Berdasarkan penelitian Aileen P. Mamahit yang berjudul “Suatu Ulasan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan.” (Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan )
Ada pandangan umum dan tradisional bahwa keluarga selalu diasosiasikan dengan suatu keadaan yang aman. Keluarga, idealnya adalah tempat dimana kedamaian dan keselarasan bersatu padu. Ironisnya, bentuk kekerasan terhadap perempuan umumnya justru terjadi di dalam lingkungan keluarga. Celakanya, kekerasan tersebut terjadi secara diam-diam (silent crime) karena hampir setiap korbannya tidak berterus terang. Kekerasan semacam ini tak terekspos di dalam berita-berita di media massa, melainkan diam membisu di dalam ruang-ruang tertutup. Jadi, sangat tidak mungkin untuk menentukan seserius apa sesungguhnya kekerasan ini, karena seringkali tak pernah dilaporkan secara terang-terangan.
Meski ada yang diekspos oleh media, laporan semacam ini hanya sebagai komoditas infotainment dan sekedar untuk menaikkan rating suatu program penyiaran. Karena pada ranah ini media tidak punya perspektif yang jelas terhadap perempuan, artinya dalam pemberitaannya media belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
The General Surgeon of US mengatakan “kekerasan secara umum adalah resiko kesehatan publik nomor satu”. Sayangnya, sampai sekarang realita ini tetap menjadi penyebab utama kematian yang menimpa para perempuan usia 15-44 tahun, jauh lebih banyak dari kombinasi kecelakaan lalu lintas, perampokan dan penyerangan, dan kematian akibat kanker, bahkan jauh lebih mengancam daripada serangan jantung atau stroke.
Studi terkini menyebutkan bahwa di AS, 28% perempuan dewasa merupakan korban KDRT per tahun. 95% perempuan Prancis pernah mengalami kekerasan dalam bentuk pelecehan. Di Inggris, 50% perempuan yang mengalami pelecehan telah di bunuh oleh para suami mereka dan juga 62% perempuan di Kanada. Di Kosta Rika 49% perempuan dianiaya selama kehamilan mereka. Di daerah-daerah terpencil pun terjadi hal yang sama, Papua, Bangladesh.
Sementara itu, keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda. Menurut Komnas Perempuan selama 2013 terdapat 279.760. Dari jumlah tersebut 263.285 adalah kasus kekerasan terhadap istri dan sisanya adalah kekerasan yang terjadi di ranah personal. Disimpulkan bahwa, betapa kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya sudah menjadi hal yang umum dan sangat serius.
Ada beberapa faktor yang paling umum yang berkontribusi terhadap praktek-praktek kekerasan terhadap perempuan, diantaranya :
- Pandangan umum yang mengatakan bahwa perempuan adalah lebih rendah dan properti pasangannya. Ini adalah warisan dari dominasi budaya patriarkal sejak zaman kuno. “Kedudukan perempuan dan laki-laki sebagai istri dan suami secara historis telah terstruktur sebagai suatu hirarki dimana laki-laki berhak untuk memiliki dan mengontrol perempuan. Hukum, politis, ekonomis, dan ideologis mendukung kekuasaan laki-laki/suami atas perempuan/istrinya yang juga termasuk pengesahan terhadap pemakaian kekuatan fisik atas perempuan/istrinya.”-Dobash dan Dobash-
- Ketidaksetaraan struktur yang didikte oleh masyarakat, dan hukum negara yang seharusnya melindungi tetapi menjadi sangat diskriminatif menjadi bagian dari peran-peran gender yang stereotip yang melemahkan perempuan.
- Ketidakseimbangan pembagian kekuasaan di dalam beberapa rumah tangga juga cenderung untuk mempromosikan pelecehan terhadap istri.
Gambaran umum yang mengemukakan tentang fenomena kekerasa terhadap perempuan/istri ini biasanya mengikuti suatu siklus. Pertama, ada peningkatan ketegangan, misalnya terjadi adu argumen. Kedua, terjadi pelecehan emosi dan fisik secara nyata. Ketiga adalah periode penyesalan yang bernuansa kesedihan, dimana si penganiaya menjadi sangat menyesal dan memohon pengampunan. Dalam tahap ini, seringkali perempuan mengembangkan ilusinya bahwa ini akan menjadi saat terakhir laki-laki menguasai dirinya. Dan siklus ini akan terulang dan terus terulang. Inilah yang disebut dengan “lingkaran setan” yang terus menerus akan menjadikan perempuan sebagai korban penganiayaan yang permanen.
Penganiayaan terhadap perempuan adalah sesuatu yang nyata dan sangat rawan terjadi. Praktik yang diwariskan sejak zaman kuno ini dilihat oleh beberapa ahli sebagai salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Hingga detik ini, baru 7 bulan tinggal di yogya, sdh melihat sendiri seorang ibu muda dgn anaknya usia 1-1,5thn dgn muka bengep dan biru. Ditutupi dgn makeup (alas bedak ) tebal. Saya kira tingkat KDRT di yogya kecil. Karna menganut budaya jawa yg saya kira santun dan menghormati perempuan. eh, keadaan di lapangan berbeda.,Heheeehehe. . . .Sy kira KDRT bnyk terjadi di ibukota yg stress level nya tinggi. tp di daerah pun bnyk. . . bullying at school pun bnyk terjadi di sini bahkan anak sy alami sendiri. pdhal selama bersekolah di Jakarta tdk pernah alami bullying. pindah ke daerah eh ya kok jd korban. . .Lagi lagi selama ini yg dikira di daerah tdk ada, tp rupanya Terjadi. . . Dan ada. . . Yaaaa pembelajaran bagi saya jg , ibukota maupun daerah sama sama memiliki problemanya. Walaupun tingkat stress nya dan kemacetannya tdk separah ibukota 😜😜