Lesbian-Biseksual-Transgender atau yang biasa disingkat LBT masih kerap kali menerima tindakan diskriminasi, hal ini tentu saja melanggar hak asasi manusia. Padahal sudah jelas dalam Undang-Undang HAM, LBT tidak boleh didiskriminasi baik oleh masyarakat atau Negara, termasuk melalui Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Perda).
“Perda yang mengatur soal pelarangan LBT itu melanggar HAM dan tidak konstitusional. Seharusnya Perda-Perda seperti itu dikritisi,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Budi Wahyuni.
Perda yang dimaksud Budi misalnya seperti Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat (No. 13/2002) di Provinsi Sumatera Selatan. Perda tersebut menggolongkan homoseksual dan anal seks oleh laki-laki sebagai perbuatan tidak bermoral, seperti halnya prostitusi, perzinaan, perjudiaan dan konsumsi alkohol. Kemudian, Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial (No. 9/2010) di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dalam Perda tersebut melarang siapapun terlibat homoseksual dan lesbian.
Menurut Budi, Undang-Undang tentang Pornografi tahun 2006 juga mendiskriminasikan kaum LBT karena mengkategorikan hubungan homoseksual dan lesbian sebagai hubungan yang menyimpang.
Dalam catatan Komnas Perempuan, bentuk kekerasan di ranah personal yang dialami Komunitas LBT terbanyak adalah bentuk kekerasan psikis yaitu 8 kasus dalam bentuk intimidasi dan ancaman oleh keluarga, penyebarluasan foto, kebingungan orientasi diri, dan menjadi gosip di kantor. Kekerasan seksual sebanyak 7 kasus, kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan 1 kasus, dan diskriminasi sebanyak 4 kasus.
“Rata-rata bentuk kekerasan. Seksual berbasis SOGIEB dilakukan untuk mengubah orientasi seksual baik dari keluarga maupun komunitas, seperti paksaan menikah, perkosaan dan pemaksaan busana. Tujuannya agar korban ‘sadar’ dan tidak menjadi lesbian,” kata Budi.
Berdasarkan data lembaga mitra, sepanjang tahun 2015 tidak ada korban yang melanjutkan penanganan kasusnya ke jalur hukum meskipun kekerasan dan diskriminasi yang dialaminya sangat berat.
Keenganan tersebut, kata Budi, karena korban khawatir orientasi atau identitas gendernya diketahui, tidak ingin mempermalukan keluarga dan khawatir mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dalam proses hukum karena orientasi seksual atau identitas gendernya.
Budi mengatakan, dari sisi konstitusi, seluruh warga negara Indonesia dijamin hak-haknya oleh konstitusi. Konstitusi/UUD 1945 khususnya Pasal 28 tentang hak asasi manusia menjamin terpenuhinya hak asasi seluruh warga negara dengan latar belakang apapun.
“Orientasi seksual dan identitas gender apapun seharusnya tidak menjadi kendala dalam hal pemenuhan hak asasi manusia dan akses keadilan,” kata Budi.
Penulis : Nina Suartika
Editor : Wita Ayodhyaputri