Diawal tahun ini, sedikitnya terjadi empat kasus intoleran di Yogyakarta yang dilakukan dengan alasan agama, kelompok fundamentalis lokal, dan situasi politik di Jogja.
Padahal Yogyakarta selama ini terkenal dengan nama City of Tolerance, namun ternyata kasus intoleran justru semakin sering terjadi. Selasa, 20 Juli 2016.
Dua seniman asal Yogyakarta Anagard dan Ismu Ismoyo, mencoba untuk menyebarkan pesan toleransi dengan menunjukkan banyaknya kasus intoleran melalui karya – karya mereka.
Kecemasan dan keprihatinan yang mereka rasakan dituangkan melalui 15 karya dan replika dalam pameran ” Wall of Tolerance ” di Via – Via Cafe Jalan Prawirotaman Yogyakarta yang dipamerkan hingga 25 Juli 2016 mendatang.
Dalam pameran tersebut, terdapat replika bangunan penjara yang diberi judul ” Maaf Saya Kena Sensor”. Replika tersebut menceritakan banyaknya kegiatan di Yogyakarta yang harus selesai ditengah jalan akibat dihentikan atau dilarang.
Dipilar depan, terdapat pula karya Anagard ” Berburu Perdamaian ” yang digambarkan seorang perempuan melakukan perjalanan untuk mencari perdamaian.
Pesan kegelisahan intoleran juga dibuat beberapa seniman Yogyakarta dalam bentuk mural atau lukisan dinding. Tulisan ” City of Tolerans ?” dibuat dengan ukuran besar di dinding jembatan Kewek, dekat Malioboro.
Kritikan yang dibuat seniman dalam Forum Solidaritas Damai, ingin mengingatkan bahwa saat ini Yogyakarta dalam kondisi kritis.
Salah seorang seniman Juwadi mengatakan, mural tersebut dibuat sebagai kritik jargon atau simbol yang dimiliki Yogyakarta sejak tahun 2008 sebagai The City of Tolerance.
Bahkan hasil riset dari Wahid Institute menyebutkan bahwa saat ini Jogja disebut sebagai kota intoleran kedua di Indonesia setelah Jawa Barat.
Para seniman itu berjanji, mereka akan selalu menolak aksi intoleran di Yogyakarta dan akan terus menyuarakan kegelisahan mereka, salah satunya dengan karya seni.
Penulis : Febriana Sinta
Editor : Wita Ayodhyaputri