Di abad pertengahan, pada umumnya kedudukan kaum perempuan di Barat sangat terkungkung; baik dalam kehidupan rumah tangga sebagai istri, apalagi yang berkenaan dengan hak-hak kemasyarakatan. Posisi kaum perempuan pada saat itu tak begitu jauh bedanya dengan kedudukan perbudakan yang diperlakukan semena-mena. Pada waktu itulah timbul di benua Eropa gerakan perempuan yang dinamakan gerakan emansipasi. Ketika wacana teologis tentang perempuan dibuka dan menjadi diskursus yang cukup ramai, maka pembahasan dogma-dogma agama mulai muncul dan berkembang.
Diawali dengan anggapan bahwa konstruksi gender dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dan ideologi yang dianutnya, maka wacana teologi gender mulai bergulir. Anggapan bahwa pemahaman agama bias gender membuat arah baru gerakan feminisme, di mana para feminis mulai menawarkan pemaknaan baru terhadap agama sekaligus membongkar dogma-dogma agama yang telah mapan dan dianggap membelenggu kaum perempuan. Hal ini hampir terjadi di semua agama. Menurut sebuah tulisan yang mengatakan bahwa pada tahun 1895 misalnya, Elizabeth Cady berkomentar dan pandangan Injil terhadap perempuan dalam tulisannya yang terkenal yaitu The Women Bible.
Dia menganggap bahwa subordinasi terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat Barat waktu itu berakar dari ideology dan agama yang dipegang teguh masyarakat. Isu penting yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi tema sentral dan menarik untuk dibicarakan dan menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, perubahan sosial, dan juga persoalan pembangunan dan perubahan sosial. Sesungguhnya ini menjadi penting karena kaum perempuan dianggap punya andil dalam keberhasilan pembangunan, baik fisik apalagi moril. Dalam membicarakan persoalan gender pasti pikiran kita akan terus digiring terhadap eksistensi perempuan, terutama yang berkaitan dengan persoalan hak-hak yang terabaikan. Istilah gender itu pada awalnya berkembang sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley, dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Terlepas dari analisis yang dijadikan sebagai acuan untuk setiap persoalan perempuan, penulis sengaja menggambarkan realita yang cukup diperhitungkan untuk diperbincangkan baik di kalangan kampus atau akademisi maupun obrolan ringan di setiap pertemuan.
Seiring dengan berkembangnya feminisme di dunia Islam, spirit serupa juga mulai muncul dari kalangan Islam pada decade 1980-an lewat tulisan Riffat Hasan dan Yvonne Haddad. Tokoh feminisme muslim ini semakin bertambah banyak dengan lahirnya buku-buku yang bernafas rekonstruksi pemikiran seperti yang dilakukan oleh Fatimah Mernisi, Ali Asghar E, Amina Wadud Muhsin, dan sebagainya. Ada banyak sebab mengapa feminisme di kalangan Islam juga berkembang, sebab yang paling nyata adalah karena kondisi di sebagian masyarakat Islam yang pemahaman, persepsi, dan perlakuan terhadap perempuan lebih banyak diwarnai oleh kultur lokal dibanding Islam. Mereka mengkritik pemahaman yang berkembang selama ini. Pemahaman masyarakat dan ulama khususnya terhadap hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an dianggap bias gender. Itulah sebabnya menurut mereka di masyarakat Islam masih ada fenomena penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Feminis muslim memahami bahwa spirit Islam yang dibawa Rasul adalah untuk membebaskan kaum perempuan dari penindasan dan ketidakadilan tersebut, seperti yang banyak dilansir dalam sejarah Islam dengan sebutan zaman jahiliyah.
Seperti satu klausul yang ditulis oleh Nazaruddin Umar dalam makalahnya yaitu: Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi, meskipun Nabi telah semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu”. Dari pernyataan tersebut dapat dipastikan bahwa sebenarnya kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh Rasul untuk mengangkat perempuan dari penindasan dan ketidakadilan sangat terikat oleh kultur suatu komunitas masyarakat. Secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah proses yang terus berjalan dan tidak pernah berhenti atau berjalan ditempat. Amina Wadud dalam penelitiannya mengatakan bahwa, di bidang gender, para pemikir konservatif menafsirkan reformasi yang jelas, yang dilakukan Al-Qur’an terhadap praktik historis dan kultur, sebagai pernyataan yang sesungguhnya dan pasti tentang praktik tersebut untuk selamanya dan di manapun. Yang dibutuhkan adalah suatu pemahaman yang menganggap perubahan tersebut sebagai upaya membangun preseden untuk dikembangkan secara berkelanjutan menuju sebuah tatanan sosial yang adil. Tatanan sosial yang adil dan komprehensif tidak saja memperlakukan wanita secara adil, tetapi juga melibatkan wanita sebagai agen, yang bertanggung jawab untuk memberikan konstribusi terhadap semua persoalan yang berhubungan dengan masyarakat manusia. Menarik untuk dibicarakan, paling tidak sebagai upaya mengangkat harga diri kaum perempuan sehingga lebih disejajarkan dengan kaum laki-laki.
Ini merupakan salah satu perjuangan yang tidak akan bergerak mundur tetapi sebuah peningkatan konstribusi pemikiran secara ilmiah agar kaum perempuan benar-benar mendapatkan haknya dan tidak diterlantarkan. Persoalan gender memang begitu kompleks, analisis gender sebagai alat analisis sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan. Karena persoalan gender sebenarnya adalah persoalan ideologi yang dianut oleh kaum laki-laki maupun perempuan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku, bukan terletak pada kaum perempuan itu sendiri.
terimakasih artikelnya menambah pengetahuan saya
artikelnya sangat bermanfaat, thanks…
penjelasannya sangat bermanfaat, terimakasih banyak