Tidak bisa tidak, anak-anak pasti akan mengalami masa pubertas, dan pengetahuan mengenai alat reproduksi akan menjadi bekal yang sangat penting bagi mereka untuk memahami perubahan-perubahan drastis selama puber. Ditambah lagi, pubertas kian waktu dialami semakin dini—secara umum, tanda-tanda pubertas sudah bisa diamati sejak usia 7 tahun. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2010, sebanyak 5,2% dari populasi anak sudah mengalami masa haid pertama sebelum usia 12 tahun. Itu berarti ada sekitar 2.340.000 anak Indonesia yang sudah menstruasi sebelum usia 12 tahun pada 2010; jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit.
Meskpun demikian, jumlah tersebut tidak lantas menyadarkan orang-orang akan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak sedari dini. Kita bisa melihat ini dari kasus di Oktober 2016 lalu. Terjadi kegemparan di Pasaman, Sumatera Barat, saat ditemukan suatu buku mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kelas 6 SD memuat isi yang dinilai meresahkan; ilustrasi pada bab biologi yang menunjukkan organ reproduksi laki-laki dan perempuan (beserta nama ilmiah bagian-bagiannya) dengan jelas dan deskripsi perubahan-perubahan yang akan dialami remaja saat pubertas; misalnya saja mimpi basah yang dialami anak laki-laki.
Pelaporan mengenai hal ini berujung pada penyitaan buku-buku yang dinilai ‘belum layak’ konsumsi bagi jenjang pendidikan 6 SD oleh pihak kepolisian setempat. Penyitaan ini menuai sejumlah respons positif, baik dari masyarakat lokal dan bahkan dari pihak sekolah sendiri, yang mengaku sudah lama dibuat ‘resah’ oleh muatan buku tersebut sedari dulu.
Tidak jauh dari Pasaman, di Kabupaten Pasaman Barat buku pelajaran Olahraga dan Kesehatan untuk kelas 5 SD yang telah beredar sejak 2011 pun turut dipermasalahkan. Pasalnya, soal latihan yang terkandung dalam buku tersebut dinilai menggunakan kata-kata yang dinilai tidak pantas untuk dikenali pelajar SD. Sebagai contoh, pertanyaan pertama mengenai nama alat kelamin laki-laki menyediakan pilihan jawaban testis, vagina, sperma, dan ovarium.
Tampaknya, Indonesia adalah negara di mana anak berusia 12 tahun dapat dikawini, namun dilarang untuk memperoleh informasi mengenai cara kerja alat reproduksinya sendiri. Bila mengajarkan anak SD untuk mengenal nama ilmiah dari alat kelaminnya sendiri dinilai sedemikian meresahkan, maka aneh bila keresahan pada taraf yang sama terhadap Undang-Undang Perkawinan—yang masih memperkenankan pernikahan anak di usia sekolah sekolah—tidak mengemuka di saat bersamaan.
Meskipun batas minimum resmi usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, anak di bawah umur (seringnya perempuan) tetap dapat dinikahkan oleh orang tuanya melalui dispensasi dari petugas perkawinan atau pengadilan negeri agama—90% permintaan dispensasi yang diajukan diterima dan pernikahan akhirnya dilangsungkan.
Pengajuan uji materi terhadap usia minimum pernikahan dalam UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015 berujung penolakan. Putusan MK mengatakan bahwa batasan umur minimal ‘tidaklah dikenal’ demi mencegah ‘kemudharatan lebih besar’. Kemudharatan ini adalah melahirkan anak di luar perkawinan—bukan melahirkan di usia dini, yang mengancam nyawa dan akan terus dialami jutaan anak perempuan Indonesia, di saat mereka tidak mendapatkan pendidikan seks yang sepatutnya didapatkan bahkan sebelum mereka bisa hamil.
Bila yang menjadi tujuan kita adalah kesejahteraan anak, menjadi janggal ketika di satu sisi pendidikan seksual dan reproduksi terhadap anak-anak dianggap tabu namun pernikahan untuk anak di bawah umur terus diberi dispensasi.
* * *
1.https://www.unicef.org/indonesia/id/Laporan_Perkawinan_Usia_Anak.pdf
2.http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/96806-maria-farida-tak-setuju-pernikahan-dini
3.http://health.kompas.com/read/2016/06/22/194500423/Anak.Perempuan.Mulai.Pubertas.di.Usia.7.Tahun
4. http://www.jpnn.com/news/lapor-pak-menteri-kok-buku-kelas-v-sd-isinya-seperti-ini
5. http://www.jpnn.com/news/buku-penjas-berbau-porno-ditengarai-beredar-di-266-sekolah-dasar
6. http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/penduduk/item67?
* * *
Amanda Kistilensa adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kedua orang tuanya aktif berkiprah dalam ranah politik. Dalam kesehariannya, Amanda bekerja sebagai seorang penerjemah dan berusaha menjalani hidup dengan damai sebagai seorang feminis.