Di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Path istilah bullying seringkali terdengar. Tidak sedikit para pemakai media sosial ini pernah menjadi pelaku maupun korban bullying. Meraka yang menjadi korban bullying pun berasal dari beragam latar belakang profesi, mulai dari pelajar, mahasiswa hingga pejabat negara.
Maraknya bullying di media sosial, terutama bagi para pelakunya, dinilai Psikolog Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Michael Seno Rahardanto belum memiliki kematangan sosial, kemampuan berempati, dan kemampuan pengendalian diri yang sehat. Sehingga mereka cenderung melampiaskan kebutuhannya tersebut ke orang yang tampak lebih lemah, berbeda, atau tampak bisa menjadi sasaran yang mudah.
Dosen tetap di bidang Psikologi Klinis ini mengatakan, bullying merupakan tindak kekerasan dan kejahatan serius, karena bisa berdampak sangat besar pada korbannya, seperti yang dialami Sonya Ekarina Depari siswi SMU di Sumatera Utara. Akibat mendapat kecaman dan bullying oleh netizen di media sosial, orang tua siswi tersebut bahkan meninggal dunia.
Danto, sapaan akrab Michael Seno Rahardanto juga mengatakan, dalam psikologi, tindakan bullying yang menimpa Sonya, digolongkan dalam kategori cyber bullying. Cyber bullying adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, media sosial, telepon genggam, dan berbagai jenis sarana sejenisnya, untuk melaksanakan suatu perilaku yg disengaja, diulangi, yang tujuannya menyerang, melukai, merugikan orang lain. Definisi ini mengacu ke buku Cyber Bullying karya Trolley dan Hanel (2010).
Secara spesifik, jenis cyber bullying yang dialami siswi tersebut tergolong dalam tipe harassment, yaitu bullying berupa tindakan mengirim pesan yang menghina atau mengejek.
“Ada beberapa jenis cyber bullying, yaitu flaming, harassment, cyber stalking, denigration, impersonation, outing, trickery, dan exclusion. Yang dialami siswi tersebut termasuk kategori harassment,” ujar Danto.
Danto menjelaskan, bullying, apapun bentuknya, jelas berdampak traumatis bagi korban dan keluarganya. Rasa takut, rasa malu, rasa minder, rasa bersalah, atau berbagai emosi negatif lainnya, yang bisa berakibat ke rusaknya relasi orang-orang yang menjadi korban dengan lingkungannya.
Bahkan, bila korban merasa tidak kuat menanggung rasa malu atau tekanan karena perilaku bullying tersebut, korban bisa mengambil langkah ekstrem, seperti mulai mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Di sisi lain, para pelaku cyber bullying biasanya diuntungkan dengan kondisi identitas mereka yang relatif anonim. Dalam kondisi anonim, manusia bisa memunculkan sifat-sifat tertentu yang tidak muncul dalam kondisi saat identitasnya terpapar jelas.
Danto menambahkan, menurut hasil penelitian Trolley, Hanel & Shields (2006), pelaku bullying umumnya memiliki sejumlah kebutuhan, yaitu belonging (kebutuhan diterima kelompoknya), power (kebutuhan berkuasa), revenge (kebutuhan balas dendam), serta fun (kebutuhan bersenang-senang).
Sementara itu, remaja yang masih berada dalam fase transisi fisik dan psikologis cenderung rentan terhadap perbagai gejolak emosi yang berubah-ubah. Remaja juga memiliki kecenderungan egosentrisme yang tinggi, keinginan untuk menonjolkan keunikannya, dan kebutuhan besar untuk diterima lingkungannya. Sehingga mereka cenderung menjadi pelaku atau korban bullying.
“Elemen psikologis tersebut berpadu dalam struktur sosial dimana remaja banyak bertemu remaja lainnya (misalnya di sekolah) sehingga lebih memungkinkan perilaku bullying terjadi,” pungkasnya.
Penulis : Yovinus Guntur’
Editor : Wita Ayodhyaputri