Membicarakan aborsi sebenarnya membicarakan perempuan. Karena itu persoalan aborsi adalah juga persoalan perempuan, yang sampai sekarang, dianggap Gadis Arivia, perlu dielaborasi dan dicerahkan kepada pihak-pihak yang mengambil satu sisi perdebatan, yakni cara pandang tradisional yang justru mengesampingkan kepentingan perempuan sendiri.Selama ini masih banyak yang memandang aborsi sebagai hitam dan putih yang sama sekali tidak dapat bersinggungan, hingga hanya tersedia dua pilihan untuk menyikapinya: pro atau kontra. Setuju atau menolak. Perempuan dalam hal ini juga selalu dipandang sebagai pelaku tunggal aborsi, di mana masyarakat dan pemerintah seperti menutup mata dengan adanya permasalahan dalam aborsi yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan kehidupan perempuan dan orang-orang di sekitarnya.
Faktanya, tidak kurang dari 2 juta perempuan Indonesia setiap tahun melakukan aborsi karena Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Hasil penelitian oleh Pusat Kesehatan UI dan Yayasan Kesehatan Perempuan tahun 2003, ditemukan bahwa 87% mereka yang melakukan aborsi adalah ibu rumah tangga yang memiliki suami. Ditemukan pula bahwa dari 2 juta kasus pertahun itu, kebanyakan melakukan aborsi yang tidak aman. Selain itu, di ASEAN, Indonesia merupakan yang tertinggi dalam angka kematian ibu. Salah satu faktor yang menyebabkan kematian tersebut adalah pendarahan, dan kasus pendarahan terjadi pada kasus aborsi yang tidak aman. Kasus aborsi yang menyebabkan kematian berkisar antara 13-50 % dari kasus kematian akibat pendarahan.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2006, angka ini meningkat menjadi 2,3 juta kasus per tahun. Diasumsikan terjadi 6.301 kasus setiap hari atau 4 kejadian setiap detiknya. Fakta yang mengejutkan bahwa 70% dari pelaku aborsi tersebut adalah ibu rumah tangga. Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan pada tahun 2003 menyebutkan 87% yang melakukan aborsi adalah istri dan ibu, hanya 12% oleh remaja putri. Hasil riset ini jauh berbeda dengan anggapan bahwa aborsi identik dengan seks bebas yang mengakibatkan KTD. Riset-riset tersebut merupakan riset klinis, dalam artian data tersebut didapatkan dari rumah sakit, klinik atau puskesmas. Itu sebabnya hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas pelaku aborsi adalah ibu rumah tangga. Namun, riset tersebut tidak menjangkau aborsi ilegal yang banyak dilakukan oleh perempuan pra-nikah. Padahal, menurut Inna Hudaya dari Samsara, badan layanan penyuluhan aborsi berbasis dalam jaringan, dari jumlah itu pasti lebih besar lagi, karena ibarat fenomena gunung es, perempuan pra-nikah yang mau melakukan aborsi pasti sungkan dan tidak mudah mendapatkan akses pelayanan ke rumah sakit, puskesmas atau klinik karena terbentur dengan persyaratan umur, status atau ekonomi.
Selama ini, ketika dihadapkan pada persoalan kehamilan yang tidak dikehendaki, perempuan adalah pihak yang paling terbebani dan paling bertanggung jawab. Ketika menginginkan pelayanan aborsi yang aman, nyaris tidak ada dokter yang mau membantu. Begitu juga saat perempuan berkata bahwa ia tidak menghendaki kehamilannya, dokter akan menolak. Hal yang menghambat pelayanan aborsi oleh dokter, menurut Prof. Dr. Sudraji Sumapraja SpOG dari POGI karena adanya sumpah dokter Indonesia yang antara lain menyatakan “menghormati semua hidup insani mulai dari saat pembuahan”. Yang artinya, kebanyakan para dokter menganggap bahwa kehidupan telah dimulai saat sel telur dan sperma bertemu. Karena itu aborsi dipandang sebagai kejahatan terhadap nyawa.
