Oleh: Emilda Rizky
Kemarin tanggal 1 Mei, dunia merayakan MayDay, sehingga kegiatan di kantor Samsara diliburkan. Hampir semua staff Samsara turut serta dalam aksi longmarch yang diadakan bersama teman teman lain di Jalan Malioboro. Aksi dimulai pada pukul sembilan pagi di Jalan Abu Bakar Ali sampai ke Gedung Agung dan dilanjutkan dengan orasi-orasi. Para peserta pagi itu menggunakan ikat kepala merah sebagai dresscode. Samsara memang bukan lembaga yang fokus pada isu buruh. Tapi bagi kami perbedaan fokus isu bukan menjadi alasan untuk membendung solidaritas.
Ini merupakan tahun pertama MayDay menjadi hari libur nasional. Dijadikannya MayDay sebagai hari libur nasional tidak lepas dari perjuangan panjang jutaan buruh yang menuntut agar kesejahteraan buruh menjadi perhatian pemerintah. Tentu saja perjuangan tidak selesai sampai menjadikan MayDay sebagai hari libur nasional.Saya tiba tiba teringat akan film Tiga Titik karya Lola Amaria, yang menceritakan kisah tentang tiga orang buruh perempuan dengan konflik berbeda. Konflik pertama tentang buruh kelas bawah yang menjadi sulit keadaannya karena melawan perusahaannya yang mempekerjakan anak. Konflik kedua tentang perempuan hamil yang mengalami kesulitan ekonomi, sedangkan pabrik tempatnya bekerja memiliki peraturan yang sangat mempersulit perempuan yang sedang hamil. Sedangkan konflik ketiga mengenai seorang manajer perempuan yang terpaksa tidur dengan atasannya untuk dapat mempertahankan jabatannya. Jika anda belum pernah menonton, cobalah cari dan tonton filmnya.
Konflik yang diangkat film hanya sebagian kecil dari permasalahan klasik buruh perempuan yang memang masih terjadi di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya. Betapa sering saya atau kita, mendengar cerita tentang betapa dilematisnya buruh perempuan ketika hanya mendapatkan cuti melahirkan kurang dari yang dibutuhkannya, atau tentang perempuan yang harus pucat pasi menahan dismenorhea saat bekerja karena perusahaannya tidak menerapkan cuti haid. Ini belum soal kekerasan seksual. Berapa kali dalam seminggu kita mendengar kabar buruh perempuan kita yang sedang merantau ke negeri orang diperkosa atau dilecehkan oleh majikannya? Itu belum ditambah kasus yang terjadi di Negeri sendiri, belum pula ditambah dengan kasus-kasus yang tidak terungkap karena dibungkam.
Apa hubungannya hari buruh dengan aborsi aman?
Faktor ekonomi menjadi sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan perempuan. Sebagian dari kita mungkin bisa merasa sudah selesai dengan isu kesehatan reproduksi. Tapi bagaimana dengan perempuan yang hidup di daerah rural, atau yang berada di bawah garis kemiskinan?
Menurut data UNFPA (United Nations Fund for Population Activities), angka kematian maternal lebih banyak terjadi pada ibu dengan karakteristik pendidikan di bawah Sekolah Lanjutan Pertama (SLP), kemampuan membayar biaya pelayanan persalinan rendah, terlambat memeriksakan kehamilannya, serta melakukan persalinan di rumah. Perempuan dengan tingkat ekonomi menengah kebawah diasumsikan tidak mendapatkan pendidikan yang komprehensif, termasuk pendidikan mengenai kesehatan reproduksi. Kelompok perempuan ini yang sangat rentan berujung pada resiko-resiko reproduksi.
Dalam konteks dunia kerja, perempuan dengan tingkat ekonomi atau jabatan rendah menjadi tidak memiliki posisi tawar, termasuk ketika terjadi kekerasan maupun pelecehan terhadap tubuhnya. Sayangnya, sampai hari ini masyarakat masih menganggap bicara seksualitas adalah tabu, sehingga banyak diantaranya yang hanya menyimpan rapat-rapat apa yang terjadi karena malu. Faktor ekonomi dan kesehatan reproduksi perempuan menjadi sangat terkait dan berbanding lurus.
Bicara soal hak buruh tak harus melulu mengenai hal-hal yang bersifat material, namun juga hak berupa kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi. Dalam Pasal 82 UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, perempuan berhak mendapat cuti berbayar selama 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Kenyataannya, berapa banyak perusahaan yang masih menerapkan kontrak dimana perempuan tidak boleh hamil selama masa kerja. Dengan alasan keterdesakan ekonomi, perempuan terpaksa menerima kontrak yang ditawarkan. Jika perempuan mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan di tengah masa kerja, berarti ia melanggar kontrak dan harus diberhentikan bahkan membayar denda. Sedangkan akses untuk melakukan aborsi aman jika terjadi KTD tidak disediakan oleh Negara. Sekali lagi perempuan dihadapkan pada jalan buntu.
Buruh perempuan memiliki persoalan lain yang lebih kompleks sehubungan dengan dirinya sebagai perempuan. Buruh perempuan masih sangat rentan dengan kekerasan seksual. Masih banyak perusahaan yang menerapkan peraturan tidak ramah perempuan. Masih banyak buruh perempuan yang digaji lebih rendah hanya karena mereka adalah perempuan.
Kami tak pernah berhenti berjuang di ranah kesehatan reproduksi agar tak hanya buruh, namun perempuan dimanapun sadar dan bisa mendapatkan haknya, terutama hak reproduksinya. Adalah tugas kita bersama untuk menciptakan dunia menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi perempuan. Selamat hari buruh, perempuan!