Yogyakarta, 11 Desember 2015
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur menilai kekerasan terhadap perempuan adalah problematika yang sulit untuk diselesaikan. Sekretaris KPI Jawa Timur, Wiwik Afifah mengatakan, sulitnya penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan terutama di Jawa Timur lebih dikarenakan minimnya informasi serta pendidikan terkait kekerasan terhadap perempuan.
Wiwik menambahkan, dalam laporan yang masuk di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jawa Timur, hingga bulan September 2015 tercatat ada 235 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini jauh meningkat dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 197 kasus.
Jika dilihat sekilas, jumlah ini memang tampak sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Namun, yang harus diperhatikan, jumlah tersebut adalah jumlah kasus yang terlaporkan.
“Jumlah kasus yang dilaporkan tentu berbeda dengan jumlah korban yang ditimbulkan. Pada kasus perdagangan orang misalnya, 1 kasus bisa memiliki korban hingga puluhan orang. Terlebih lagi bila keseluruhan kasus yang diterima oleh RT/RW PKK sebagai aduan, bila dicatat tentu jumlahnya akan fantastis. Termasuk juga banyaknya kasus yang tidak dilaporkan,” ujar Wiwik.
Wiwik juga mengatakan kecilnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada pusat layanan (RS, konselor di sekolah, PPT) dan di penegak hukum, karena minimnya pengetahuan perempuan mengenai mekanisme pelaporan kasus, termasuk minimnya perlindungan terhadap saksi dan pelapor, serta layanan dan tempat melapor yang dianggap kurang nyaman. Faktor-faktor tersebut menjadi andil minimnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus – kasus kekerasan terhadap perempuan.
Tak hanya itu, masih belum adanya pendidikan terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk juga mengenai konstruk ketidakadilan gender yang memposisikan perempuan untuk diam atas perlakukan kekerasan dengan alasan menutup aib.
Wiwik mengatakan, saat ini negara memang sudah memiliki sistem perlindungan perempuan dan anak dengan dibentuknya Komnas Perempuan hingga Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT) tingkat kabupaten/kota, termasuk keberadaan Ruang Pelayanan Khusus atau Unit Perlinudngan Perempuan Dan Anak di kepolisian.Namun, hal tersebut dirasa masih belum maksimal selama pola pikir serta sistem pendidikan terkait isu gender, kesehatan reproduksi hingga cara pencegahan kekerasan terhadap perempuan belum dilakukan dengan baik.
Wiwik menambahkan, ujung tombak penanganan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya pada kasus yang telah muncul, tapi juga pada konteks pemaknaan kekerasannya yang seringkali tidak terakomodir dalam aturan hukum.Sehingga lembaga penegak hukum tidak bisa tegas dalam menegakkan amanah perlindungan hukum terhadap warga negara.
Menurutnya, selama ini kekerasan terhadap perempuan yang diakomodir dalam Undang-Undang adalah kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan manusia. Sedangkan kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP lingkupnya masih sangat sempit. Dalam penjelasan KUHP perkosaan hanya mencakup kekerasan seksual berupa penetrasi alat kelamin, padahal seharusnya konotasi dan penjelasan dari perkosaan harus lebih luas lagi.
Sedangkan bentuk kekerasan sendiri sebenarnya ada 13 macam, diantaranya tindak perkosaan, intimidasi bernuansa seksual (termasuk ancaman atau percobaan perkosaan).Selain itu ada pula kekerasan berupa pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, kontrasepsi/sterilisasi paksa, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, dan kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama yang dirasa masih belum tegas dan jelas aturan hukumnya.
“Ragam kekerasan seksual inilah yang belum terakomodir dalam aturan hukum yang berdampak pada tidak tegaknya perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan,” pungkasnya.
Wiwik juga menegaskan bahwa kekerasan tidak akan tertangani dengan baik, bila layanan tidak dilakukan berbasis masyarakat terkecil. Kekerasan juga tidak akan tuntas diselesaikan bila perlindungan sosial terhadap perempuan dan anak tidak diwujudkan dalam kebijakan, serta program dan anggaran yang jelas keberpihakannya pada keadilan.
Reporter : Yovinus Guntur
Editor : Wita Ayodhyaputri