Akibatnya kebanyakan dari mereka kemudian lari ke praktek dukun pijat atau melalukan aborsi sendiri. Kasus seperti inilah yang paling sering menimbulkan resiko pendarahan dan berujung kematian. Dalam www.womenonweb.org, situs mengenai aborsi, ditulis bahwa setiap tahunnya 42 juta perempuan di dunia melakukan aborsi dan setiap 7 menit seorang perempuan meninggal dunia secara sia-sia karena melakukan aborsi yang tidak aman.
Setiap kasus aborsi muncul dan terungkap, masyarakat hanya melihat permasalahan aborsi hanya sebatas masalah moral dan kriminal. Jika dilihat lebih jauh dan dalam, apakah memang benar bahwa aborsi adalah persoalan yang hitam putih? Bagaimana koridor agama dan Undang-Undang mengatur aborsi? Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk menyikapi masalah aborsi dan perempuan sebagai pelakunya?
Aborsi menjadi pilihan saat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Di masa Yunani kuno, kehamilan yang mendadak juga sesuatu yang tidak begitu diinginkan, bukan hanya bagi wanita yang telah menikah tetapi juga mereka yang belum. Untuk menghadapi hal demikian, orang-orang Yunani mempraktekkan perlindungan selama hubungan badan atau melakukan aborsi. Dalam kasus kehamilan mendadak, perempuan-perempuan Yunani biasanya harus memilih antara menggugurkan dengan sengaja (dengan mantera-mantera, melakukan pekerjaan berat atau pekerjaan badan) dan aborsi. Segalanya bergantung kepada wanita tersebut dalam menentukan cara apa yang akan ia gunakan. Hanya dalam kasus aborsi, kehadiran sang suami atau tuan (jika ia budak) sangat dibutuhkan.
Ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), hanya ada 3 pilihan: menjadi orangtua (ibu), adopsi atau aborsi. Tidak sedikit perempuan di luar nikah memilih pilihan yang terakhir. Banyak yang kemudian berpikir bahwa setelah aborsi perempuan merasa lega. Benarkah demikian? Apakah aborsi merupakan jalan terbaik dan tidak memiliki konsekuensi yang fatal? Atau aborsi dengan alasan apa pun tidak boleh dilakukan karena pelakunya akan melanggar etika, moral dan dianggap sebagai pelaku kejahatan?
Pertama-tama mari kita pahami lebih dulu apa itu aborsi. Mengacu pada Kees Berten, kata aborsi sendiri berasal dari bahasa Inggris Abortion yang mengacu pada dua arti. Pertama, aborsi yang mengandung arti keguguran yaitu secara tidak sengaja mengeluarkan janin yang belum waktunya lahir. Ini disebut juga abortus spontan. Kedua, tindakan sengaja untuk mengeluarkan janin dikarenakan suatu alasan dan hal itu bertentangan dengan undang-undang. Ini dibedakan menjadi tiga, yaitu abortus buatan yaitu abortus terjadi sebagai akibat suatu tindakan; kedua abortus terapeutik yaitu abortus buatan yang dilakukan atas dasar alasan medis untuk kepentingan ibu, baik fisik, mental maupun sosial; yang ketiga adalah abortus nonterapeutik yaitu abortus buatan yang dilakukan tidak atas dasar alasan medis. Terjadi perdebatan yang menyangkut dilakukannya abortus yaitu antara kelompok pro-choice dengan kelompok pro-life.
Mereka yang dapat menyetujui tindakan abortus, menekankan hak perempuan bersangkutan untuk mengambil keputusan tentang tubuhnya sendiri. Ini yang dinamakan dengan pro-choice. Sedang mereka yang menolak abortus sebagai tindakan yang tidak etis, menggarisbawahi hak fetus dalam kandungan (pro-life). Masalahnya adalah apakah fetus di dalam kandungan ibunya sungguh-sungguh memiliki hak itu? Saat pembuahan atau pada saat lebih lanjut dalam perkembangannya.
Menurut World Health Organization (WHO) pengertian aborsi adalah penghentian kehamilan sebelum janin berusia 20 minggu karena secara medis janin tidak bisa bertahan di luar kandungan. Sebaliknya bila penghentian kehamilan dilakukan saat janin sudah berusia berusia di atas 20 minggu maka hal tersebut adalah infanticide atau pembunuhan janin.
