Tidak bisa ditampik, kemajuan teknologi informasi dewasa ini begitu mempermudah sebagian besar aktivitas manusia. Meski demikian, kemajuan teknologi informasi juga berdampak pada munculnya perilaku instan dalam kehidupan masyarakat, termasuk kebutuhan akan informasi yang harus dipenuhi saat itu juga. Adanya perilaku instan inilah yang akhirnya membuat dunia jurnalistik pun harus mencoba berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi.
Bertahun-tahun lamanya, sebelum kehadiran media sosial, kita mencari informasi maupun berita dari koran, majalah, atau media cetak lainnya. Suguhan berita yang dibaca pun berdasarkan hasil kerja wartawan yang meliput berita ke sana-kemari. Pagi. Siang. Bahkan malam. Wartawan sibuk mencari informasi dari masyarakat, polisi, dan sumber-sumber lain untuk menghasilkan sebuah berita; pun seharusnya diseleksi di meja redaksi terlebih dahulu. Namun, apakah cara tersebut akan bertahan di era digital ini? Apa yang kemudian berubah dari munculnya media sosial?
Ada banyak jenis karya jurnalistik, mulai dari berita, opini, sampai feature. Seiring dengan berjalannya waktu, karya jurnalistik seperti memiliki ‘gaya baru’. Lihat saja beberapa kutipan berita di sejumlah portal media Indonesia berikut ini:
- Nikita Mirzani dan Lucinta Luna Saling Sindir di Instagram?
- Ada Chat Suami dengan Wanita Lain, Begini Reaksi Jennifer Dunn
- Tersandung Kasus Narkoba, Ternyata Riza Shahab Juga Doyan Ngopi
Media sosial memang menawarkan banyak informasi, namun tidak semuanya informatif. Mungkin, sekarang tidak perlu lagi pergi jauh atau repot-repot dalam membuat sebuah berita, cukup duduk manis (jika perlu berbaring) memantau media sosial, ketik, dan jadilah berita. Beradu kecepatan dalam menerbitkan berita sudah menjadi hal yang biasa. Beberapa penulis ‘berita’ di media online mencoba memanfaatkan media sosial seperti Instagram, Twitter, dan lain-lain sebagai objek tulisan mereka. Hal inilah yang kemudian memantik pertanyaan banyak orang, mengapa media online kini seperti media yang tanpa batasan?
Sumber berita
Menurut Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik dalam buku Catatan catatan jurnalisme dasar, sumber berita adalah hal penting yang dibutuhkan dalam sebuah proses jurnalistik. Pencarian sumber berita bisa dilakukan melalui observasi langsung maupun tidak langsung, proses wawancara, pencarian, atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik, serta partisipasi dalam sebuah peristiwa. Dalam beberapa berita dari media online diatas, kita tidak menemukan partisipasi kedua belah pihak dalam mengemukakan pendapatnya ke publik. Pendapat yang ada hanyalah kutipan atas sebuah kejadian, bukan tanggapan atas bagaimana hal tersebut terjadi. Sebagai contoh, dapat dilihat dalam [artikel berikut].
Subjek dalam pemberitaan tersebut, Lucinta Luna dan Nikita Mirzani, sama-sama tidak dijadikan sumber berita. Keduanya hanya dikabarkan beradu mulut di Instagram. Contoh lainnya bisa kita temukan di Liputan 6. Sebuah akun instagram diberitakan mengungkapkan harga barang yang dipakai Anggun. Patut dipertanyakan, apakah akun tersebut akurat dan apakah semua foto yang diunggah memang milik Anggun? Bagaimana jika fotonya direkayasa? Sepertinya, pertanyaan terkait sumber berita ini menjadi tidak penting, toh artikelnya sudah beredar di salah satu portal media kita.
Sumber berita menjadi elemen yang vital. Ia terkait langsung dengan ketepatan informasi yang disampaikan. Sebaliknya, berita di media online justru menunjukkan abainya para penulis dengan sumber berita. Mereka tidak mengajukan pertanyaan langsung kepada yang bersangkutan, melainkan hanya mengambil dari Instagram—atau malah dari komentar warganet. Membuktikan bahwa perkembangan media sosial dan tuntutan kecepatan akses informasi, ternyata memang mempengaruhi kulitas dan keakuratan sebuah berita.
Akurasi
Persoalan verifikasi terhadap fakta dan akurasi penyajian berita menjadi masalah utama di sejumlah media. Terlebih kini, dengan hadirnya media sosial. Media yang menghasilkan berita hanya dengan bersumber pada postingan sosial media, patut diragukan keakuratannya, terlebih berita yang hanya menambahkan narasi yang tidak jelas ke mana arahnya.
Terkait akurasi berita, jika teman-teman sedikit cermat, beberapa media tampak ‘lupa mencantumkan tanggal kejadian. Sepele memang, tapi dari tanggal kita bisa tahu apakah peristiwa yang dimuat dalam berita tersebut aktual dan faktual. Bisa saja berita yang muncul ternyata terjadi beberapa tahun lalu dan sudah tidak lagi relevan di masa kini. Tanggal yang mestinya masalah sepele jadi tidak sepele lagi ketika memungkinkan menjamurnya hoax di era media sosial. Memenuhi akurasi pemberitaan sesungguhnya bukanlah persoalan yang terlalu rumit sebab akan melindungi dua pihak yaitu pembaca berita dan pembuat berita.
Saat ini, informasi yang hadir di hadapan kita begitu melimpah, sementara kita kewalahan untuk menyerap dan menyaring informasi yang penting dan berguna. Kemunculan media sosial juga turut mempengaruhi proses pembuatan berita. Dari yang tadinya dibuat dengan mementingkan kecepatan serta ketepatan, kini tinggal kecepatan saja. Meski demikian, kita tidak dapat menggeneralisasi bahwa cara pembuatan berita di semua media online itu sama. Kebutuhan akan informasi dan berita memang penting, tapi yang terpenting adalah kita mendapatkan berita yang kredibel.