Berdasarkan pemantauan media yang dilakukan oleh Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI), dalam rentang waktu Februari sampai dengan Agustus 2020, ditemukan setidaknya 8 (delapan) kasus yang berkaitan dengan aborsi. Kasus pertama yang mengawali rangkaian misinformasi terkait layanan aborsi yakni penggerebekan oleh Polda Metro Jaya (10/02/2020) atas Klinik di Paseban, Jakarta Pusat yang melibatkan 50 bidan dan telah ditetapkan 3 tersangka. Dilanjutkan dengan kasus aborsi di Surabaya, Gresik serta Kediri. Pada 3 Agustus lalu, Tim Gabungan Subdit Resmob Polda Metro Jaya menggerebek Klinik di Senen, Jakarta Pusat dan menangkap 17 tersangka.
Pada penggerebekan di Jakarta Pusat, Aparat Penegak Hukum (APH) memperkirakan 2 fasilitas kesehatan tersebut telah memberikan layanan aborsi sebanyak ribuan kali. Dalam banyak kasus lainnya, APH telah mengkriminalisasi perempuan, pendamping, orang yang merujuk (pemberi informasi), dan para pemberi layanan dan petugas kesehatan seperti dokter spesialis kandungan, bidan, serta perawat. Fakta ini justru menggambarkan dengan jelas bahwa kebutuhan akan layanan aborsi aman sangat tinggi. Dengan mengkriminalisasi petugas kesehatan artinya negara telah menutup layanan aborsi aman dan mengarahkan perempuan untuk mengakses layanan aborsi tidak aman.

Dalam hal ini, Negara telah abai dalam memberikan hak terhadap akses layanan kesehatan yang aman dan berkualitas, dan lalai dalam melindungi petugas kesehatan sebagai komponen utama pemenuhan layanan kesehatan, khususnya layanan aborsi aman. Negara dalam representasi APH memandang kriminalisasi adalah suatu keberhasilan tegak hukum di Indonesia. Pandangan APH ini sayangnya diduplikasi berlebihan oleh media melalui pembentukan opini yang membenarkan bahwa tiap kriminalisasi aborsi adalah hal yang layak dilakukan. Sudut pandang layanan kesehatan dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan rupanya hanya menjadi janji manis yang tidak pernah digunakan. APH dalam penegakan hukum ataupun media dalam pemberitaannya, tidak mau menggali lebih dalam alasan kesehatan yang dilakukan pihak-pihak yang terkait dalam aborsi walau undang-undang sudah menjaminnya.

Layanan aborsi aman merupakan bagian dari pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang juga bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Komponen HKSR berasal dari komponen-komponen HAM; diantaranya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi. Dalam HKSR, setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan.

Lalainya negara dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi berdampak pada perempuan yang ingin mencapai kondisi sehat yang justru mengalami kriminalisasi, stigma, atau terpaksa mencari layanan yang membahayakan nyawa dan kesehatannya. Minimnya informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif menjadi salah satu akar persoalan dari tingginya angka kehamilan tidak diinginkan/direncanakan (KTD) dan aborsi. Ditambah, tenaga kesehatan dan penyedia layanan yang diharapkan bisa menyelamatkan nyawa perempuan atau mengurangi risiko kematian justru harus bekerja di bawah bayang-bayang kriminalisasi. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 1 dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Kementerian Kesehatan dalam Profil Kesehatan (2015) menyebutkan bahwa aborsi tidak aman menambah Angka Kematian Ibu. Kasus induksi aborsi yang tidak aman telah menyumbang 4% kematian ibu di Indonesia (Sensus Penduduk, 2010). Selain kematian, aborsi tidak aman juga menyumbang tingginya angka morbiditas perempuan. Pemerintah Indonesia seharusnya lebih tanggap dengan fakta bahwa terdapat 2 juta kasus induksi aborsi setiap tahunnya (PPK UI, 2000) dan 49,4% upaya inisiasi aborsi dilakukan oleh diri sendiri (Riskesda, 2010). Hal ini disebabkan oleh ketiadaan layanan reproduksi bagi perempuan yang membutuhkan, bahkan kriminalisasi terhadap perempuan dan pemberi layanan.