Seperti disebutkan di atas, dua kubu yang menyikapi aborsi, kelompok pro choice dan kelompok pro life saling berseberangan. Pro choice menyetujui legalisasi aborsi atas permintaan, mereka menamakan dirinya sebagai pro-pilihan. Kelompok ini setuju pada pilihan dan cenderung percaya bahwa fetus bukan makhluk manusiawi, atau dia (jika makhluk manusia) tidak mempunyai hak dan kepentingan dan tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah atau pun bersalah. Bahkan mereka mengatakan bahwa reproduksi manusia merupakan masalah yang sangat serius, pada umumnya berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif bersifat mutlak dan harus tidak dihalangi. Sementara kelompok pro life anti dan menentang aborsi. Kelompok ini memandang bahwa fetus manusia merupakan makhluk yang tidak bersalah dan tidak boleh dibunuh dalam situasi apa pun. Bagi mereka, fetus memiliki hak atas kehidupan yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, sama seperti membunuh orang yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan, karena ia berhak atas kehidupan. Kelompok pro life berpandangan bahwa hak wanita akan kebebasan prokreatif tidak mutlak.Maka aborsi dalam lingkup tertentu boleh jadi kurang jahat dibanding kejahatan lainnya. Akan tetapi tidak ada kejahatan, betapa pun kurang, yang secara moral netral.
Dalam koridor agama, banyak pandangan yang tetap menganggap bahwa aborsi adalah dosa besar dan hukumnya haram. Di dalam Islam, terdapat beragam pandangan. Pandangan pertama dan yang paling populer di Indonesia adalah pelarangan pengguguran kandungan dalam umur berapa pun. Beberapa aliran di Indonesia bahkan mengharamkan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, Avicenna atau Ibn Sina yang hidup pada zaman keemasan Islam (980-1037 M), memperkenalkan kontrasepsi pada dunia Barat yang saat itu masih dalam Abad Kegelapan. Dengan keahliannya pada dunia sains, Ibn Sina mampu menemukan sekitar 20 cara untuk mengontrol kelahiran. Sebuah aliran Islam lain menyetujui aborsi sebelum umur 40 hari. Muhammad Ibn Abi Said, misalnya, memperbolehkan pengguguran kandungan sebelum umur 80 hari. Bahkan sebuah aliran lainnya menyatakan pengguguran kandungan sebelum 120 hari tidak merupakan pembunuhan.
Beberapa Gereja Katolik juga telah menyetujui aborsi, baik secara diam-diam maupun terbuka. Gereja Katolik yang menyetujui aborsi dengan terbuka adalah FutureChurch di Cleveland Ohio, berdiri pada tahun 1990. Beberapa insan Katolik yang mencoba menghentikan penghujatan terhadap aborsi bergabung dalam Catholic for Free Choice (CFC). Salah satu pengurus CFC adalah Rosemary Ruether, profesor teologi di Garrett-Evangelical Theological Seminary di Illinois. Berbasis di Washington DC, CFC turut menandatangani pernyataan yang dipublikasikan di New York Times pada 7 Oktober 1984. Dalam pernyataan ini disebutkan, tradisi Gereja Katolik mempunyai lebih dari satu pandangan mengenai aborsi sehingga pelaku aborsi tidak seharusnya dijuluki sebagai orang berdosa. Gereja Katolik lain yang tidak melontarkan hujatan akan aborsi adalah Gereja Katolik Bebas. Salah satu pastor Gereja ini, Harry Aveling menyatakan bahwa Gereja Katolik bebas tidak memberi pandangan tertentu mengenai aborsi karena bagi mereka aborsi adalah masalah pribadi.
Sains dan praktik kedokteran pun mempunyai pandangan berbeda-beda. Walaupun beberapa dokter dengan tegas menyatakan peniadaan janin adalah pembunuhan, beberapa dokter lain berpendapat embrio yang berumur kurang dari tiga bulan tidak lebih keprimitifannya dari seekor katak ataupun ikan. Oleh karena itulah, hak hidup si janin masih tergantung pada badan yang mengandungnya, yaitu sang ibu. Dalam pandangan ini, para pembela aborsi pun dapat disebut pro-life karena hak untuk aborsi adalah hak yang membela kehidupan perempuan.
