“Cewek yang suka pake rok mini itu pada dasarnya emang minta diperkosa!”

“Dasar perempuan nakal, pantes aja diperkosa, malam-malam jalan sendirian, sih!”

Pernyataan di atas tentu sudah sering kita dengar, mulai  dari obrolan di warung kopi pinggir jalan, hingga statement yang keluar dari mulut para pejabat saat mengomentarai kasus kekerasan seksual. Wajar saja pernyataan semacam itu lantas keluar dari mulut setiap orang ketika patriarki sudah mendarah daging dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, namun apakah hal tersebut bisa dibiarkan?

Mansour Fakih, dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial, menjelaskan bahwa perbedaan gender sebenarnya tidak harus menjadi masalah. Tidak peduli apakah seseorang memilih menjadi laki-laki, perempuan atau gender lainnya sebagai perannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan orang tersebut semestinya bisa terus berjalan tanpa ada hambatan.  Namun Mansour Fakih menambahkan bahwa perbedaan gender ini kemudian menjadi sebuah permasalahan setelah melahirkan ketidakadilan gender. Dalam buku yang sama, Mansour Fakih juga menjelaskan bahwa ketidakadilan gender bisa mengambil lima bentuk yang berbeda: marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan juga beban ganda. Manifestasi ketidakadilan gender inilah yang kemudian kita terjemahkan dalam pernyataan-pernyataan seperti di atas.

Patriarki membuat perbedaan gender yang sebenarnya baik-baik saja menjadi sesuatu yang bermasalah dengan menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan—subordinasi. Ketika terjadi kasus pemerkosaan, laki-laki yang dalam budaya patriarki ditempatkan pada posisi tertinggi di atas gender-gender lainnya menjadi bebas dari segala tuduhan. Sebagai gantinya, kita dengan cepat segera menempatkan perempuan yang semestinya merupakan korban sebagai pihak yang bersalah. Perilaku perempuan tersebut, entah karena dia pulang kerja larut malam, atau karena dia mengenakan pakaian yang terlampau minim, yang kemudian menguatkan argumen bahwa perempuan tersebut memang pantas untuk diperkosa. Hal ini kemudian diperparah oleh label yang disematkan, bahwa perempuan yang pulang larut malam atau perempuan yang berpakaian seksi bukanlah perempuan baik-baik—stigmatisasi. Lantas ketika terjadi kasus pemerkosaan, pertanyaan pertama yang melintas di kepala kita adalah: “Memangnya dia pakai baju kayak gimana kok bisa diperkosa?”, “Dia jalan sendirian aja pas diperkosa?”, “Pasti dia lagi keluyuran malem-malem, ya?”

Nyatanya, pakaian yang dikenakan oleh seseorang jarang sekali menjadi penyebab utama kekerasan seksual. Contohnya kasus yang menimpa YY di Bengkulu beberapa waktu lalu, perkosaan dan pembunuhan justru terjadi ketika YY pulang sekolah di siang hari. YY masih mengenakan seragam sekolah. Demikian pula kasus yang terjadi di Manado pada Januari 2016 ini. Seorang remaja berusia 19 tahun diperkosa setelah diajak tetangganya pergi ke Gorontalo. Di sana, remaja tersebut dipaksa untuk mencicipi narkoba kemudian diperkosa oleh sembilan belas laki-laki secara bergiliran.

Tak hanya di Indonesia, Katherine Cambareri, seorang mahasiswi jurusan fotografi di Universitas Arcadia, membuat semacam proyek untuk tugas akhirnya di mana dia memotret pakaian-pakaian yang dikenakan oleh sejumlah murid lainnya ketika mereka mengalami kekerasan seksual. Yang mengejutkan, ketika mengalami kekerasan seksual, perempuan-perempuan tersebut tidak mengenakan pakaian yang seksi melainkan kaos biasa, sweater, celana jeans, bahkan kemeja lengan panjang serta celana panjang.

Di satu sisi, kita sebaiknya tidak menentukan pakaian apa yang mestinya dikenakan oleh anak-anak perempuan kita agar mereka terhindar dari pemerkosaan. Namun di sisi lain kita juga harus berhenti menyalahkan pakaian yang dikenakan oleh seorang perempuan ketika dia mengalami kekerasan seksual. Seharusnya, dari pada sibuk mengajari anak-anak perempuan untuk memilih pakaian yang harus mereka kenakan, mengapa kita tidak mengajari anak-anak lelaki untuk tidak memperkosa dan mengajarkan tentang kesetaraan gender. Seperti penjelasan yang telah diuraikan oleh Mansour Fakih, kita semestinya sadar bahwa kekerasan yang dialami oleh seorang perempuan terjadi karena kita terus menempatkan perempuan di bawah posisi laki-laki dan menciptakan ketidakadilan gender.

Penulis : Ajar Pamungkas

Editor : Wita Ayodhyaputri

2 KOMENTAR

  1. Informatif, lebih lagi bila disertakan sumbernya dalam kasus yang dicantumkan sehingga pembaca bisa membaca lebih jauh kasus terkait.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here