Penutupan lokalisasi Dolly di kota Surabaya yang diharapkan dapat memperbaiki taraf hidup perempuan, justru berbanding terbalik dengan angka persebaran HIV/AIDS di kota Pahlawan.
Yayasan Our Right To Be Independent (Orbit) menyebutkan setelah penutupan lokalisasi Dolly di tahun 2014, saat ini di Surabaya justru tidak ada lagi kecamatan yang bebas dari HIV.
Selain itu, angka penderita HIV/AIDS di Kota Surabaya justru mengalami kenaikan yang cukup signifikan setiap tahunnya.
“Sebelum penutupan lokalisasi, di kecamatan Pabean Cantian dan kawasan Surabaya Utara nihil angka HIV/AIDS.” ujar Program Manager Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) Yayasan Orbit, Eka Lilik Mulyani.
Eka mengatakan, permasalahan persebaran HIV/AIDS sebelum dan sesudah lokalisasi ditutup, beberapa kali juga sudah disampaikan oleh Dinas Kesehatan, namun belum ada tindak lanjut berarti hingga saat ini.
Dengan penutupan lokalisasi, semua Perempuan Pekerja Seks (PPS) di Dolly berubah menjadi PPS tidak langsung.
Artinya, jika sebelumnya mereka bekerja terlokalisasi di Dolly kini mereka bekerja secara terselubung di beberapa lokasi, seperti tempat kost hingga hotel.
“Pasca Dolly ditutup, di kawasan tersebut berubah menjadi tempat kost dan eksekusinya di hotel. Inilah yang membuat kontrol terhadap HIV/AIDS menjadi sulit.” kata Eka Lilik Mulyani.
Sementara itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Harsono saat dihubungi melalui sambungan telpon mengatakan, dirinya tak menampik bahwa saat ini persebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya sudah masuk keseluruh kecamatan.
Namun dengan tegas Harsono mengatakan bahwa hal tersebut semata – mata bukan karena penutupan lokalisasi Dolly di Kota Surabaya.
“Enggak, gak ada kolerasinya ya dengan penutupan itu, saya pikir kenapa semuanya ada itu karena kita giat untuk menemukan, skrining untuk HIV, selama ini waktu ada Dolly sebetulnya hampir semua kabupaten kota ada juga.” ujar Harsono.
Harsono menambahkan, hanya saja saat ini pasca penutupan Dolly Dinas Kesehatan memang harus bekerja lebih ekstra untuk melakukan pendataan dan skrining terhadap penderita HIV/AIDS di Kota Surabaya maupun di seluruh wilayah Jawa Timur.
“Cuma memang harus pengamatan itu lebih jeli lagi sekarang, kalau ada lokalisasi kan orang akan lebih terfokus pada lokalisasi, tapi itu akan membahayakan juga karena persebarannya gak hanya terfokus disitu, bisa aja ada lokalisasi tapi kencannya tidak dilokalisasi.” kata Harsono.
Sementara itu berdasarkan Data Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Jawa Timur menyebutkan hingga bulan September 2015 tercatat 31.131 orang penderita HIV dan 14.198 orang penderita AIDS.
Angka tersebut meningkat dari tahun 2014, dengan jumlah penderita HIV di Jawa Timur tercatat 29.000 orang dan penderita AIDS ada 13.551 orang.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 9.375 atau sekitar 30 persennya berada di Surabaya, dan trend kasus HIV/AIDS ini dari tahun ke tahun terus meningkat.
Sekitar 40 persen penderita HIV/AIDS adalah pengguna narkoba jenis suntik. Sedangkan sisanya adalah laki – laki seks laki – laki (LSL) dan transgender (TG).
Permasalahan ini menjadi catatan tersendiri bagi kepemimpinan Tri Rismaharini yang kembali terpilih menjadi Walikota Surabaya periode 2015 – 2020 berdasar hasil hitung cepat.
Sebab sebelumnya Risma, sapaan akbrab Tri Rismaharini menuai kontroversi karena menutup Dolly dengan alasan lebih pada permasalahan moral semata.
Namun ternyata kini, pasca Dolly di tutup justru muncul permasalahan baru dengan meningkatnya kasus penderita HIV/AIDS.
Bahkan saat ini dipastikan belum semua penderita HIV/AIDS terdata, artinya jumlah penderita HIV/AIDS lebih tinggi dari data yang ada.
Untuk itu, diharapkan pada kepemimpinannya mendatang Risma beserta pemerintah kota Surabaya dapat melakukan upaya pencegahan maupun penanganan sehingga persebaran kasus HIV/AIDS di Surabaya tidak semakin meluas.
Reporter : Yovinus Guntur
Editor : Wita Ayodhyaputri