Beberapa orang melakukan aborsi dengan alasan yang beragam, antara lain: malu pada keluarga dan masyarakat karena hamil, masalah keuangan, faktor genetika, kesehatan mental, terlalu muda atau terlalu tua untuk hamil, masih menempuh pendidikan, memiliki alasan pribadi untuk tidak memiliki anak, alasan kesehatan, memiliki masalah hubungan dengan pasangan atau karena diperkosa dan inses. Aborsi juga dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang melakukannya sendiri, datang ke klinik atau rumah sakit, dengan obat-obatan, ramuan bahkan pijat. Hasil penelitian kepada para pelaku aborsi juga menunjukkan reaksi mereka berbeda. Hasilnya menyatakan bahwa setelah aborsi mereka merasa takut, marah, malu, nyaman, percaya diri, bingung, kecewa, sedih, bersalah, terjebak, bodoh hingga tidak bisa merasakan apa-apa (numb).
Tidak sedikit yang paham bahwa sebenarnya aborsi memiliki resiko berbahaya dari segi medis, terutama jika aborsi yang dilakukan adalah aborsi tidak aman yang banyak dilakukan oleh dukun beranak, tukang pijat, jamu-jamuan atau obat-obatan tanpa didampingi tenaga medis profesional. Aborsi dapat mengakibatkan pendarahan hebat, lemah kandungan bahkan dapat memicu kanker rahim. Selain memiliki resiko medis, aborsi juga dapat mengakibatkan gangguan psikologis.
Di Indonesia ketika aborsi ilegal dan tidak aman masih menjadi pilihan bagi banyak perempuan pra-nikah, resiko terjadinya reaksi psikologis paska aborsi semakin meningkat. Menurut Alan Guttmacher Institute pada 2003, di Eropa di mana aborsi legal justru angka aborsi rendah. Namun di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana aborsi ilegal, angka aborsi justru tinggi. Rendahnya angka aborsi di Eropa karena adanya kesadaran masyarakat akan pendidikan seks dan angka pemakaian kontrasepsi yang tinggi. Pelegalan aborsi kemudian hanya mengurangi resiko terjadinya aborsi tidak aman. Selain itu budaya di Eropa memberikan ruang bagi seorang perempuan untuk menjadi orang tua tunggal (single mother). Hal ini berbeda dengan Indonesia di mana pendidikan seks masih dianggap tabu dan kesadaran pemakaian kontrasepsi yang rendah. Kedua faktor inilah yang kemudian memicu terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Pendidikan seks dan kampanye pemakaian kondom dianggap sebagai pelegalan seks. Remaja diberi pendidikan moral tanpa diberi pemahaman yang benar akan tubuh mereka, tanpa dibekali mentalitas memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak reproduksi.
Inna Hudaya menambahkan, terlepas dari perdebatan pro-life dan pro-choice, dalam pengamatannya sebagai konselor, ada beberapa hal yang menjadi penyebab seorang post-abortus mengalami Post-Abortion Syndrome. Di antaranya adalah:
Aborsi tidak aman yang dilakukan oleh dukun beranak, tukang pijat atau obat-obatan tertentu dapat mengakibatkan rasa sakit luar biasa. Rasa sakit inilah yang kemudian mengakibatkan trauma.
Infeksi paska aborsi.
Infeksi paska aborsi dapat bertahan lama, apalagi tidak semua perempuan post-abortus memiliki cukup keberanian untuk memeriksakan diri ke dokter. Rasa sakit yang terus menerus inilah yang kemudian mengakibatkan trauma.
Aborsi karena paksaan.
Kami lebih memilih istilah unplanned pregnancy daripada unwanted pregnancy. Kenapa? Karena beberapa kehamilan yang tidak direncanakan bias berubah menjadi kehamilan yang diinginkan. Banyak perempuan yang kemudian ingin meneruskan kehamilannya namun dipaksa harus melakukan aborsi oleh pasangan atau keluarganya. Hal ini pulalah yang mengakibatkan trauma.
Menentang sistem keyakinan.
Penyebab utama terjadinya Post-Abortion Syndrome adalah rasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul karena si perempuan pada dasarnya meyakini bahwa aborsi adalah sesuatu yang salah dalam sistem keyakinannya. Namun karena kondisi tertentu ia harus tetap memilih melakukan aborsi.
