Perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berpotensi keguguran, anak dan ibu rentan terhadap penyakit, kualitas anak yang dilahirkan rendah, gizi buruk dan putus Sekolah. Di DIY, kasus pernikahan dini paling banyak terjadi di Kabupaten Gunung Kidul 11,29%, diikuti Kota Yogyakarta 7,79%, Bantul 7,30%, Kulonprogo 7,28 % dan Sleman 5,07%.

Sosiolog UGM Prof. Dr. Partini, S.U., menuturkan penyebab terjadinya pernikahan dini karena rendahnya tingkat pendidikan antar kedua pasangan, tuntutan ekonomi, sistem nilai budaya, serta pernikahan yang sudah diatur. Selain itu, kata Partini, sebagian masyarakat masih ada yang menganggap nikah dini sebagai faktor keturunan, padahal bukan.

”Nikah dini sebenarnya hasil dari pola pikir yang kurang rasional. Nikah dini dianggap sebagai jalan keluar dari persoalan hidup, tapi kenyataannya justru sebaliknya,” kata Partini dalam Pelatihan Peningkatan Kesadaran Terhadap Kekerasan Seksual Sebagai Upaya Pencegahan Pernikahan Anak di kalangan siswa SMP di Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DIKPORA) DIY, Kamis (27/10) lalu.

Guru Besar Fisipol UGM ini menambahkan, dampak lain yang bisa ditimbulkan dari pernikahan dini meliputi risiko menurunnya kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang makin bertambah berat, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan bunuh diri. Partini mengatakan pernikahan dini harus dicegah dengan peningkatan kesadaran laki-laki dan perempuan sejak ia masih remaja.

Karena menurutnya pada usia remaja atau usia SMP, merupakan mas transisi dimana sang anak suka meniru dan suka mencoba pada hal-hal yang baru.

Sementara itu, menurut peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM Fatkurrohman, S,IP.,M.Si mengatakan pernikahan anak merupakan salah satu masalah bersama yang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi kedua setelah Kamboja dalam menyumbang angka pernikahan anak. Dalam upaya pencegahan pernikahan anak, katanya, anak perlu diberi pemahaman untuk mengenali, memahami, dan berani membela dirinya terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, dan penyadaran akan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara.

“Kelompok rentan tersebut tidak hanya anak perempuan tetapi juga pada anak laki-laki yang perlu diberi pemahaman terhadap kekerasan seksual sehingga mereka tidak menjadi korban dan pelaku,” katanya.

Editor : Wita Ayodhyaputri

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here