Tubuh manusia tidak hanya diartikan secara fisik, ia juga memiliki makna sosial. Tubuh, terutama pada perempuan menjadi representasi dirinya secara keseluruhan dalam sosial. Melalui media, konsep tubuh seringkali dilekatkan dengan label negatif, seperti pornografi dan dimunculkan untuk kepentingan kapitalisme. Sebagai akibatnya, terdapat standar-standar tubuh yang disebarkan oleh media dan disepakati oleh masyarakat. Body shaming, lahir dan ditujukan pada siapa saja yang tidak dapat memenuhi standar tersebut. Body shaming yang merupakan tindakan melecehkan seseorang melalui tubuhnya, menjadi bukti bahwa tubuh dalam sosial berperan penting bagi seseorang (terutama perempuan) untuk bisa diterima dalam masyarakat. Mengapa body shaming banyak dialami oleh perempuan?

 

Tubuh sebagai wujud fisik manusia tidak lagi dipandang sekedar mewakili eksistensi individual, namun keberadaannya telah menjadi komoditi bagi media. Sudah menjadi pemandangan yang umum bagaimana media, baik cetak ataupun elektronik terutama internet menyuguhkan tubuh-tubuh sebagai sebuah komoditi atau menyertai sebuah komoditi pada iklan komersial. Tubuh manusia telah lama dipandang sebagai objek oleh kacamata media.

Selain sebagai komoditi, media juga membangun sebuah konsep mengenai tubuh. Konsep ini meliputi ukuran ideal tidak ideal, cantik, sehat, bersih, kuat dan lain sebagainya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tubuh mewakili berbagai hal seperti identitas sosial dan dekonstruksi moral, di mana tubuh menjadi ukuran standar nilai di masyarakat. Tubuh (laki-laki dan perempuan) di media, tidak hanya dieksploitasi, tapi juga menjadi sumber sekaligus tujuan segala sifat konsumtif masyarakat, bahwa media membuat tubuh manusia memerlukan banyak sekali produk untuk mencapai standar ‘ideal’. Imbasnya, konsep tubuh ini yang kemudian diterima dan disepakati oleh masyarakat dan tubuh yang tidak mencapai konsep serta standar-standar tersebut, sangat rentan mengalami pelecehan atau dalam tulisan ini diistilahkan dengan body shaming.

Body shaming dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari bullying yang sejatinya sudah terjadi sejak dulu hingga sekarang, dimana media berperan besar dalam melanggengkan praktek-prakteknya. Oxford dictionary mendefinisikan body shaming sebagai ‘Tindakan atau praktik mempermalukan seseorang dengan membuat komentar mengejek atau mengkritik tentang bentuk atau ukuran tubuhnya’. Jika body shaming hanya ditujukan pada bentuk dan ukuran tubuh, bullying merupakan lingkaran besarnya, didefinisikan sebagai bentuk agresi dimana satu orang atau sekelompok orang berulang kali melecehkan korban secara verbal atau fisik tanpa provokasi (Clarke & Kiselica, 1997 dalam Xin Ma).

Berdasarkan definisi diatas, bullying melebar ke berbagai bentuk. Perilaku koersif terkait bullying bisa dikelompokkan menjadi dua kategori: fisik dan verbal. Penindasan fisik meliputi memukul, mendorong, memegang, dan memberi isyarat bermusuhan. Intimidasi verbal meliputi mengancam, memalukan, merendahkan, menggoda, memanggil nama, menjatuhkan, sarkasme, mengejek, menatap, mencuat lidah, menggulung, memanipulasi persahabatan, dan mengucilkan (Clarke & Kiselica, 1997 dalam Xin Ma).

“Kok badan kamu makin gemuk, sih…diet donk! Nanti ga dapet cowok,lho’
Ih, kulit kamu kok jadi item gini…lulur gih atau suntik putih sekalian!’
“kamu pake heels aja biar ga pendek-pendek amat keliatannya!
lu kurus banget sih, ntar kena angin terbang!”
Badan lu mirip gentong!”
Body lu mirip tiang listrik!”
Rambut lu mirip bonsai!”