Tidak siap dan tidak mau menjadi ibu
”Kestabilan” merupakan tujuan perempuan untuk memilih menjadi seorang ibu, namun peran sosial dan peran individual sebagai ibu kerap kali membuat seorang perempuan kelekahan fisik dan mentalnya, apalagi jika ia tidak didukung oleh keluarga, masyarakat apalagi oleh pasangannya?
Maria Ulfah menambahkan, untuk kasus kehamilan yang tidak dikehendaki karena bencana perkosaan, dilihat dari sisi apa pun tentu sangat membebani perempuan. Untuk kasus seperti ini, mesti dicarikan solusi yang bijak. Kalau si perempuan tidak mampu menanggung itu, baik secara medis maupun psikis, maka kalau ia tidak menginginkan kehamilan terjadi pada rahimnya, yaitu tubuhnya, maka cukup menjadi alasan untuk digugurkan. Namun hal inilah yang terus menjadi sumber perdebatan antara kelompok yang setuju dengan aborsi dan yang menentang aborsi.
Di Indonesia, aborsi adalah perbuatan kriminal dan perempuan-perempuan yang ketahuan telah melakukannya diganjar hukuman yang keras. Orang-orang dengan prinsip pro-kehidupan (pro-menganggap aborsi sebagai pembunuhan, perbuatan yang keji dan pantas dihukum. Sebaliknya, para pendukung pro-pilihan (pro-choice), aborsi tidak mengindahkan kehidupan embrio dalam kandungan sang ibu. Oleh karena kepercayaan ini telah ditanamkan pada masyarakat, banyak perempuan yang melakukan aborsi merasa bersalah seumur hidup karena cap “pembunuh” tertanam dalam diri mereka.
Selain itu juga hukum di Indonesia belum memberikan ruang bagi tindakan aborsi yang aman. Menurut Maria Ulfah, UU menutup sama sekali praktik aborsi dengan alasan apapun. Dalam UU Kesehatan juga terlihat sekali bahwa klausul tentang aborsi sangat bias jender. Di situ diterangkan, dokter bisa mengambil tindakan tertentu untuk menyelamatkan ibu dan janinnya. Padahal klausul ini menyangkut dua hal yang tidak mungkin dilakukan dalam konteks aborsi, dengan alasan menyelamatkan nyawa kedua-duanya karena dalam aborsi ada yang dikorbankan. Untuk itu perlu ada solusi berupa payung hukum untuk melindungi praktik ini dengan menyediakan dokter yang memiliki keahlian, terjamin keamanannya, sesuai prosedur standar kesehatan.
Ketika yang menjadi obyek pembahasan adalah prilaku, maka selanjutnya yang menjadi penilaian adalah etika dan moral seseorang yang menjadi refleksi atas tindakannya tersebut. Perempuan sebagai pelaku aborsi dapat disebut sebagai agen moral, namun seperti yang dikatakan oleh Simone de Beauvoir bahwa perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom, perempuan tidak pernah dibiarkan untuk memilih kehidupan yang baik untuk dirinya sendiri.
Padahal sebagai pelaku moral, setiap perempuan mempunyai kemampuan yang dapat digunakannya untuk bertindak secara moral sehingga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab, dan bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Kemampuan itu berupa akal budi, kebebasan dan kemauan. Dengan kemampuan ini, pelaku moral dapat membuat pertimbangan moral dapat membuat pertimbangan moral sebelum bertindak, agar terhindar dari tindakan yang salah secara moral. Pelaku moral juga dapat memahami mana yang baik dan buruk secara moral.
Dari sudut pandang moral, aborsi memiliki penilaian tersendiri. Menurut Plato dalam Republic (461), ia menganggap bahwa janin itu belum cukup untuk dianggap manusia, tapi baru dapat dianggap manusia jika sudah terlahir. Dalam kondisi seperti ini keberadaannya dapat diterima dan sah secara hukum. Sedangkan Aristoteles menyarankan bahwa semestinya aborsi dilakukan sebelum sang janin dianggap hidup dan mampu merasa. Artinya pada gerakan pertama sang janin.
