RUU KUHP telah sah menjadi undang-undang dan sedang dalam masa sosialisasi hingga tiga tahun ke depan. Banyak kemajuan substansial yang berarti seiring perumusannya, tetapi tetap memiliki beberapa pasal karet. Sebelum kita cermati beberapa pasal yang berpotensi menghambat progresivitas hak pilih perempuan atas kehidupan reproduksinya, mari mengingat usaha perlawanan yang telah dilakukan masyarakat sebelum RUU KUHP disahkan.

Selain gelaran aksi protes oleh koalisi masyarakat sipil di depan Gedung DPR RI pada Desember 2022 lalu, kritik pun dilayangkan oleh YLBHI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan. Menurut Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, beberapa pasal berpotensi menginvasi ruang privat masyarakat, serta membungkam demokrasi dan kebebasan pers. Beliau juga menyoroti potensi kriminalisasi bagi penyedia edukasi kesehatan reproduksi.

Sementara itu, Komnas HAM menggarisbawahi substansi pemenuhan HAM dalam RUU ini, terutama tindak pidana yang mengurangi keasasian hak atas integritas tubuh dan merentankan korban kekerasan pada kriminalisasi. Sedangkan Komnas Perempuan mempublikasikan Pernyataan Sikap di situs resminya pada 9 Desember 2022. Beberapa poin pernyataannya menyebutkan overcriminalization (kriminalisasi yang berlebih) pada perempuan dan minimnya kepekaan terhadap unsur gender.

Ancaman Kriminalisasi Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi dalam UU KUHP

Mari kita bahas lebih lanjut pasal UU KUHP yang dimaksud oleh Ketua YLBHI, tentang pemberi edukasi kesehatan reproduksi. Pasal 408 mengatur bahwa tindak pidana dapat dikenakan pada pihak yang secara terang-terangan mempertunjukkan atau memberikan akses alat kontrasepsi pada anak. Lebih jauh, pasal 410 mengatur pengecualian pemidanaan: apabila tindakan dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam rangka edukasi.

Mari berefleksi sejenak. Perlu dipertanyakan kembali, siapakah yang dimaksud dengan “pihak berwenang”? Sejauh mana otoritas pihak berwenang? Bagaimana sikap pihak berwenang pada remaja? Siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan seksual sejak kecil; apakah orang tua dan guru di sekolah lewat kurikulum, atau dokter dan bidan? Apakah pemerintah sudah mengambil peran di situ? Pada era ini, justru pihak independen lah yang lebih banyak bergerak untuk memberikan pendidikan seksual yang komprehensif, seperti akademisi, organisasi non-pemerintah, atau influencer di media sosial yang bisa menjangkau lebih banyak pihak termasuk remaja.

Pertanyaan selanjutnya, apakah realitanya aktivitas seksual yang berisiko pada kehamilan tidak direncanakan (KTD) hanya dilakukan oleh orang dewasa? Tidak bisa dimungkiri, KTD dapat terjadi pada siapa saja⎯baik melalui kesepakatan hubungan seksual, atau perkosaan dan kekerasan. Hal ini sejalan dengan tuntutan Komnas Perempuan untuk memperluas definisi perkosaan dan kekerasan serta mengakomodasi pasal penghubung dalam UU KUHP dengan UU TPKS.

Berapa banyak kasus perkosaan dan kekerasan yang berakhir secara kekeluargaan dan korban dinikahkan dengan pelaku? Pasal-pasal ini berpotensi menjauhkan individu, terutama remaja, dari upaya pencegahan KTD. Dapatkah secara tidak langsung kita menyimpulkan bahwa yang berhak terhindar dari KTD hanya orang dewasa?

Pasal 409 pun tidak jauh berbeda. Pasal 409 menyatakan bahwa siapa pun yang mempertunjukkan alat atau memberi informasi pada akses untuk menggugurkan kandungan juga dikenai pidana. Hanya saja, dalam pasal ini, klausul ‘pada anak’ tidak ada.

Pasal 408 dan 409 memiliki kesamaan. Penyebaran informasi seputar hak kesehatan seksual dan reproduksi dibatasi pada pihak yang berwenang saja. Pada kenyataannya, informasi seputar kontrasepsi dan layanan aborsi selalu dibutuhkan. Saat informasi yang akurat ditabukan dan dipersulit, informasi yang tidak bertanggung jawab justru makin menguat. Lebih jauh lagi, hal ini dapat memicu pilihan aborsi tidak aman yang membahayakan nyawa, meningkatnya fenomena pembuangan bayi, serta rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan anak karena kelahiran tidak direncanakan.

Regulasi atau hukum bersifat melindungi. Ia haruslah dinamis mengikuti perkembangan zaman, tetapi perlu berkelanjutan. Jangan sampai, regulasi justru menambah panjang daftar problema kehidupan bereproduksi masyarakat, yang sejatinya adalah urusan privat.

Mari kita berharap dan berupaya agar 2023 menjadi tahun yang berpihak pada hak pilih perempuan atas tubuhnya sendiri.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here