Seberapa sering kita mendengar bahkan dengan mudah mengeluarkan komentar-komentar serupa seperti kalimat-kalimat diatas? Baik itu secara sadar berniat mencemooh ataupun tulus memberi saran kepada seseorang yang kita kenal, kalimat-kalimat diatas adalah contoh nyata tindakan body shaming yang dalam tulisan ini, penulis ambil sebagai fenomena mengenai konsep tubuh sebagai akibat citra yang dibentuk dan disebarkan oleh media.

Lalu, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, kenapa body shaming cenderung terjadi pada perempuan? Penulis melihat bahwa kuasa gender dominan menjadi salah satu penyebabnya. Perempuan dan tubuhnya telah lama dikuasai oleh nilai-nilai patriarki yang secara langsung maupun tak langsung memberikan kuasa pada laki-laki untuk menentukan standar ideal dalam pandangan mereka atas tubuh perempuan. Ironisnya, standar ini kemudian diamini bahkan diperkuat oleh kaum perempuan sendiri.

Pada perempuan khususnya, tubuh seperti bukan milik si empunya (personal) tapi milik masyarakat bahkan terkadang juga milik negara. Tubuh diatur dan didisiplinkan sedemikian rupa untuk dapat ‘seragam’ dengan masyarakat pada umumnya. Tubuh yang ‘berbeda’ atau dianggap ‘berbeda’ akan mendapat perlakuan dan pembedaan di masyarakat, terutama soal nilai-nilai. Individu seperti kehilangan hak (otoritas) atas tubuhnya. Apapun yang dilakukan terhadap tubuh umumnya semata-mata untuk memenuhi kriteria dan standar ideal yang sudah ada.

Menurut Carrette, sesuai dengan teori kuasa akan tubuh (seksualitas) atau biopolitik oleh Michel Foucault sebagaimana disebutkan, bahwa kekuasaan membentang atas suatu jumlah yang besar, sejumlah sesuatu yang besar seperti individu yang bergerak, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, ia adalah kekuasaan yang memberi dan mengorbankan sebuah kekuasaan individualistik (Baca lebih lanjut tentang pendapat Carrette dan tema ini di jurnalperempuan.org).

Tubuh, dalam kajian feminisme dipandang sebagai objek yang perlu diperjuangkan, patut untuk diselamatkan terutama dari budaya patriarki yang mendarah daging, yang memandang tubuh perempuan hanyalah sebatas pemuas mata dan hasrat kaum laki-laki, dipelihara dan dirawat untuk kemudian dipilih dan digunakan oleh laki-laki. Namun, saat ini yang mengherankan adalah banyak sekali kasus body shaming yang terjadi pada perempuan justru dilakukan oleh sesama perempuan. Sayangnya penulis tidak berhasil menemukan data ataupun penelitian yang akurat untuk membuktikan hal ini.

Citra Tubuh dan Pengaruh Media

Body shaming tentu tidak serta merta muncul begitu saja. Citra tubuh yang selama ini ada di masyarakat dan direfleksikan secara berlebihan oleh media menjadikannya awet hingga saat ini. Menurut Rice (1995) dalam bukunya yang berjudul Promoting Healthy Body Image: A Guide for Program Planners, citra tubuh adalah gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang tubuhnya. Mulai dari pikiran, perasaan, penilaian, sensasi, kesadaran bahkan perilaku yang terkait dengan tubuhnya. Karena berkembang melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan sosialnya, maka citra tubuh juga bisa dikatakan sebagai konstruksi sosial yang membuatnya harus terus dievaluasi dan diawasi terus-menerus secara sosial.

Sayangnya, adanya konsep citra tubuh –khususnya tubuh perempuan– ini menciptakan standar dan penilaian dari masyarakat yang menimbulkan konflik antar perempuan dan di dalam diri perempuan itu sendiri. Standar dan penilaian ini sulit dicapai, sehingga seringkali muncul rasa tidak puas terhadap kondisi dirinya. Media dengan membawa konsep-konsep mengenai tubuh ideal versi iklan-iklan produk kecantikan dan kesehatan, secara langsung maupun tak langsung telah mendiskriminasi mereka yang (ukuran dan bentuk) tubuhnya tidak sama atau bahkan jauh dari standar ideal tersebut.