Kata “moral” memiliki arti etimologis yang sama dengan etika, dan dapat diartikan sama dengan pengertian etika, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Ketika membicarakan etika, maka kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut cara bertindak yang benar dan salah, hakekat kewajiban moral dan apa yang disebut kebaikan hidup. Pertanyaan mendasar dari Aristoteles dalam etika adalah „kehidupan baik yang begaimanakah yang harus saya jalani?“
Aborsi merupakan bagian dari etika terapan. Aborsi sebagai masalah dibicarakan dan dipelajari dalam etika terapan. Etika terapan membahas masalah-masalah etis yang praktis dan aktual serta mempelajari masalah yang berimplikasi moral dan memiliki pengaruh timbal balik dengan etika teoritis. Perdebatan tentang masalah-masalah konkrit akhirnya akan menjelaskan dan mempertajam prinsip-prinsip moral yang umum. Etika terapan sangat membutuhkan bantuan dari teori etika. Etika terapan menggunakan prinsip-prinsip dan teori moral yang diharapkan sudah mempunyai dasar yang kokoh.
Adalah suatu kenyataan bahwa kita hidup dalam zaman yang semakin pluralistik, tidak terkecuali dalam hal moralitas. Setiap hari kita bertemu dengan orang-orang dari suku, daerah lapisan sosial dan agama yang berbeda. Dalam pertemuan langsung dan tidak langsung dengan berbagai lapisan dan kelompok masyarakat kita menyaksikan atau berhadapan dengan berbagai pandangan dan sikap yang, selain memiliki banyak kesamaan, memiliki juga banyak perbedaan bahkan pertentangan. Masing-masing pandangan mengklaim diri sebagai pandangan yang paling benar dan sahih. Kita mengalaminya sepertinya kesatuan tatanan normatif sudah tidak ada lagi. Berhadapan dengan situasi semacam ini, kita akhirnya bertanya, tapi yang kita tanyakan bukan hanya apa yang merupakan kewajiban kita dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban.
Makin lama cara berpikir makin berubah. Manusia bukan batu yang mati dan “fanatik”. Sejak dulu kala telah banyak cara berpikir, seperti rasionalisme, individualisme, nasionalisme, sekularisme, materialisme, konsumerisme, pluralisme religius, serta cara berpikir dan pendidikan modern yang telah banyak mengubah lingkungan budaya, sosial dan rohani masyarakat.
Masih banyak masyarakat yang terjebak dalam kebudayaan rasa malu, yang menurut Kees Berten adalah di mana pengertian-pengertian seperti “hormat”, “reputasi”, “nama baik”, “gengsi” sangat ditekankan. Bila orang melakukan kejahatan, hal ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk saja, tapi harus disembunyikan dari orang lain. Malapetaka terjadi bila suatu kesalahan diketahui orang lain, sehingga pelakunya kehilangan muka. Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap penting, melainkan yang tidak kalah penting adalah perbuatan jahat itu tidak akan diketahui untuk menghindari rasa malu. Sangsi dalam shame culture berasal dari luar, yaitu apa yang dikatakan dan dipikirkan orang lain.
Ketika sebuah isu tidak dibicarakan, ketika kebanyakan orang tutup mulut atau tidak mau mendengar, bukan berarti isu tersebut tidak penting. Kenyataannya, ketika sesuatu dianggap tabu untuk dibicarakan justru hal tersebut menjadi sebuah permasalahan besar. Tidak adanya ruang untuk membicarakan seks yang dianggap tabu justru menjadi penyebab kenapa angka aborsi semakin meningkat setiap tahunnya. Masyarakat tidak mendapatkan akses informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi yang seharusnya menjadi hak mereka. Informasi menjadi kebutuhan dasar setiap orang, hak untuk mendapatkan informasi yang benar merupakan hal yang penting, tidak adanya ruang publik untuk membicarakan hal ini secara terbuka menyebabkan banyak orang akhirnya mendapatkan informasi yang salah. Hal ini pula yang menyebabkan banyak perempuan pada akhirnya melakukan aborsi tidak aman yang beresiko terhadap kesehatan fisik dan mental. Salah satu yang menjadi dorongan para perempuan untuk melakukan aborsi adalah karena budaya masyarakat di Indonesia tidak memberi ruang kepada perempuan untuk menjadi single mother dan pemberian label “anak haram” menjadi aib bagi keluarga dan momok yang menakutkan bagi para perempuan yang ingin mempertahankan janinnya. Hukum juga tidak berpihak pada calon anak yang masih dalam kandungan. Perempuan sebagai pelaku aborsi masih tersubordinasi dalam hukum Indonesia.
