Mary Wollstonecraft merupakan seorang feminis liberal dan salah satu pelopor pendidikan untuk perempuan yang hidup pada tahun 1759-1799. Pada masanya, posisi sosial dan ekonomi perempuan di Eropa boleh dibilang amat miris, bahkan mengecewakan. Suzzane Hull dalam bukunya Women According to Men: The World of Tudor-Stuart Women pun mengatakan demikian. Perempuan saat itu terlihat, namun tidak didengar. Perempuan bisa berbicara apa yang mereka pikirkan tetapi pikiran dan ide-ide mereka selalu dibentuk dan disetir oleh laki-laki. Perempuan senatiasa dikendalikan orang tuanya dari hari pertama ia dilahirkan sampai hari dia menikah—untuk kemudian peranan ini dilanjutkan oleh sang suami. Tak berhenti di situ, perempuan saat itu dianggap laiknya properti/hak milik yang legal secara hukum bagi sang suami.
Revolusi Prancis-lah (1789) yang membawa popularitas Mary melambung. Revolusi yang disambut oleh banyak aktivis di dataran Eropa. Revolusi Prancis menghadirkan prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan ke relung kesadaran masyarakat. Revolusi membuka babak baru dalam perjuangan melawan aristokrasi dan membangkitkan asa tatanan sosial yang demokratis. Para pendukung revolusi, termasuk Mary, dipandang sebagai sosok subversif yang berbahaya dan dapat dipersekusi sewaktu-waktu. Namun revolusi tak sepenuhnya gemerlap. Ia juga punya gilanya sendiri. Salah satu bentuk kegilaan saat itu ialah adanya ketimpangan hak dan posisi laki-laki dibandingkan hak dan posisi perempuan. Situasi yang demikian diperparah dengan sedikit sekali pemikiran progresif yang berani membahas posisi perempuan di dalam masyarakat saat itu.
Posisi perempuan yang laikya ban serep membuat Mary Wollstonecraft menulis karyanya yang paling fenomenal; A Vindication of the Rights Woman. Sebuah karya yang didasarkan pada premis tentang kebebasan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu kritiknya bertujuan untuk membuka tabir dominasi laki-laki terhadap pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga). Menurut Mary, sebenarnya hingga abad ke-18, pekerjaan produktif telah dilakukan di dan sekitar rumah, baik perempuan maupun laki-laki. Sederhanaya, pekerjaan produktif bukanlah monopoli salah satu pihak. Namun naas, cakar kapitalisme industri telah mencengkram tenaga kerja untuk keluar dari rumah, dan kemudian memasuki ruang publik. Mula-mula arah geraknya perlahan dan tidak teratur, dan meninggalkan dampak bagi perempuan borjuis yang telah menikah. Perempuan dalam kelompok ini harus merasakan tinggal di rumah, dan tidak mempunyai pekerjaan produktif. Hal tersebut adalah efek dari pernikahan mereka dengan golongan aristokrat atau pun pengusaha yang relatif kaya. Walhasil perempuan kelas menengah-atas tidak bekerja secara produktif di luar rumah.
Dengan konteks sosial yang tumpang tindih antara kapitalisme dan ketimpangan yang dialami perempuan. A Vindication of the Rights Woman mungkin lebih sering dianggap sebagai risalah politik murni. Namun seperti Republik karya Plato dan Emile karya J.J. Rousseau, A Vindication of the Rights Woman pun dapat dilihat sebagai risalah politik dan juga pendidikan. Di situ ia melancarkan kritiknya yang keras tentang rasionalitas perempuan. Kritik yang dimaksudkan untuk membantah pandangan pendidikan perempuan yang diajukan oleh Jean-Jacques Rousseau, dalam Emile (1762), yang menyatakan bahwa perempuan haruslah diedukasi terbatas pada dua tujuan: menjadi istri yang baik dan memberikan kebahagiaan pada pria. Rousseau yang menganggap perempuan, lemah, mudah dipengaruhi, dan tidak mampu bernalar secara efektif.
Bagi Mary, seorang perempuan harus cerdas dan itu adalah hak dirinya sendiri. Seorang perempuan tak bisa berangan-angan bahwa suaminya kelak adalah seorang yang cerdas! Perempuan harus berusaha secara mandiri untuk menjadi cerdas melalui pendidikan. Mary menyatakan bahwa pendidikan tidak bertentangan dengan peran perempuan sebagai ibu atau peran perempuan di rumah. Ia percaya bahwa kemajuan, kebebasan, dan kebaikan di dunia hanya dapat dicapai apabila perempuan juga bahagia; bukan hanya pria. Sayangnya, kondisi ini sulit diwujudkan karena perempuan selalu terjebak dalam sebuah stigma berisikan berbagai macam keterbatasan karena ‘ketergantungannya’ pada pria.