Perempuan, terutama mereka yang merupakan pengguna media sosial menghadapi tekanan yang luar biasa dari, di antara sesama perempuan sendiri. Entah itu mengenai sifat, pakaian, pernikahan, pola asuh, proses kelahiran terlebih-lebih soal tubuh. Mengutip pemberitaan terkait hal ini, penulis mengambil infografis dari Tirto.id mengenai citra tubuh bagi perempuan dan bagaimana media melalui iklan ikut berpengaruh pada persepsi khalayak mengenai tubuh mereka.

 

Dari infografis yang dipublikasi Tirto.id di atas, semakin jelas bahwa media telah mendukung munculnya stereotip mengenai tubuh perempuan. Sebanyak 91% responden yang disurvei merasa tidak bahagia dengan tubuh mereka, oleh karenanya memutuskan untuk melakukan diet meskipun umumnya tubuh mereka tidak kelebihan bobot. Perempuan-perempuan yang disurvei jelas menunjukkan ketidakpuasan atas tubuhnya sendiri (90% ingin mengubah satu aspek dari tubuhnya) dan menyatakan bahwa terdapat tekanan yang menimbulkan kecemasan untuk tampil sempurna dari media sosial dan iklan di televisi.

Konsep-konsep mengenai ‘kesempurnaan’ tersebut kemudian menciptakan kategori-kategori dalam sosial selain kelas-kelas yang sudah ada, yaitu cantik, tampan, jelek, buruk, sehat, modis, seksi, nakal, kuno, gaul, cupu dan lain sebagainya. Kesemuanya berkaitan dengan tubuh, apa yang melekat padanya dan bagaimana tubuh itu ditampilkan. Tubuh yang juga merupakan standar nilai dan identifikasi sosial kemudian diatur dan dilarang oleh sosial melalui stigma-stigma lainnya, seperti bertato sama dengan amoral atau liar, berpakaian terbuka bisa berarti binal dan bergaya layaknya lawan jenis (tomboy atau feminin) bisa berarti lesbian atau gay dan banyak stigma lainnya yang muncul atas apa yang seseorang lakukan atau lekatkan pada tubuhnya.

Dewasa ini, saat kehadiran media baru seperti internet yang kemudian menciptakan beragam produk media sosialnya memberikan kebebasan secara virtual bagi para pengguna untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sayangnya kebebasan berpendapat dan berkomentar inilah yang kemudian seperti mengawetkan dan menyebarluaskan praktek body shaming di masyarakat. Dikenal dengan istilah cyberbullying, yaitu perbuatan merugikan yang disengaja dan diulang-ulang, ditimbulkan melalui penggunaan komputer, telepon genggam, dan perangkat elektronik lainnya ‘(Hinduja dan Patchin, 2010; dalam Brent W. Smith, 2012).

Penindasan secara virtual ini mungkin melibatkan pesan teks agresif, posting yang merendahkan atau memalukan di situs jejaring sosial, email yang mengancam, atau bahkan situs web yang dibuat khusus untuk target individu. Seiring aktivitas online yang terus meningkat di kalangan anak-anak dan remaja, pelaku intimidasi cenderung memperpanjang perilaku agresif terhadap dunia maya, disamping dunia fisik (Pew Internet, 2010 dalam Brent W. Smith, 2012).

Bahkan gambaran tubuh seseorang dalam sebuah foto yang dipublikasikan di akun media sosial dapat menghasilkan komentar-komentar bernada body shaming yang membuat sang pemilik tubuh menghapus foto di ‘wilayah’ nya sendiri dan bahkan trauma untuk kembali berekspresi di media sosialnya. Bayangkan, sebuah foto pun dapat menjadi bahan bagi para pelaku untuk melancarkan tindakan body shaming di dunia maya. Kebebasan atas tubuh benar-benar sesuatu yang semu dan langka saat ini.

Hal seperti yang digambarkan di atas bahkan banyak menimpa mereka yang merupakan selebriti atau public figure yang umumnya berpenampilan yang dianggap ‘ideal’. Haters atau orang-orang yang tidak menyukai selebriti dan public figure ini memang selalu punya cara untuk mencemooh apapun yang dihasilkan atau ditampilkan oleh ‘sang idola’. Tujuannya memang ingin menjatuhkan atau membuat tokoh tersebut kesal atau marah. Banyak dari para selebritis yang akhirnya menutup akun media sosialnya karena trauma dan tidak tahan atas komentar dan ujaran kebencian dari para haters ini, terutama mengenai tubuh mereka.