Perempuan selalu menjadi korban, tersubordinasi dalam hukum, budaya bahkan dalam hak-hak reproduksinya sendiri. Rahim, di mana janin tumbuh berada di bawah kendali perempuan sebagai pemilik alat reproduksi. Itu sebabnya aborsi selalu dikaitkan sebagai masalah perempuan, kesalahan perempuan. Lelaki seakan menjadi bagian yang terpisahkan dalam permasalahan ini. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) terjadi karena adanya hubungan seksual antara lelaki dan perempuan. Dalam hal ini lelaki turut berperan serta mengakibatkan terjadinya KTD yang berbuntut pada aborsi. Lelaki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam hal aborsi.
Zumrotin K. Susilo dari Forum Kesehatan Perempuan menyatakan bahwa KTD bisa disebabkan kurangnya akses pada alat kontrasepsi atau kegagalan kontrasepsi, kemampuan ekonomi, inses, atau perkosaan. Selain itu juga karena diabaikannya hak reproduksi perempuan.
Membicarakan hak reproduksi, Deklarasi Beijing di Cina menjadi dokumen penting hasil Konferensi Dunia ke-4 Tentang Perempuan. Dokumen ini secara jelas mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara lengkap, bukan hanya pencegahan penyakit atau kelemahan, yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi dan proses-prosesnya. Definisi semacam ini, sesungguhnya juga tidak berbeda jauh dengan pemahaman kesehatan yang diintroduksikan oleh Pasal 1 (1) dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, walaupun dalam UU Kesehatan, lebih bersifat umum, dan tidak akan ditemukan definisi secara spesifik tentang kesehatan reproduksi. Faktor utama yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak reproduksi remaja adalah karena tingkat pengetahuan yang kurang tentang seksualitas, terbatasnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan ketidakterjangkauan remaja terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi, di samping pelayanan yang tidak memadai, serta sikap negatif terhadap anak perempuan dan tentu saja tindakan diskriminatif terhadap mereka. Satu kenyataan yang tak terbantahkan, kalangan remaja sering mendapatkan informasi tentang seksualitas dan reproduksi justru berasal dari teman-teman mereka, informasi parsial dalam media massa, maupun dalam buku-buku, yang kadang-kadang informasi itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Padahal, bagi remaja, hak mendapatkan informasi dan akses terhadap pelayanan merupakan hak kesehatan reproduksi yang utama. Sebab kebutuhan-kebutuhan akan informasi mengenai fungsi, sistem dan proses-proses reproduksi, sangat berkait erat dengan diri mereka sendiri, dan akan memiliki dampak sosial yang cukup berarti dalam bersosialisasi di kalangan sebaya mereka ataupun masyarakat pada umumnya. Pengabaian terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja, sesungguhnya merupakan bentuk pelangaran hak-hak reproduksi remaja yang nyata.
Sudah saatnya pemerintah melakukan perubahan melalui UU kesehatan mengenai aborsi. Pengakuan bangsa sebagai negara yang memegang adat dan budaya timur, dengan moral yang dijunjung tinggi, ternyata tak dapat menyelesaikan permasalahan aborsi. Moral dan agama tak dapat berjalan sendiri. Usaha mengurangi angka aborsi dengan mendengung-dengungkan moral tanpa bekal pengetahuan dan mentalitas sama saja mengajarkan remaja kita untuk bersikap hipokrit dan menyangkal hasrat seksual yang ada dalam diri setiap orang.
Sudah saatnya kita lebih terbuka terhadap berbagai macam pandangan. Bila kita menghargai bermacam pandangan, bukankah perempuan juga seharusnya diberi hak untuk memilih? Hak untuk melaksanakan atau tidak pengguguran kandungannya? Dan hak untuk mendapat hidup layak, apa pun pilihan sang perempuan?
