Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa perempuan hingga kini masih tinggi di Indonesia. Berdasarkan catatan tahunan 2016 yang dikeluarkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sampai Maret 2016, tercatat bentuk kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 60%. Jumat, 22 Juli 2016.
“Tingginya presentase kasus kekerasan terhadap istri menunjukan bahwa rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni saat dihubungi, Selasa (19/7/2016).
Budi mengatakan, ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar, hal ini diindikasikan dengan posisi subordinar istri dalam institusi perkawinan. “Meskipun sudah ada payung hukum UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004, di tingkat implementasi banyak hal yang harus dibenahi agar tidak kontra produktif, seperti misalnya istri yang melaporkan KDRT yang dilakukan suaminya justru dituntut balik oleh pihak suami,” katanya.
Tingginya KTI di ranah rumah tangga menyebabkan tingginya tingkat perceraian dalam rumah tangga. Penyebab perceraian tertinggi yaitu tidak ada keharmonisan (32%), tidak ada tanggung jawab (24%), dan faktor ekonomi (22%). Namun, selain tiga besar tersebut, data perceraian yang disebabkan oleh kekejaman suami sebanyak 5.272 kasus, kekejaman mental 1.059 kasus, kawin di bawah umur 1.131 kasus dan kawin paksa 2.257 kasus dengan total presentasi keempatnya 3%.
Menurut Budi, meskipun persentase tersebut kecil, namun kategori kekejaman jasmani dan mental termasuk dalam KDRT hanya pucuk gunung es dari penyebab perceraian dengan akar masalah KDRT. Demikian pula jumlah yang kecil untuk kategori kawin di bawah umur dan kawin paksa adalah pucuk gunung es dari kekerasan seksual. Yang artinya, pada kenyataan di masyarakat angka tersebut jauh lebih banyak jumlahnya.
“Tingginya kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal, termasuk di dalamnya tingginya kasus kekerasan terhadap istri mendorong urgensi monitoring dan evaluasi UU PKDRT No 23/2014. UU tersebut telah diberlakukan selama 11 tahun, namun belum pernah diadakan monitoring dan evaluasi secara menyeluruh terkait implementasinya,” kata Budi.
Penulis : Nina Suartika
Editor : Wita Ayodhyaputri