yang, harus digunakan sesuai kemauanku.”[4]

Banyak orang percaya bahwa peradaban mula-mula itu matriarkal. Namun tak seorangpun ahli antropologi atau arkeologi, termasuk feminis, menemukan bukti dari asumsi tersebut. “Pencarian akan sebuah budaya egalitarian asli yang, taruhlah matriarkal, tak pernah membuahkan hasil,” terang Sherry Ortner.[5]Meskipun demikian, memang ada masanya, sebelum budaya lelaki menjadi sesuatu yang universal, ketika perempuan secara garis besar tidak selalu berada di bawah laki-laki. Sejak 1970an antropolog semacam Adrienne Zihlman, Nancy tanner dan Frances Dahlberg membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah di mana “Lelaki adalah sang pemburu” dan “Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya di sini adalah data bahwa secara garis besar, komunitas-komunitas pra-agrikultur memperoleh 80 persen kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu. Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup bagi perempuan cukup setara dengan laki-laki.  Dalam konteks etos-etos egalitarian kelompok pemburu (hunter gatherer) atau peramu makanan (foraging society), ahli-ahli antropologi seperti Eleanor Leacock, Patricia Draper dan Mina Caufield telah menjelaskan, secara garis besar, terdapat bukti adanya hubungan setara antara perempuan dan laki-laki Di dalam tatanan masyarakat semacam itu ketika seseorang memperoleh sesuatu Ia pula yang akan membagikannya dan ketika perempuan memperoleh 80 persen makanan, maka mereka jugalah yang menentukan aturan bagi gerak kelompok serta lokasi-lokasi untuk menetap. Serupa dengan adanya bukti bahwa perempuan dan laki-laki yang membuat alat-alat dari batu yang digunakan oleh masyarakat-masyarakat pra-agrikultur.[6]

Sampai akhirnya pada titik puncak pembagian divisi kerja memperlebar jalan terciptanya domestikasi dan peradaban yang menjadi penggerak sistem dominasi global sekarang ini. Juga terlihat bahwa bentukan-bentukan pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin merupakan bentuknya yang paling awal dan juga, sebagai efeknya, membentuk formasi gender.
Patriarki[7]muncul sejak pembagian divisi kerja mulai dikenal dalam peradaban manusia. Pembagian kerja terjadi di masyarakat dan tidak terkecuali di lingkungan keluarga. Pembagian kerja menurut jenis kelamin yang terjadi di lingkungan keluarga telah mengubah hubungan keluarga menjadi hubungan produksi. Spesialisasi kerja di dalam masyarakat meramu dan berburu membuka jalan bagi peran-peran yang terkelompok-kelompok, dan struktur hubungan kekerabatan membentuk infrastruktur hubungan yang akan berkembang menuju ketidaksetaraan dan pembeda-bedaan kekuatan. Lumrahnya perempuan menjadi pasif akibat suatu peran khusus menjaga anak; pola semacam ini selanjutnya semakin berkembang melampui kriteria-kriteria yang tadinya terbentuk sebagai peran gender. Dari proses domestikasi (berasal dari bahasa latin, domus, atau rumah tangga). Pekerjaan perempuan tidak lebih dari kerja-kerja membosankan, reproduksi berlebihan, dan pengharapan hidup yang lebih rendah daripada kaum pria. Melalui produksi gender ini beserta perluasannya yang konstan, mulai berkembanglah fondasi-fondasi budaya dan mentalitas patriarki.

Pembagian ruang kerja yang tidak seimbang dan diskriminatif membuat ide besar feminisme berdiri dan berkampanye bagi pemulihan kekuatan perempuan dan mengambil alih kembali ruang-ruang yang selama ini telah direnggut hirarki gender yang patriarkal. Feminisme menolak segala bentuk stereotype yang berlaku di masyarakat, seperti: perempuan sebagai obyek seks, laki-laki sebagai seorang yang rasional; perempuan sebagai perawan atau pelacur, laki-laki sebagai macho; perempuan harus pasif dan manis, laki-laki harus aktif dan kuat; kecenderungan heteroseksual dan banyak lagi. Perempuan harus dapat menemukan bagaimana diri mereka dapat diandalkan dan bekerja untuk mencapai mimpi mereka sendiri. Sebagaimana perempuan juga harus mulai sadar akan para penindas mereka, juga sadar akan penindas-penindas lainnya seperti kelas, ras, agama dan orientasi seksual.

Krisis ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang berakar pada imposisi atau pemaksaan gender—yang sudah berlangsung lama, sejak sejarah kehidupan manusia yang, pada tingkatan lanjutnya menjadi sistem hirarki yang kompleks—tidaklah dapat direformasi. Gerakan-gerakan sosial yang ingin merubah tatanan sistem ini harus mempunyai konsep pembebasan perempuan yang benar-benar radikal, jika tidak ingin terjebak di dalam pengecohan dan pengerudungan yang sekarang ini telah menjadi hasil yang menakutkan di manapun.

Catatan Kaki

[1]  John Zerzan, “Patriarchy, Civilization, and the Origins of Gender”.
[2]  Mansour Fakih, 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3]  Ursula Le Guin adalah seorang penulis novel dan puisi dari Amerika Serikat.
[4]  John Zerzan, loc. cit.
[5]  Ibid.
[6]  Ibid.
[7]  Patriarki sendiri berarti aturan yang berasal dari laki-laki. Hal ini mengacu pada sistem sosial, di mana laki-laki memegang kendali atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang, sumber pendapatan, dan pemegang keputusan utama. Sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi) bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan, sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan oleh laki-laki dan menjadi bagain dari properti laki-laki. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memenjarakan perempuan di rumah serta pengontrolan kehidupan mereka. Dalam patriarki, standar moralitas dan hukum memberikan hak lebih kepada laki-laki dibanding perempuan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here