Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyesalkan adanya kasus pemerkosaan yang berujung pembunuhan terhadap YY (14) siswi SMP di Bengkulu. Kasus YY merepresentasikan minimnya perhatian Negara terhadap isu besar tentang kejahatan seksual. Hal ini sangat meresahkan dan memprihatinkan sebab siapapun berpotensi menjadi korban kekerasan maupun kejahatan seksual di Indonesia.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan, kasus YY harus dilihat sebagai kasus sistemik. Yang artinya wilayah pelosok atau terpencil saat ini semakin merentankan perempuan karena minimnya pantauan, serta kurangnya akses perlindungan dan keadilan bagi korban.
“Kasus YY ini sudah terjadi sejak 3 April 2016 tetapi baru ditemukan 3 hari kemudian dan menyentak kita semua setelah 1 bulan berjalan,” kata Budi.
Kemudian, terduga pelaku kasus YY, dari 14 pelaku, 7 diantaranya yaitu anak-anak. Informasi awal, para pelaku tumbuh dari masyarakat miskin, putus sekolah dan bekerja menjadi kuli kebun karet dan kopi. Sehingga banyak waktu luang yang memicu pelaku untuk minum tuak. Selain itu para pelaku juga minim dalam pendidikan dan informasi tentang seksualitas.
“Artinya korban dan pelaku semakin rentan karena kondisi kemiskinan dan pemiskinan,” kata Budi.
Budi mengatakan, kekerasan seksual bukan hanya menghancurkan korban dan keluarganya tetapi juga menghancurkan masa depan pelaku dan keluarganya, tak terkecuali masyarakat yang sudah kehilangan rasa aman, baik di publik maupun domestik.
Data Komnas Perempuan dalam kurun waktu 10 tahun, terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual, 70 persen pelaku adalah anggota keluarga dan orang-orang terdekat.
Untuk itu, Komnas Perempuan meminta negara untuk menunjukan “sense of urgency” bahwa isu kekerasan seksual sudah dalam kondisi darurat. Kembalikan rasa aman perempuan yang rentan menjadi korban dengan perwujudan pencegahan, penanganan dan pemulihan sistemik hingga ke berbagai wilayah, melalui pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Kami juga mendorong seluruh partai dan fraksi-fraksi di DPR agar menyampaikan sikap dan komitmen kepada publik untuk penghapusan kekerasan seksual melalui langkah sistemik antara lain memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas Prolegnas,” kata Budi.
Sementara itu, sejak tahun 2013, melalui Catatan Tahunan (Catahu), Komnas Perempuan sudah memberi alarm keras tentang meningkatnya kasus pemerkosaan kolektif oleh sejumulah kelompok maupun individu pelaku kekerasan seksual di beberapa Wilayah di Indonesia.
Sayangnya peringatan tersebut hingga kini belum juga ditanggapi secara serius oleh pemerintah, bahkan pelaku kekerasan dan kejahatan seksual cenderung mendapat hukuman yang sangat ringan dari penegak hukum.
Data Catahu 2016, kekerasan seksual menempati urutan kedua yang terjadi di ranah personal dari jumlah kasus sebesar 321.752, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus). Di ranah publik, dari data sebanyak 31% (5.002 kasus) jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi yaitu kekerasan seksual (61%). Serta di Ranah Negara (yang menjadi tanggung jawab negara), terdapat kekerasan seksual dalam HAM masa lalu, tes keperawanan di institusi pemerintah, dan lainnya.