Bagi kalangan remaja, istilah “jadian” atau pacaran tentu tidak asing lagi. Tidak sedikit remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), sudah membina hubungan asmara.
Pacaran yang didefinisikan sebagai ikatan cinta antara dua orang, seringkali disalahartikan dan melupakan arti pacaran yang sesungguhnya.
Dosen tetap Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Michael Seno Rahardanto mengatakan, pacaran adalah proses pengenalan antara dua individu serta proses pengembangan diri masing-masing.
Mereka yang menjalin hubungan pacaran, seharusnya sudah mencapai kata sepakat di awal sebelum menjalin hubungan. Apalagi, biasanya proses pacaran merupakan tahapan yang sering dilalui sebelum menuju jenjang pernikahan.
Pacaran yang ideal, menurut laki – laki yang akrab disapa Danto ini, adalah pacaran yang sehat atau yang menghargai satu sama lain, termasuk juga menghormati hak seksual pasangan.
“Misalnya, pacaran yang berisi pemaksaan kehendak (pelanggaran kehendak bebas) atau yang berisi aktivitas seksual pranikah.” ujar dosen di bidang Psikologi Klinis ini.
Danto menambahkan, tujuan pacaran yang sehat seharusnya adalah untuk lebih mengenal dan memahami karakter satu sama lain, serta untuk melatih pengendalian diri sendiri.
Namun jika relasi pacaran sudah melangkah ke ranah hubungan seksual, maka menurut Danto, hal tersebut akan menghilangkan fokus pengenalan karakter pasangan..
Fokus relasi akan terpusat hanya ke urusan seks dan biasanya relasi pacaran yang melibatkan aktivitas seks justru tidak bertahan hingga ke pernikahan.
Danto menjelaskan, ketika pasangan memaksa untuk berhubungan seksual, meski dengan dalih cinta, sebenarnya itu bukan bentuk cinta melainkan eksploitasi dan dapat mengarah pada kekerasan dalam pacaran.
“Kalau mau jujur, pasangan yang memaksa hubungan seksual, fokusnya adalah menyenangkan diri sendiri,” cetusnya.
Danto mengatakan, pacaran yang sehat adalah pacaran yang mengelola relasi dengan kesepakatan yang jelas. Contohnya, kalau berpacaran harus di tempat terbuka, tidak di tempat sepi, apalagi tertutup.
Pasangan, terutama yang perempuan harus berani menolak dan berani berkata tidak jika pasangannya mulai menyentuh atau meraba-raba bagian sensitif dari tubuhnya.
Danto juga mengatakan, dalam membina hubungan atau pacaran, alangkah baiknya jika pasangan mempunyai minimal satu orang terdekat yang dapat dipercaya dan cukup matang secara pemikiran serta emosi, agar dapat menjadi tempat bercerita terkait hubungan relasi atau pacaran mereka,
Sehingga ada orang lain yang mengetahui kondisi yang dihadapi, dan bisa memberikan masukan yang lebih objektif.
“Jadi apabila pacar menunjukkan tanda-tanda menggunakan kekerasan (termasuk lisan), maka relasi itu bisa dipertimbangkan untuk tidak dilanjutkan,” pungkasnya. (*)
Reporter : Yovinus Guntur
Editor : Wita Ayodhyaputri