“Sebelum ikut workshop ini saya merasa takut bahkan sekadar mendengar kata KTD karena selama ini selalu dibayangi dengan stigma masyarakat tentang orang yang mengalami KTD lalu melakukan aborsi, belum lagi pemberitaan di media tentang kriminalisasi aborsi, juga pengalaman ibu teman saya yang aborsi dengan cara dikuret.. rasanya ikut merasakan sakit.”
Kutipan di atas merupakan salah satu pendapat peserta, selepas mengikuti workshop yang diadakan Samsara tanggal 10 Desember 2020. Workshop yang berjudul “Self-Managed Abortion: Sebuah Upaya Melawan Stigma” merupakan rangkaian dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan terdiri dari tiga rangkaian, setiap hari Kamis, tiga minggu berturut-turut. Minggu pertama, tanggal 26 September 2020 membahas mengenai pentingnya konseling dalam menghadapi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), lalu diikuti oleh aborsi aman dan metodenya dua minggu berikutnya.
Dalam kutipan dari peserta di atas, terdapat tiga kata kunci yaitu: stigma, ketakutan dan pemberitaan media dan ketiga hal yang berkaitan tersebut yang menjadi dasar perhatian inisiasi workshop. Ketika perempuan, atau siapapun yang memiliki rahim, mengalami KTD terdapat dimensi berlapis yang meliputi latar belakang, aksesibilitas terhadap layanan yang memadai, budaya dan lain-lain yang perlu diperhatikan. Pada akhirnya, tidak semua orang memiliki akses informasi yang sama.
Ke manakah mereka mencari informasi? Tentu hari ini kita dapat menjawab dengan mudah, “di internet” , di mana perputaran informasi hanya secepat kedipan mata. Hal ini menjadi menguntungkan karena di satu sisi internet memfasilitasi penyebaran informasi dengan sumber aktual seperti jurnal penelitian namun begitu pula yang terjadi dengan dengan akses informasi yang salah, yang bahkan jumlahnya lebih besar. Ketika mengetik “Cara menggugurkan kandungan” bisa jadi yang muncul adalah “Misoprostol” namun besar kemungkinan yang muncul adalah “Paracetamol campur soda”.
Oleh karena itu, Tim Samsara berinisiatif untuk menepis itu dengan cara memberikan informasi kepada 20 peserta terpilih yang membahas seputar KTD dan serba serbi aborsi aman dengan harapan nantinya akan disebarluaskan ke publik yang lebih luas. Semua ini demi upaya memperbaiki perspektif dan paradigma mengenai aborsi aman dengan cara memilah informasi yang lebih tepat dan lebih akurat. Ketiga sesi diawali dengan pre-test guna mengetahui pengetahuan yang dimiliki oleh peserta sebelum mengikuti workshop dan diakhiri oleh post-test untuk melihat perbedaan pengetahuan yang dimiliki peserta.
Pada sesi pertama, Tim Edukasi Samsara memaparkan pentingnya konseling untuk kasus KTD sekaligus berbagi informasi terkait layanan hotline Samsara. Berdasarkan hasil test, mayoritas peserta awalnya mengira bahwa konseling hanya dapat dilakukan oleh psikiater dan psikolog. Nyatanya, konseling dapat dilakukan oleh orang yang terlatih. Contohnya konselor Samsara termasuk kelompok orang yang terlatih (trained person). Tapi perlu digaris bawahi, fungsi konselor hanya sebatas memberi informasi terkait pilihan-pilihan yang tersedia, membantu merumuskan masalah dan memberikan support. Dalam proses menghadapi KTD segala keputusan ada di tangan individu tersebut, integritas tubuh dan agensi individu harus dihormati.
Sesi kedua mengantar kita pada pengenalan metode aborsi aman yang terdiri dari: Surgical Abortion (Vacuum Aspiration) dan Medical Abortion (Misoprostol & Combination Pills). Selama ini, persepsi publik mengenai metode aborsi adalah sesuatu yang mengerikan dan melibatkan banyak benda tajam dan darah. Namun sebaliknya, metode yang membutuhkan benda tajam dalam prosesnya seperti Dilatation & Curettage atau yang kita kenal sebagai kuret, sudah tidak direkomendasikan lagi oleh WHO karena tinggi akan risiko. Tingkat komplikasinya 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan vacuum aspiration (Grimes and Cates, 1979). Namun pada prakteknya, metode ini yang masih digunakan di kebanyakan fasilitas medis di Indonesia!
Sesi terakhir secara khusus membahas mengenai Medical Abortion, mulai dari keadaan aktual di Indonesia seperti bagaimana perlindungan hukum yang, ah sudahlah, sangat tidak memadai dan tricky. Hingga mitos-mitos dan persoalan dalam implementasinya. Misalnya, ketika pertanyaan “Apa kira-kira yang menjadi halangan untuk aborsi?” dilontarkan, teman-teman menjawab dengan jawaban yang bervariasi seperti takut akan dosa, tidak tahu kemana, terbentur dengan ideologi dan agama, kebingungan dan keuangan. Stigma-stigma yang ada kemudian diluruskan satu persatu. Termasuk anggapan bahwa ketika aksesibilitas terhadap kontrasepsi dan aborsi lebih baik maka permintaannya dapat menghilang. Memang angkanya aborsi menurun tetapi kebutuhan akan terus ada, misalnya akibat kegagalan kontrasepsi. Sehingga, fasilitas layanan aborsi aman harus selalu dipertimbangkan.