Perempuan Harus Mandiri dan Teredukasi
Pada masa Mary hidup, posisi perempuan dalam masyarakat tak lebih sebatas kelompok yang ‘terpaksa’ memperdagangkan kerupawanan dan dengan cerdik memanfaatkannya untuk menarik perhatian pria. Dalam kondisi seperti ini, perempuan yang terhormat, yang ia definisikan sebagai perempuan yang menjauhkan diri dari menggoda pria demi kebahagiaan, namun ia harus menanggung kesulitan hidup paling rumit. Ia mengibaratkan perempuan laksana “burung yang disimpan di dalam sangkar yang tidak mempunyai pekerjaan untuk dilakukan kecuali memamerkan sayapnya, dan ‘berjalan dengan keagungan palsu dari tonggak satu ke tonggak yang lain’.”
Perempuan kelas menengah adalah perempuan ‘peliharaan’ yang telah mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan moralitasnya untuk prestise, kenikmatan, dan kekuasaan yang disediakan oleh suaminya. Mereka tidak dibiarkan mengambil keputusan sendiri, mereka tidak mempunyai kebebasan. Dan karena mereka dihambat untuk mengembangkan kemampuan nalarnya—dengan alasan hal yang terbaik yang dapat dilakukan adalah memanjakan diri dan menyenangkan orang lain, terutama laki-laki dan anak-anak—mereka tidak mempunyai moralitas.
Meskipun Mary tidak menggunakan istilah “konstruksi sosial di dalam peranan gender”, ia menyangkal bahwa perempuan secara alamiah cenderung sebagi pemburu dan pemberi kenikmatan bagi laki-laki. Ia berargumen, bahwa jika laki-laki dikurung di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Laki-laki dengan demikian, akan cenderung bersifat ‘emosional’ jika diabaikan untuk mengembangkan nalarnya secara penuh. Emosional yang dimaksud di sini ialah laki-laki pun akan cenderung ceroboh dalam mengambil keputusan jika setiap hari dikurung di dalam rumah tanpa melakukan hal-hal yang produktif. Rasionalitas adalah titik sentral pemikiran Mary. Rasionalitas yang dimaksud di sini merupakan kemampuan bernalar dan mengambil keputusan sendiri. Baginya, akal budi atau rasionalitaslah yang membentuk dasar hak asasi manusia, karena hanya dengan bernalar manusia dapat memahami kebenaran dan karena itu memperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah. Melalui latihan bernalar manusia menjadi agen moral dan politik. Apa yang dilakukan Mary Wollstonecraft ialah memperluas gagasan dasar filosofi era Pencerahan kepada perempuan dan menentang gagasan pendidikan Rousseau yang menyatakan bahwa perempuan adalah sosok lemah, mudah dipengaruhi, dan tidak mampu bernalar secara efisien.
Selain menekankan pentingnya rasionalitas bagi perempuan, Mary juga mengajak para perempuan untuk bisa mandiri. Kemandirian bagi perempuan penting karena hanya dengan hal itulah kebebasan bagi perempuan dapat tercapai. Perempuan dapat menghidupi dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada ‘belas kasihan’ laki-laki. Dengan begitu, perempuan dapat memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Akan tetapi, untuk mencapai titik ini, perempuan semestinya memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan. Rumitnya pada masa itu pendidikan adalah sebuah kemewahan yang teramat sangat bagi kaum perempuan. Stigma yang melekat kuat pada masa itu bahwa perempuan adalah makhluk yang inferior secara intelektual diyakini oleh Mary merupakan akibat dari dibatasinya kesempatan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan secara bebas. Ia menyuarakan bahwa kaum perempuan dapat melakukan banyak hal, selaiknya kaum pria, apabila memiliki kesempatan dan pendidikan yang memadai.
Mary menegaskan, jika nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia dari binatang, maka perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai sifat ini. Karena itu, masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti halnya pada anak laki-laki. Lantas semua orang berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang utuh. Dalam karyanya yang revolusioner ini, Mary juga menjelaskan bahwa kemandirian bagi perempuan pada dasarnya adalah sebuah keuntungan pula bagi kaum pria. Berbekal pendidikan dan kemandirian, perempuan tidak lagi harus memosisikan dirinya sebagai gender yang kelas dua; melainkan setara dan sepadan. Dengan kata lain, dalam pernikahan pun, perempuan dan laki-laki dapat memiliki hubungan yang saling mengasihi dan menghargai satu sama lain.