Masih cukup baru di ingatan publik saat peristiwa body shaming menimpa beberapa selebriti kenamaan di akun Instagram mereka, seperti Audy item (@audyitem) dan Gracia Indri (@graciaz14) mengenai ukuran tubuhnya dan baru-baru ini penyanyi kenamaan Yuni Shara (@yunishara36) mendapat komentar body shaming terkait bentuk anggota tubuh termasuk juga penampakan kulitnya. Bahkan fenomena yang terjadi di media sosial Instagram ini kemudian menjadi bahan pemberitaan di media-media arus utama yang dikonsumsi pula oleh mereka yang bahkan tidak memiliki akun di Instagram.

Beberapa kasus depresi, gangguan kejiwaan dan bunuh diri juga terjadi karena dipicu oleh tindakan body shaming yang kerap muncul dalam bentuk cyberbullying. Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying (dikutip dari Kumparan.com, tanggal 04 Oktober 2017). Cyberbullying ini lebih mengerikan karena dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja melalui media sosial.

infografik body shaming

Faktor Pemicu Body Shaming dan Gender Dominan

Bisa dibayangkan betapa signifikannya dampak dari tindakan bullying, cyberbullying yang umumnya berupa praktek body shaming terhadap diri seseorang, bahkan celotehan yang dianggap iseng atau lelucon sekalipun dapat berakibat hilangnya nyawa seseorang. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu atau penyebab terjadinya body shaming di masyarakat kita, seperti yang telah penulis rangkum dari jurnalperempuan.org, magdalene.co, rappler.com di antaranya:

  • Persepsi yang salah mengenai bentuk fisik, hal ini tentu saja berkaitan dengan citra dan standar ideal yang telah tertanam di masyarakat tentang kecantikan
  • Ketidakpekaan sosial, hal ini berkaitan dengan tindakan-tindakan menjurus kearah body shaming yang biasa dianggap sebagai lelucon atau bahan candaan semata. Ketidakpekaan ini meliputi rasa abai bahwa seseorang mungkin merasa sedih dan sakit hati atas lelucon mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya.
  • Bentuk intimidasi dan dominasi, body shaming merupakan salah satu bentuk intimidasi dan upaya mendominasi seseorang oleh pihak lain yang memiliki kuasa lebih dengan menjatuhkan mental atau harga diri dengan merendahkan fisik si korban.
  • Menghindari rasa inferior, perasaan inferior atau rendah diri biasanya dapat ditutupi dengan bertingkah menjadi superior dan hal ini dapat dicapai dengan membuat orang lain berada di posisi yang lebih inferior. Umumnya hal ini berkenaan dengan sifat kolektif atau kegemaran manusia untuk membentuk dan diterima dalam kelompok-kelompok tertentu.
  • Masalah psikis atau pernah menjadi korban, faktor keluarga dan masa lalu berperan dalam membentuk perilaku seseorang. Korban bullying atau body shaming sebelumnya, berpotensi lebih besar menjadi pelaku di masa depan.

Dari studi pustaka yang penulis dapatkan, body shaming tidak hanya dialami oleh perempuan namun juga laki-laki dan lagi-lagi hal itu terkait dengan gender dan citra tubuh ideal yang tertanam di masyarakat. Keterkaitan antara gender dominan atas maraknya tindakan body shaming yang diterima perempuan memang belum terbukti melalui data yang akurat. Namun, tentu kepemilikan dan dominasi pekerja laki-laki di media yang lebih banyak jumlahnya daripada perempuan tentu berperan dalam melanggengkan hal ini.

Ketidakterwakilan perempuan baik itu dalam ruang publik dan media, menjadikan posisi perempuan lemah dibandingkan laki-laki. Ditambah lagi budaya masyarakat kita yang sangat menjunjung penampilan fisik, baik itu dalam dunia kerja (pada proses wawancara kerja, misalnya), pergaulan sehari-hari hingga ke ranah media sosial. Sebagian besar orang, terutama perempuan berlomba-lomba untuk ‘memperbaiki’ tubuhnya agar terhindar dari body shaming. body shaming, sayangnya justru banyak datang dari orang-orang terdekat, baik itu teman atau anggota keluarga.

