Bagi sebagian masyarakat Indonesia, perempuan yang menikah di usia dini atau dibawah 20 tahun masih dianggap sebagai perempuan yang beruntung. Sedangkan perempuan yang berusia di atas 20 tahun dan belum menikah maka akan dianggap tidak beruntung. Permasalahan ini terjadi tak luput karena pengaruh budaya, adat istiadat suatu daerah serta kurangnya pemahaman dan informasi tentang kesehatan reproduksi dimasyarakat.
Padahal jika perempuan dipaksa atau terpaksa menikah di usia dini maka maka akan mengalami berbagai resiko mulai dari permasalah reproduksi, ekonomi hingga masalah psikologis.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Dr. Eni Gustina mengatakan, kehamilan pada perempuan usia dini, akan berdampak tidak baik bagi kesehatannya. Karena secara fisik, mental dan sosial, perempuan di usia dini belum matang dan belum siap untuk menjadi seorang ibu. Perkembangan hormon, postur tubuh, perkembangan tanda seks sekunder, dan kondisi mental yang masih labil akan beresiko tinggi bila terjadi kehamilan pada perempuan di usia muda, bahkan dapat mengakibatkan kematian.
“Pernikahan di bawah 19 tahun itu kecenderungan angka kematiannya lebih tinggi, karena sekian persen kematian bayi ada pada kelahiran dari perempuan yang umurnya di bawah umur,” kata Eni.
Eni menjelaskan, perempuan yang menikah di usia dini memiliki dampak kesehatan seperti berpeluang 4,5 kali terjadi kehamilan dengan resiko tinggi, seperti kerusakan otak janin dan gangguan tumbuh kembang bayi akibat kekurangan yodium.
“Perempuan yang menikah di usia dini akan mengakibatkan bayi yang lahir memiliki berat badan rendah yaitu di bawah 2.500 gram, dan lebih besar untuk tertular penyakit menular seksual serta meningkatkan risiko kematian saat melahirkan 2 kali lebih besar,” kata Eni.
Selain masalah kesehatan, perempuan yang menikah di usia dini juga memiliki resiko secara sosial, pendidikan dan ekonomi. Perempuan yang menikah di usia dini biasanya akan putus sekolah, secara ekonomi biasanya juga sulit untuk mandiri karena sulitnya mendapat pekerjaan yang layak. Sehingga secara otomatis beban kebutuhan ekonomi keluarga meningkat karena peningkatan kebutuhan keluarga.
“Hal ini akan memengaruhi ekonomi keluarga,” kata Eni.
Eni juga mengatakan dampak psikososial akibat pernikahan usia dini juga besar, dimana karena putus pendidikan sehingga anak menjadi kurang percaya diri. Kemudian, kemiskinan yang berkelanjutan, tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat karena dianggap aib dalam masyarakat. Selain itu akibat dari pernikahan dini juga terjadi perceraian karena belum siap dan matang untuk berumah tangga.
“Dan tidak optimalnya tumbuh kembang anak karena asupan gizi selama kehamilan kurang,” kata Eni.
Melihat dampak dari pernikahan dini lebih banyak negatifnya, maka Eni berharap masyarakat paham mengenai bahaya menikah di usia. Sehingga dapat menekan angka kematian ibu dan anak. “Kami sudah membuat regulasi mengenai pernikahan dini ini tetapi semuanya tergantung dari masyarakatnya sendiri,” kata Eni.
Sementara itu, berdasarkan data yang di miliki Kementrian Kesehatan dari sensus penduduk 2010 menyebutkan umur pertama menikah pada perempuan usia 15 sampai 19 tahun sebanyak 41,9%, bahkan terdapat 4,8% pernikahan pada perempuan usia 10 sampai 14 tahun.
Sayangnya hingga saat ini aturan terkait pernikahan di usia dini ini juga belum tegas, masih banyak perempuan yang terpaksa, dipaksa atau bahkan rela menikah di usia dini karena sebagian besar tak tahu resiko yang akan mereka alami.
Pemerintah dan Negara juga terkesan abai dan lalai dengan beragam resiko pernikahan di usia dini. Bahkan sa
Beragam alasan juga terkesan melegalkan pernikahan di usia dini, seperti adat istiadat, alasan agama hingga alasan perempuan yang sudah mengalami kehamilan tidak direncanakan yang kemudian terpaksa harus menikah. Padalah dari beragam alasan tersebut masih banyak solusi lain yang bias ditawarkan pada perempuan dan pernikahan di usia dini bukanlah satu – satunya solusi.
Reporter : Nina Suartika
Editor : Wita Ayodhyaputri