Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak hanya terjadi di kalangan anak dan dewasa, ketika remaja atau memasuki usia pubertas, dimana anak sedang senang menjalin hubungan dengan lawan jenis, kekerasan pun kerap terjadi. Kamis, 21 Juli 2016.
Dalam ranah relasi personal,sebagian besar perempuan justru menganggap kekasihnya sebagai pelindung yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman. Namun kekerasan dalam berpacaran ternyata menempati posisi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan sampai Maret 2016, kekerasan dalam berpacaran terdapat 2.734 kasus (24%), disusul kekerasan anak perempuan 930 kasus (8%), dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni, secara umum kekerasan terhadap perempuan terjadi akibat posisi rentan perempuan. Posisi rentan tersebut disebabkan masih kuatnya budaya patriarki yang diskriminatif, subordinatif dan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, suami dan istri.
“Dalam Catahu kami menegaskan bahwa ranah personal yang seharusnya menjadi tempat aman untuk berteduh justru tidak aman bagi perempuan,” kata Budi Wahyuni saat dihubungi, Senin (18/7/2016).
Di tempat terpisah, menurut Psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, kekerasan dalam berpacaran saat ini memang cenderung meningkat. Dia pun memberikan Tips agar perempuan yang menjadi korban tidak hanya tinggal diam ketika terjadi kekerasan.
“Untuk mencegah agar tidak ada kekerasan dalam berpacaran, satu sama lain harus sama-sama memahami bentuk sayang yang sehat itu seperti apa,” kata Vera.
Menurutnya, jika ada salah satu pasangan yang sudah merasa tersakiti baik secara fisik maupun psikis, maka tak segan untuk menghentikan hubungan atau minta bantuan.
“Jangan terlalu berharap jika kita diam maka kekerasan ini akan lewat begitu saja atau pasangan akan berubah. Mintalah bantuan,” kata Vera.
Penulis : Nina Suartika
Editor : Wita Ayodhyaputri