Trend kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Timur dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pelakunya pun sebagian besar adalah orang dekat korban seperti anggota keluarga, pacar, tetangga. Beberapa faktor yang menjadi penyebab terus meningkatnya kekerasan seksual pada anak adalah perkembangan teknologi dan penegakan hukum yang masih lemah.
Khusus untuk penegakan hukum, Ketua Divisi Data dan Riset Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, Isa Ansori berpendapat minimnya hukuman yang diterima pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak menimbulkan efek jera.
Seringkali, para pelaku tidak mendapatkan hukuman maksimal seperti yang diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak diatur dalam Pasal 82 UU 35/2014. Ayat 1 dalam pasal tersebut berbunyi ,”Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Dan di ayat 2 menyatakan, “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Namun pada kenyataannya, menurut Isa dari hukuman maksimal yang tertuang dalam pasal tersebut, pelaku biasanya hanya mendapatkan hukuman maksimal 5 hingga 7 tahun. “Bicara tentang penegakan hukum pelaku kekerasan seksual terhadap anak masih belum berjalan maksimal. Hukuman terhadap pelaku masih minim,” ujarnya.
Terkait dengan penegakan hukum ini, Isa menilai lebih pada bagaimana keberanian aparat penegak hukum dalam memberikan hukuman. “Jika aparat penegak hukum sedikit lebih berani dalam menjatuhkan hukuman, saya yakin akan ada efek jera bagi pelaku,” terang pria yang juga menaruh perhatian di bidang pendidikan ini.
Sementara itu, bagi pelaku anak yang kasusnya disidangkan di pengadilan, Isa meminta kepada pihak pengadilan untuk menggunakan ruang pengadilan anak dan tertutup untuk umum.
“Para pelaku anak ini harus mendapat perhatian khusus, terutama pada saat persidangan. Suasananya harus dibuat senyaman mungkin dan berbeda dengan sidang pada umumnya,” jelasnya.
Data yang dimiliki LPA Jawa Timur menyebutkan jumlah kekerasan seksual yang melibatkan anak di tahun 2015 mencapai 300 anak. Jumlah tersebut naik dibanding tahun 2014 yang mencapai 226 anak. Kota Surabaya menyumbang 80 persen kekerasan seksual, termasuk di dalamnya terdapat kasus kehamilan tidak direncanakan.
Sebagian besar anak korban kekerasan seksual adalah 12 – 18 tahun, atau usia kelas 6 SD hingga 3 SMA. Sekedar informasi, sesuai dengan UU No 35 tahun 2014, mereka yang termasuk anak adalah berusia 0 hingga 18 tahun.
Penulis : Yovinus Guntur
Editor : Wita Ayodhyaputri
“Tespack positif? Butuh teman bicara? Hubungi Samsara Hotline 089674677433, 081327171188, 085729001188, 087839770033 pada hari Senin sampai Jumat jam 10.00 – 18.00”