Senin pagi, saatnya membaca ramalan bintang untuk seminggu ke depan; “Siapa tahu minggu ini ketemu potential lover, menang tender, atau mungkin minggu ini saat yang tepat untuk renovasi rumah?” batin saya. Let’s see!
Di antara sisa-sisa hangover yang bercampur sempurna dengan mood yang enggan beranjak dari kedamaian akhir pekan, ramalan bintang mingguan merupakan salah satu penjaga kewarasan di hari Senin. Ramalan bintang adalah sebuah mood booster, harapan, dan aspirasi—setidaknya bagi saya.
Sebagai seorang peneliti dengan usia yang sudah bisa dihitung dengan tiga kepala, terlebih dengan latar belakang pendidikan S2 dari sebuah perguruan tinggi di Inggris, saya sadar betul baik dari latar belakang studi, maupun pekerjaan, nilai-nilai yang saya anut semestinya sangat bertentangan dengan kebiasaan saya menggunakan ramalan bintang sebagai alat bantu pengambil keputusan. Misalnya mengecek kecocokan dengan potential lover. Bagi saya, ramalan bintang merupakan panduan yang tak ada ruginya untuk dicoba. Kalau potential lover yang saya temui ternyata cocok dengan ramalan bintang yang saya baca, mungkin saya akan memperjuangkannya. Kalau tidak cocok, saya bisa menjadikannya legitimasi untuk tidak perlu serius-serius dalam menanggapi potential lover ini.
Tapi, tentu saya tak menerima panduan ini mentah-mentah, ada analisa personal yang saya sematkan di sana. Setelah menelusuri lebih jauh, saya telah membuktikan bahwa kita cenderung menerima deskripsi umum tentang kepribadian kita menurut zodiak, tanpa menyadari bahwa deskripsi tersebut ternyata bisa juga berlaku pada orang lain dengan zodiak yang berbeda. Bertram R. Forer, seorang psikolog Amerika, seolah mengamini penelusuran saya dengan menyatakan bahwa kita cenderung mengharapkan bahwa ramalan kepribadian tersebut memang terbukti benar sehingga kita cenderung mencocok-cocokkan isi ramalan tersebut dengan kepribadian kita. Lebih lanjut, di tahun 1948, Forer mengajak mahasiswanya untuk mengevaluasi kolom ramalan bintang dari sebuah koran. Forer menggunakan skala 1 sampai 5, dengan skala 5 sebagai nilai akurasi tertinggi. Hasilnya, rata-rata nilai yang dihasilkan adalah 4,26. Bukan sekadar kebetulan, eksperimen ini pun diulang ratusan kali, dan hasil yang diperoleh selalu berkisar di angka 4,2.
Bahkan setelah penelusuran melalui ranah ilmiah yang saya lakukan pun membuktikan bahwa ramalan bintang sebenarnya hanya memberikan generalisasi—sementara pada kenyataannya manusia itu terlalu unik, dinamis dan penuh kontradiksi untuk digeneralisasi—tetap saja kebiasaan membaca ramalan ini susah saya tinggalkan.
Di awal ketertarikan saya dengan astrologi, sering kali saya menanyakan zodiak teman-teman maupun kolega yang saya temui. Sebagian besar teman laki-laki merespon dengan aneh: kadang sekadar dengan tatapan heran, namun tak sedikit pula yang secara verbal menanyakan “Masa, sih, kamu percaya gituan?” Keheranan kawanan laki-laki ini saya anggap wajar mengingat saya sendiri yang kerap dipandang sebagai sosok yang rasional dan praktikal—sekalipun pandangan ini muncul hanya karena dandanan saya yang tomboy—dianggap tidak pantas menjadi penghayat astrologi.
Sementara itu, reaksi teman-teman perempuan sedikit lebih beragam. Ada yang ragu, skeptis, dan ada pula yang lantas penasaran ingin tahu lebih detail tentang wataknya berdasarkan zodiak. Benarkah perempuan lebih percaya ramalan bintang dibanding laki-laki? Mengapa bisa demikian?
Memang jika dilihat sepintas, pelanggan kolom ramalan bintang mayoritas adalah kaum perempuan. Beberapa studi yang pernah dilakukan pun membuktikan bahwa dari sekian persen orang yang percaya astrologi, persentase jumlah perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut Yohana Desta, kolumnis untuk majalah pop yang kerap menjadi acuan kaum perempuan, astrologi lebih menarik bagi perempuan karena dalam perjalanan peradaban, kaum perempuan kurang memiliki kendali atas nasibnya. Artinya, perempuan tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya sehingga mereka membutuhkan ‘sesuatu’ yang dapat memberi dukungan moral untuk bertahan dalam keruhnya ketidakpastian hidup. Untuk alasan yang sama pula, perempuan dianggap lebih percaya pada hal-hal klenik dan takhayul dibanding laki-laki.
Terus terang saya kurang sepakat dengan pandangan tersebut. Memang benar bahwa sangat panjang dan terjal jalan yang ditempuh kaum perempuan di seluruh dunia untuk mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. Namun, tidak berarti bahwa perempuan lantas lebih ‘klenik’ atau ‘takhayul’ daripada laki-laki. Dalam perjalanan saya di berbagai tempat di penjuru Nusantara, kota maupun desa, saya temukan bahwa orang-orang yang hidupnya tergantung pada dukun, paranormal atau penasehat spiritual tidak hanya kaum perempuan semata.
Dr. Gad Saad, seorang professor di Concordia University mengatakan bahwa ramalan-ramalan semacam astrologi memang memiliki daya tarik yang kuat bagi manusia pada umumnya, karena ramalan tersebut dapat menunjukkan sebuah pola kehidupan di dunia; dan manusia merupakan makhluk yang secara alami terus mencari pola tersebut sebagai acuan.
Mengutip Prof. Saad, “Dunia ini rumit dan menakutkan, jadi segala sesuatu yang dapat membantu kita untuk menghadapinya kita sambut dengan tangan terbuka, bahkan meskipun hal tersebut tidak ilmiah.” Demikian pula pendapat saya tentang astrologi. Bagi saya, tidak ada pemisahan antara yang ilmiah dengan non-ilmiah; semuanya saya anggap ilmu pengetahuan. Bila itu berkontribusi secara positif bagi kita, kenapa tidak? Toh ilmu pengetahuan sendiri juga terus berkembang seiring dengan keterbatasan akal manusia. Buktinya, setelah beberapa juta tahun berlalu, kita masih saja memperdebatkan bentuk bumi.
Sejak jaman Babylonia sampai berkembangnya kristianisme di Eropa, astrologi masih terus dipraktikkan oleh umat manusia. Dan beberapa ilmuwan seperti Galileo pun percaya astrologi. Jadi, marilah kita tidak berkecil hati karena telah menjadi perempuan, penghayat astrologi pula. Setidaknya dalam astrologi, kita tidak akan dihakimi, dan tidak perlu memikirkan di mana letak surga dan neraka.
“Just look at the stars, look how they shine for you.” (Coldplay – Yellow)
***
Medda Maya Pravita. Perempuan, peneliti, penghayat astrologi. |
wah, terimakasih banyak ya artikel nya mbak…
btw mba, boleh ya saya nitip link disini mbak 🙂