Setiap tahunnya, tanggal 31 Maret selalu diperingati secara internasional sebagai Transgender Day of Visibility, termasuk di Indonesia. Tapi, rasanya tak banyak yang sudah paham benar dengan transgender. Belum lagi dengan yang lebih khusus seperti transpuan dan trans laki-laki atau priawan, misalnya. Sebenarnya apa, sih, transgender itu? Apa beda transgender, transpuan, trans laki-laki, transeksual, dengan istilah-istilah lainnya? Kalau misalkan sekarang saja masih banyak yang belum paham sepenuhnya, lalu bagaimana kita dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka yang menyatakan diri sebagai trans?
Sebelum membahas lebih dalam, kira-kira apa yang melintas di kepala kalian ketika mendengar kata transgender? Apakah pencitraan yang positif, atau justru yang negatif?
Akan sangat menyenangkan jika teman-teman memiliki bayangan yang positif, tapi kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa banyak pula yang memiliki pandangan negatif terhadap transgender. Coba, deh, teman-teman menelusuri feed media sosial masing-masing, tidak sedikit pula yang melekatkan kata ‘dosa’, ‘tidak bermoral’, ‘bodoh’, dan sebagainya ketika membicarakan transgender. Padahal, dosa, moral, dan tingkat kepandaian seseorang tentunya merupakan urusan orang itu sendiri dan bukan urusan warganet, bukan?
Membuka visibilitas terhadap transgender memang tidak hanya membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih mengenal mereka semata. Di sisi lain, membuka visibilitas juga memberi kesempatan bagi seseorang untuk memberi label—yang juga belum tentu benar—kepada transgender. Padahal, jika kita ingin menggunakan kesempatan ini untuk memahami transgender, tentu kita akan tahu bahwa permasalahan yang dialami oleh teman-teman transgender di Indonesia bukan hanya sesepele pandangan negatif yang dilekatkan oleh masyarakat kepada mereka saja, tetapi lebih jauh lagi, serumit apa permasalahan yang kemudian harus mereka tanggung ketika masyarakat melekatkan pandangan negatif kepada mereka.
“Aku dengar cerita mereka… yang untuk menjadi diri mereka sendiri sangat sulit. Ada yang bisa sampai depresi. Untuk menjadi jati diri mereka sendiri, tuh, susah. Banyak yang cerita kalau sulit mendapatkan pekerjaan karena ekspresi gender.”
Zefan, PLU: Satu Hati
Zefan dari PLU: Satu Hati (PLUSH) menceritakan bagaimana sulitnya seorang transgender untuk bekerja di sektor formal hanya karena berbedanya cara teman-teman trans ini dalam mengekspresikan gender mereka tidak sama dengan cara kebanyakan orang mengekspresikan gender. Bahkan, Zefan menjelaskan, trans laki-laki yang sudah melakukan terapi hormon dan secara fisik mungkin tidak berbeda dengan laki-laki lain, justru lebih sulit dalam mendapatkan pekerjaan karena jenis kelamin pada identitasnya masih tercatat sebagai seorang perempuan. Tidak hanya dalam peluang kerja, teman-teman transgender juga mendapatkan diskriminasi di bidang lain seperti kesehatan dan juga pendidikan.
Dalam bidang kesehatan, tidak semua transgender bisa dengan mudah mendapatkan layanan kesehatan karena masih ada pula rumah-rumah sakit atau dokter yang tidak mau melayani transgender akibat ekspresi gendernya yang berbeda. Diskriminasi semacam ini juga terjadi di bidang pendidikan di mana teman-teman transgender memiliki keterbatasan dalam mengekspresikan dirinya ketika mereka juga dituntut untuk mempertimbangkan apakah institusi pendidikan yang mereka datangi bisa menerima ekspresi gender yang berbeda. Di samping itu, kasus perundungan yang ditujukan pada mereka dengan ekspresi gender yang berbeda dalam lingkungan pendidikan juga kerap menjadi alasan bagi teman-teman transgender untuk tidak melanjutkan pendidikan mereka.
Dalam beberapa kasus, perundungan terhadap siswa yang dianggap kemayu tidak hanya dilakukan oleh teman sebaya saja. Sering kali, guru juga turut andil dalam perundungan tersebut dengan meminta siswa yang dirundung untuk lebih bersikap seperti laki-laki, alih-alih melarang siswa lain untuk melakukan perundungan.
“Teman-teman transgender opresinya memang lebih tinggi daripada teman-teman yang lain. Karena banyak kasus teman-teman transgender yang biasanya mereka sudah mulai menyadari identitasnya dari SMP, akhirnya mulai mengekspresikan dirinya, mendapatkan penolakan, diskriminasi, dan bullying, akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi pendidikannya. Kebanyakan lagi melarikan diri dari rumah karena mengalami penolakan dari keluarga.”
Fadel, PLU: Satu Hati.
Dalam International Transgender Day of Visibility ini, ada baiknya kita merenungkan bagaimana teman-teman transgender yang rentan terhadap diskriminasi di berbagai sektor pada akhirnya sulit sekali mendapatkan pekerjaan di sektor publik. Kita lebih mudah, misalnya, melihat teman-teman transgender berprofesi di bidang seni (baik seni tradisional maupun penghibur di layar kaca), fashion, tata rambut, tata busana dan lain-lain dibanding, misalkan saja, teman-teman transgender yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan multinasional.
Membuka visibilitas berarti mulai melihat bahwa teman-teman transgender pun sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan teman-teman lain, memiliki kelebihan dan kekurangan yang sama, memiliki keahlian kerja yang sama, serta sepatutnya mendapatkan peluang yang sama pula dalam memperoleh pekerjaan di sektor formal, layanan kesehatan, dan juga pendidikan, terlepas bagaimana cara mereka mengekspresikan identitas gendernya.