Jakarta, Senin 18 Juli 2016
Samsaranews.com – Musim liburan telah usai, anak-anak sekolah pun mulai memasuki tahun ajaran baru. Dimana yang lulus sekolah dasar (SD) mulai mencoba menapaki dunia sekolah menengah pertama (SMP), dan yang lulus SMP segera masuk ke sekolah menengah atas (SMA). Begitu pula anak SMA yang akan masuk ke perguruan tinggi.
Waktu kecil saat masuk SD, kita memang tidak pernah mengenal arti dari masa orientasi siswa atau MOS, namun ketika masuk SMP, SMA dan perguruan tinggi, MOS tersebut seolah menjadi kegiatan rutin. Saat MOS inilah praktek bully sering terjadi.
Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menghimbau sekolah untuk tidak membuat MOS. Namun, di daerah-daerah terkadang masih saja kakak kelas yang melakukan aksi ploncoan tersebut kepada adik kelasnya.
Psikolog anak dan keluarga, Rosalina Verauli mengungkapkan, di tengah sikap #AntiBullying masyarakat dan pemerintah, tak banyak yang sungguh-sungguh memahami aksi bully itu sendiri. Bully merupakan suatu bentuk perilaku agresif yang melibatkan paksaan, tekanan, dan kekerasan pada orang lain. Bully umumnya tak hanya dilakukan satu kali, melainkan terus menerus khususnya ketika ada kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan orang yang menjadi target bully.
“Bully tak hanya kekerasan yang ditunjukkan secara fisik, seperti kekerasan lainnya, bentuk kekerasan secara verbal dan emosional pun tergolong ke dalam aksi bully. Aksi bully secara umum khas menunjukkan adanya intimidasi,” kata Rosalina saat dihubungi, Kamis (14/7/2016).
Dia mengatakan, aksi bully bisa terjadi terus menerus dan berlangsung seperti lingkaran setan. Mereka yang pernah di-bully rentan untuk melakukan aksi bully yang sama ketika memiliki kesempatan untuk menampilkannya. Itu sebabnya langkah preventif dalam mengembangkan gerakan anti bully justru dimulai dari diri sendiri.
“Tak banyak yang sadar, aksi bully bukan sebatas intimidasi senior terhadap yunior dalam MOS,” kata Rosilina.
Dia mengatakan, aksi bully berisiko terjadi dalam berbagai konteks, like everywhere. Selama ada interaksi antar manusia, bully bisa saja muncul di sekolah, rumah, lingkungan tetangga, tempat ibadah, lingkungan kerja atau kantor, di kelompok sosial, bahkan dalam dunia cyber, dan sebagainya. Di tengah sikap keras anti bully yang disiarkan di berbagai media, bisa saja kita adalah salah satu pelaku atau orang yang secara sadar atau tak sadar masih memelihara mentalitas bully di dalam diri.
Berikut ini merupakan tindakan khas dari mereka yang memiliki mentalitas bully. Pertama, senang mengintimidasi atau mempermalukan hingga melakukan sabotase pada rekan kerja di kantor atau di institusi terkait pekerjaannya.
Kedua, memaklumi senioritas yang semena-mena, baik dilingkungan kantor, universitas, lingkungan prraktek kerja, atau sekolah, dan turut menikmatinya.
Ketiga, berlaku seenaknya dan tidak menghargai kaum minoritas maupun mereka yang cacat. Keempat, senang menyebar rumor atau gosip tentang orang lain bahkan menekan siapapun yang ingin berteman dengannya, mengolok-olok caranya berpakaian atau pilihan orientasi seksualnya. Kelima, mengintimidasi seseorang melalui media teknologi, seperti via email, social media. Contohnya adalah menebar teror, atau fitnah.
“Menghentikan bully hanya bisa dilakukan bila semua individu sepakat dalam memaknai bully dan setuju untuk tak lagi memelihara mentalitas bully dalam diri sendiri,” kata Rosalina.
Penulis : Nina Suartika
Editor : Wita Ayodhyaputri