Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ternyata masih mendominasi kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2015 di Jakarta.
Staf Layanan Umum LBH Apik, Iit Rahmatin mengungkapkan, bagi seorang pelaku kekerasan, ternyata adanya relasi dengan korban, usia korban, profesi korban bukanlah hambatan untuk melakukan kekerasan terhadap korbannya.
Artinya seorang pelaku kekerasan bisa saja melakukan kekerasan terhadap isteri, anak di bawah umur, tetangga atau bahkan orang yang pekerja pada dirinya.
Dari catatan penanganan kasus dan advokasi LBH Apik Jakarta tahun 2015, jenis kekerasan yang masih tinggi menimpa perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mencapai 396 kasus. Selain KDRT beberapa kasus lain adalah pelanggaran hak dasar 38 kasus, perdata keluarga (pemalsuan identitas, penipuan, penganiayaan, pencurian, dugaan malpraktek) 37 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) 34 kasus, dan kekerasan seksual (diluar KDRT dan KDP) sebanyak 24 kasus.
Adapun usia korban kekerasan tertinggi berada pada usia 36-45 tahun dengan jumlah kasus 94, diikuti usia 26-35 tahun sebanyak 93 kasus, usia 45 tahun ke atas 58 kasus, usia 15-25 tahun 40 kasus, dan 26 orang tidak diketahui.
Dari sisi pekerjaan, ibu rumah tangga menempati posisi teratas dari korban kekerasan yaitu sebanyak 85 orang, diikuti wiraswasta, PNS dan lain-lain sebanyak 79 orang, karyawan sebanyak 54 orang, dan tidak bekerja sebanyak 31 orang.
“Jakarta Timur menempati wilayah terbesar terjadinya kekerasan terhadap perempuan yaitu sebanyak 77 orang, diikuti tidak diketahui 37 orang, Jakarta Selatan sebanyak 36 orang, dan Bekasi 26 orang,” kata Iit.
Iit juga mengatakan, berdasarkan data penanganan kasus LBH Apik sepanjang 2015 memperlihatkan bahwa situasi kekerasan terhadap perempuan, penegakan hukum dan akses perempuan terhadap keadilan masih cenderung memprihatinkan.
Keberadaan UU yang positif seperti UU PKDRT dan lainnya hingga kini ternyata masih belum menjamin pemenuhan hak-hak korban karena tidak konsisten diimplementasikan sesuai dengan filosofi dan tujuan dari UU tersebut.
LBH Apik Jakarta juga memberikan rekomendasi agar Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemerintah mengoptimalkan pelaksanaan UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU SPPA, UU Bantuan Hukum, UU Kesehatan dan UU lainnya yang telah memberikan terobosan perlindungan dan akses terhadap perempuan.
Selain itu LBH Apik juga meminta proses hukum terhadap perempuan dan anak agar dilakukan dengan cara yang menghormati hak-hak korban, sensitif gender, ramah terhadap anak dan tidak melakukan stigmatisasi dan revictimisasi kepada perempuan.
“Agar RUU Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan PRT, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender dan RUU lainnya yang mempromosikan hak-hak dan perlindungan perempuan segera dibahas dan disahkan,” kata Iit.
Penulis : Nina Suartika
Editor : Wita Ayodhyaputri