Alasan yang melatarbelakangi aborsi sangat beragam. Laporan layanan konseling KTD selama 2000-2014 menyebutkan terdapat 118.756 kasus KTD (23 perempuan per hari mengalami KTD); 40% di antaranya sudah pernah mengakses layanan aborsi tidak aman. Selain itu, 81% dari 118.756 yang datang untuk konseling KTD adalah pasangan menikah dengan alasan gagal KB dan sudah tidak ingin menambah anak. Persoalan kontrak kerja yang melarang perempuan untuk hamil juga menjadi dasar bagi perempuan untuk mengakses layanan aborsi. Tingginya kasus KTD ini juga didukung oleh data SDKI 2017 yang menyatakan bahwa 15% kelahiran pada perempuan usia 10-49 tahun di Indonesia berasal dari kehamilan yang tidak diinginkan (SDKI, 2017). Data ini dapat dimaknai bahwa aborsi merupakan upaya untuk bisa mencapai kondisi sehat yang menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UU Kesehatan.

Dalam konteks hukum, aborsi telah diatur di berbagai aturan hukum Indonesia. Namun aturan hukum tersebut inkonsisten. Di satu sisi hukum mengatur aborsi sebagaimana dalam pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PMK Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Namun di sisi lain hukum di Indonesia justru mempidanakan aborsi yang semestinya menjadi layanan kesehatan. Kurangnya pemahaman APH terkait situasi KTD, minimnya sensitivitas APH terhadap kekerasan seksual yang berujung pada KTD menjadikan APH justru memukul rata tindakan aborsi untuk dipidanakan tanpa melihat akar persoalan yang telah diuraikan sebagaimana fakta di awal.

Pandemi COVID-19 menambah kerentanan perempuan. LBH APIK melaporkan perempuan menjadi lebih rentan terdampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada masa pandemi COVID-19. Ini besar kemungkinannya berakibat pada meningkatnya angka KTD. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada melumpuhnya sumber pendapatan atau lebih jauh berdampak pada pemiskinan perempuan. Adanya keterbatasan pendapatan tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, terlebih jika harus merawat kehamilannya dengan baik. Beberapa lembaga yang menerima pengaduan terkait situasi kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan aborsi dengan metode yang aman yang disebabkan oleh situasi mereka yang dimiskinkan dan kekerasan seksualitas yang dialami. Dengan memperluas akses layanan aborsi aman, AKI dan kesakitan perempuan dapat diturunkan. Sehingga ketersediaan layanan aborsi aman justru dapat menyelamatkan jiwa perempuan di Indonesia.

Selain itu, layanan aborsi aman harus memenuhi prinsip layanan yang berpusat pada perempuan yaitu layanan yang mengedepankan hak perempuan dengan memenuhi 3 aspek penting yaitu pilihan, akses, dan kualitas. Dalam hal ini, pemerintah wajib memastikan ketersediaan berbagai pilihan metode/pengobatan, keterjangkauan akses layanan bagi seluruh perempuan di Indonesia, serta menjaga kualitas layanan dengan menghargai perempuan, tidak menstigma, tidak diskriminatif dan menjaga konfidensialitas.

Oleh sebab itu kami koalisi KSRI :
1) Mendesak Kementrian Kesehatan untuk : menyediakan PKRE –termasuk layanan aborsi aman dan pascaaborsi—sesuai dengan pedoman pelayanan kesehatan reproduksi terpadu di tingkat pelayanan kesehatan dasar sebagai panduan pemberian layanan yang disusun berdasarkan kajian literatur ilmiah (evidence based medicine); segera mengimplementasikan PP 61 tahun 2014 dan PMK 3/2016 untuk memastikan pemberian layanan aborsi aman terhadap perempuan; berkoordinasi dengan Kepolisian untuk memberikan perlindungan penuh terhadap korban, tenaga kesehatan, penyedia layanan, dan pendamping korban, salah satunya dengan menjamin kerahasiaan data dan identitas; memastikan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan pemberian informasi terkait kehamilan tidak diinginkan dan atau tidak direncanakan, termasuk penyusunan pedoman dan panduan klinis medis aborsi aman, serta proses monitoring dan evaluasi pelaksanaannya; menginisiasi amandemen parsial terhadap UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan untuk pengecualian aborsi terkait usia kehamilan dan tidak sebatas dalam pengecualian aborsi yang tercantum;

2) Mendesak Aparat Penegak Hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap pemberi layanan, pendamping, dan perempuan;

3) Mendesak media untuk mengedepankan pemberitaan berperspektif korban dan tidak menambah stigma terhadap aborsi

Jakarta, 24 Agustus 2020

Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia
DIALOKA, ICJR, Jaringan Akademisi Gerak Perempuan, LBH Apik, LBH Jakarta,
Rumah Cemara, SGRC Indonesia, Save All Women & Girls, YLBHI

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here