Oleh Neni Nilasari
Tanggal 6 Februari tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Internasional Tanpa Toleransi Terhadap Sunat Perempuan. Hal ini muncul dari keprihatinan akan tingginya jumlah perempuan dan anak perempuan yang mengalami penyunatan di banyak negara seperti di Afrika, Timur Tengah, Malaysia, Indonesia, Amerika Selatan, bahkan Inggris dan Perancis. Data dari UNICEF menunjukkan setidaknya 120 juta anak perempuan dan perempuan telah mengalami sunat perempuan di 29 negara dan 30 juta anak perempuan di bawah 15 tahun masih memiliki risiko mengalami sunat perempuan.
Apa sebenarnya sunat perempuan itu? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi definisi sunat perempuan menjadi 4 tipe, yaitu:
Tipe I : memotong seluruh bagian klitoris
Tipe II : memotong sebagian klitoris
Tipe III : menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi)
Tipe IV : menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan.
Sunat perempuan bisa menimbulkan komplikasi dari pendarahan hingga kemandulan disfungsi seksual. Tidak hanya itu, sunat bisa menyebabkan trauma seksual. Komplikasi jangka pendek akibat medikalisasi sunat perempuan adalah pendarahan, infeksi yang bisa menimbulkan septikemia, penyakit tetanus dan luka membusuk. Komplikasi jangka panjang adalah kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih, radang panggul kronis, kemandulan disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan bersalin dan risiko tertular HIV. Sunat juga mengakibatkan psikoseksual pada perempuan seperti nyeri saat berhubungan intim dan mengurangi kenikmatan seksual, ketakutan, depresi, dan konflik dalam perkawinan. Itu hasil penelitian tim nasional dibantu WHO dan Unicef.
Secara historis, praktik sunat bagi perempuan telah ada sebelum agama Islam lahir. Di Indonesia sendiri praktek sunat perempuan di masyarakat banyak dipengaruhi oleh faktor agama dan tradisi. Kementrian Kesehatan di tahun 2006 pernah mengeluarkan larangan sunat perempuan. Namun dua tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa agama menolak larangan Menkes dengan alasan sunat perempuan adalah bagian dari syariah. Ketua MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan “Tata cara khitan perempuan menurut ajaran Islam hanya menghilangkan selaput, dalam istilah medis colum atau praeputium, yang menutupi klitoris”.
Menimbang bahwa jika sunat perempuan dilarang dilakukan oleh tenaga kesehatan, padahal pada kenyataannya di masyarakat praktik tersebut masih berlangsung , dikhawatirkan masyarakat yang ingin menyunat bayi perempuannya justru akan pergi ke dukun dan hal tersebut justru akan menimbulkan berbagai komplikasi. Karena itulah kemudian Kementrian Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 1636/ MENKES/PER/XI/2010 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan . Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris (Pasal 1 angka 1 Permenkes 1636/2010). Sunat perempuan dilakukan dengan berbagai alasan, tetapi pada intinya bukan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Untuk dapat dilakukan sunat perempuan, harus atas dasar permintaan dan persetujuan dari perempuan yang disunat, orang tua, dan/atau walinya (Pasal 3 ayat [1] Permenkes 1636/2010). Apabila sunat dilakukan pada bayi perempuan, maka harus dilakukan dengan permintaan dan persetujuan orang tua atau walinya. Jika tenaga kesehatan mendapat permintaan dari pasien atau orang tua bayi perempuan untuk melakukan tindakan sunat, maka prosedur sunat perempuan harus dilakukan sesuai Permenkes 1636/2010 dan hal tersebut akan menjamin keamanan dan perlindungan sistem reproduksi perempuan.
Permenkes 1636/2010 ini bukan dimaksudkan untuk mewajibkan sunat perempuan, bukan pula melegitimasi atau melegalisasi sunat perempuan. Permenkes 1636/2010 ini digunakan sebagai standar operasional prosedur (SOP) bagi tenaga kesehatan apabila ada permintaan dari pasien atau orangtua bayi untuk melakukan sunat perempuan pada diri atau bayinya.
Meskipun MUI dan Pemerintah sudah sepakat mengenai sunat perempuan namun hal ini tetap dipandang sebagai pelanggaran atas Hak Reproduksi dan Seksual. Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan. Dan setiap individu mempunyai hak untuk menikmati dan mengatur kehidupan seksual dan reproduksinya. Praktek sunat perempuan yang selama ini dialami terutama oleh anak-anak perempuan juga bisa dilihat sebagai praktek pelanggaran hak anak. Hal ini karena anak-anak yang dipengaruhi lingkungan dan norma sekitarnya, belum bisa membuat keputusannya sendiri tentang bagaimana mereka ingin tubuhnya diperlakukan. Sehingga yang ada kemudian adalah anak-anak ‘dipaksa’ menerima perlakuan itu atas nama tradisi dan syariat.
Saat ini secara global sunat perempuan mengalami penurunan. “Perempuan dan anak perempuan yang terberdaya adalah kunci mematahkan siklus diskriminasi dan kekerasan dan untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi dan hak-hak reproduksi,” kata Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif UNFPA. Karena itu penting sekali mengenal dan memahami Hak Reproduksi dan Seksual karena dengan itu kita bisa melindungi, memperjuangkan dan membela hak seksual dan reproduksi kita dan orang lain dari berbagai tindak kekerasan dan serangan terhadap hak seksual dan reproduksi kita.