Budaya patriarki yang menjadikan laki-laki atau menggunakan pandangan laki-laki (male gaze) sebagai tolok ukur yang cenderung berhak menilai dan menempelkan label kepada tubuh perempuan. Perempuan dengan tubuhnya tidak boleh terlalu gemuk, tidak juga terlalu kurus, kulit seharusnya putih bersih, memiliki rambut yang panjang dan hitam agar bisa disukai, dipilih dan mendapatkan laki-laki. Sebegitu besarkah masalah gender dan kuasa patriarki ini hingga ia seakan meresap dalam pikiran banyak orang tentang tubuh perempuan?.

Rasanya butuh penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk menjawab pertanyaan diatas. Namun hasil kajian pustaka dan analisis penulis meyakini adanya penegasan gender dominan, yang dalam hal ini tentu masih patriarki, yang terus menerus berlangsung di kehidupan sosial kita. Meski emansipasi dan kebebasan perempuan dalam ruang-ruang publik terus didukung dan berkembang, namun nilai dan budaya yang turun temurun mengenai perempuan dan tubuhnya sebagai medan kontestasi atas dominasi laki-laki terus terpelihara hingga saat ini.

Fenomena bagaimana tubuh manusia dikonstruksi oleh sosial dan bagaimana individu-individu terutama perempuan melihat dan menyadari tentang tubuhnya sendiri, otoritas yang tidak pernah ia miliki sepenuhnya atas tubuh, membuat stigma-stigma serta penilaian akan tubuh terus terjadi dalam berbagai bentuk. Body shaming adalah salah satunya. Bagaimana seseorang dinista, dihina dan diintimidasi melalui tubuhnya yang berefek pada hancurnya diri dan hilangnya rasa cinta dan syukur atas karunia tubuh dari sang pencipta.

Body shaming jelas merupakan tindak kejahatan moral yang berakibat pada rasa tertekan, hilangnya kepercayaan diri dan membunuh karakter seseorang. Media, yang merupakan mata dan telinga masyarakat, yang menjadi cerminan sosial budaya kita sayangnya justru melanggengkan praktek-praktek body shaming. Acara talk show, lawak dan iklan komersial telah memperlihatkan bagaimana media membingkai praktek body shaming menjadi sesuatu yang dianggap biasa atau ‘wajar’ dalam kehidupan sehari-hari.

Memang, tidak semua korban yang mengalami atau menyadari mengenai body shaming ini merasa diintimidasi atau dilecehkan, sebagian malah menjadikan hal tersebut jembatan untuk menarik perhatian di kelompok sosialnya dan popularitas di media bagi sebagian selebriti. Namun tindakan body shaming ini tidak dapat dibenarkan dan perlu edukasi khusus mengenai penanaman etika dan moral, mengingat budaya bermedia sosial yang saat ini telah banyak menggerus nilai etika dan moral tersebut.

Melihat banyaknya tindakan body shaming yang dilakukan oleh kaum perempuan terhadap sesamanya, dan seringkali itu dilihat dari sudut pandang laki-laki (male gaze) mengindikasikan adanya upaya penegasan atas gender dominan yang tengah berlangsung. Semua tentang perempuan dan tubuhnya senantiasa dilihat dari standar laki-laki, meskipun hal itu diutarakan oleh kaum perempuan sendiri. Semua yang dilakukan oleh perempuan terhadap tubuhnya, dianggap dan diarahkan untuk memenuhi standar sosial yang itu diciptakan dari budaya patriarki.

Bahan bacaan:

  • Abdullah, Irwan (2001). Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta : Tarawang Press.
  • Gamble, Sarah (2010). Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta : Jalasutra.
  • Gamman, Lorraine & Marshment, Margareth (2010). Tatapan Perempuan. Yogyakarta: Jalasutra.
  • Ma, Xin (2001). Bullying and Being Bullied: To What Extent Are Bullies Also Victims?. London: Sage Publication.
  • Siregar, Ashadi dkk (2000). Eksplorasi Gender di ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: Galang Printika.
  • Smith, Brent W dkk (2012). Cyberbullying among gifted children. London: Sage Publication.
  • Synnott, Anthony (2007). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here