Saya mengamini pendapat Inna Hudaya saat ia berkata bahwa sudah saatnya juga kita tidak melihat lagi konsep pro-choice dan pro-life sebagai sebuah pembatas. Ada ruang gerak yang bebas di antara keduanya. Sebab, soal aborsi adalah persoalan yang sangat kompleks, tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang agama, hukum, atau medis saja. Aborsi harus dilihat secara komprehensif, karena pokok persoalan ini bukan berdiri sendiri. Ada berbagai faktor yang dapat kita lihat, termasuk agama, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Selama ini, ketika masyarakat dan pemerintah bicara tentang aborsi, yang menjadi sasaran dan korban selalu kaum perempuan. Padahal penyebab orang melakukan aborsi beragam, termasuk partisipasi laki-laki yang selama ini tidak dilihat sebagai bagian dari pihak yang ikut berproses dalam kehamilan yang tidak dikehendaki.
Permasalahan aborsi lebih sering dilihat oleh masyarakat sebatas masalah etika-moral dan kriminalitas, sehingga pelakunya, perempuan, selalu disudutkan dalam koridor moral dan kejahatan kemanusiaan. Dalam keputusan aborsi, perempuan harus diberi hak untuk menentukan suara hati dan mengajukan argumentasi dengan klaim yang logis dan universal tanpa paksaan dari siapa pun. Seperti dijelaskan oleh Peter Adam Angeles, bahwa suara hati adalah tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan seseorang, dan atau tentang apa yang secara moral tidak baik, salah, jelek dan dilarang. Suara hati adalah bagian dari kodrat manusia yang membimbing dirinya menuju integrasi moral dari diri. Juga mencakup kemampuan interpretasi dimana pikiran memiliki berbagai kemampuan yang merupakan sebab bagi tindakan rasional. Kemampuan berkehendak untuk memilih, melakukan, memutuskan. Hati nurani merupakan sumber tingkah laku etis, memutuskan apa yang secara moral adalah terbaik untuk dilakukan dan mendorong kewajiban.
Menurut Aristoteles, setiap tindakan mempunyai tujuan. Ada dua tujuan, tujuan yang dicari demi tujuan selanjutnya dan tujuan yang dicari demi tujuan itu sendiri. Apa yang dicari demi dirinya sendiri hanyalah satu: kebahagiaan. Kaidah dasarnya adalah bertindaklah sedemikian rupa sehingga manusia mencapai kebahagiaan.
Kalau pembunuhan manusia lain yang jelas-jelas sudah bernyawa atas nama “jihad” menjadi halal, mengapa aborsi dengan segala pertimbangan dan pendidikan resikonya menjadi hal yang hitam putih? Maka soal aborsi, mengutip Gadis Arivia, tidakkah sebaiknya dikembalikan kepada keputusan perempuan?
Sumber:
1. Ali Mudhofir, “Kamus Etika”, Pustaka Pelajar, 2009.
2. Dr. Gadis Arivia,“Etika Feminis dan Aborsi” dalam Buku Feminisme: Sebuah Kata Hati, Penerbit Buku Kompas, 2006.
3. Dalam wawancara dengan Inna Hudaya, 14 Desember 2009.
4. Franz Magnis-Suseno, “Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral”, Pustaka Filsafat, Penerbit Kanisius, 1987.
5. “Hukum Fikih Aborsi Tidak Hitam-Putih”, Wawancara dengan Dra. Maria Ulfah Anshor, www.islamlib.com, 12 Desember 2004.
6. Inna Hudaya, “Aborsi: Moral & Agama, Efektifkah?”, www.samsaraindonesiablogspot.com, 25 Mei 2009
7. Jenny Teichman, “Etika Sosial”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
8. Nikolaus A. Vrissimtzis, “Erotisme Yunani”, Penerbit Menara, 2006.
9. Soe Tjen Marching, “Landasan Prinsip Aborsi”, www.samsaraindonesiablogspot.com, 20 Juni 2009
10. www.womenonweborg
11. “Aborsi dan Hak Reproduksi Perempuan”, Kompas Cyber Media, 17 Desember 2000.
12. “Hak Reproduksi Remaja yang Terabaikan”, http://sulbar.bkkbn.go.id, 15 April 2009.
13. “Hukum Fikih Aborsi Tidak Hitam-Putih”, Wawancara dengan Dra. Maria Ulfah Anshor, www.islamlib.com, 12 Desember 2004.