Berangkat dari berbagai kritiknya terhadap pemosisian perempuan di dalam masyarakat ketika itu, Mary Wollstonecraft menyuarakan tuntutan agar dilakukan reformasi terhadap pendidikan, seperti melakukan peleburan lembaga pendidikan publik dan privat serta pendekatan yang lebih demokratis serta partisipatoris dalam pengelolaan sekolah.
Membebaskan Perempuan dari Standar Ganda
Meskipun Mary Wollstonecraft semasa hidupnya tidak pernah secara literal menyuarakan emansipasi ataupun kesetaraan gender, bukan berarti pemikirannya tidak mengandung nilai-nilai tersebut. Hal itu dikarenakan masih belum dikenal istilah kesetaraan gender dan emansipasi, apalagi istilah feminisme, oleh masyarakat ketika itu. Di samping isu pendidikan, Mary juga mengkritik tajam terhadap adanya standar ganda di dalam masyarakat abad ke-18 dalam memosisikan perempuan dan laki-laki. Salah satu contoh kritiknya adalah bahwa laki-laki semestinya dituntut untuk menghormati kesakralan ikatan pernikahan selaiknya perempuan dituntut untuk melakukan hal yang sama.
Pemikiran-pemikiran Mary Wollstonecraft bisa jadi tidak terdengar revolusioner sama sekali bagi pemikir di abad ke-21, yang mungkin sudah sangat mafhum dengan berbagai isu kesetaraan gender dan emansipasi. Akan tetapi, bagi masyarakat abad ke-18 saat itu, pemikiran Mary merupakan sebuah pemikiran berbahaya yang mengguncang sistem kepercayaan tradisional di mana perempuan adalah lebih kurang ‘komoditas’ yang menjadi objek bagi kaum pria. Pun sebenarnya sebelum Mary Wollstonecraft, pemikiran dengan tema sejenis bukannya belum ada, namun masih sangat terbatas dan hampir tidak pernah didiskusikan sama sekali. Beberapa di antaranya adalah karya sastra Her Protection for Women (1589) oleh Jane Anger serta In Declaration of the Rights of Woman (1791) oleh Olympe de Gouges. Karya-karya ini juga menyuarakan kritik terhadap pemosisian perempuan sebagai makhluk yang inferior dan ditempatkan semata sebagai objek seksual dan kepuasan bagi pria.
Apa yang ingin disuarakan oleh Mary ialah pelurusan pandangan perempuan sebagai personhood—manusia secara utuh. Perempuan bukanlah “mainan laki-laki, atau lonceng milik laki-laki” yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali ia ingin dihibur. Perempuan bukanlah instrumen pemuas kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Saya jadi ingat perkataan Buddha ketika ia melihat bunga yang indah, ia berkata “jika engkau benar-benar mencintai bunga itu, janganlah engkau petik dan menyimpannya di kamarmu lalu membiarkannya mati. Biarlah ia hidup di taman yang indah itu, agar semua orang dapat melihat keindahannya”.
Di sinilah letak emansipatoris gagasan Mary. Di satu sisi, pada masa itu, pendidikan dirancang sedemikian rupa bagi perempuan untuk sekadar menjadi pemuas bagi pria, sehingga akhirnya, perempuan harus bergantung pada pesona seksualnya agar memeroleh afeksi dan dukungan dari pria. Di sisi lain, perempuan yang enggan mengeksploitasi seksualitasnya demi kemapanan, meskipun lebih terhormat, hidup dalam kesulitan karena sulit memeroleh kemandirian. Prinsip ini akhirnya membentuk postulat “the most respectable women are the most oppressed” yang menjadi salah satu ide feminisme paling populer dan berpengaruh hingga saat ini.
Apa yang dituliskan Mary Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Woman mencakup berbagai topik yang masih relevan kondisi perempuan Indonesia saat ini. Misalnya, masih lekatnya stigma di kalangan pejabat negeri ini soal perempuan. Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud menggap hal ini terjadi karena perempuan bertanggung jawab dalam urusan domestik sehingga membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi.
Mary juga tidak hanya memperdebatkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam pendidikan tetapi dia juga menyerukan kesetaraan dalam hukum serta hak mereka untuk perwakilan parlemen. Di Indonesia, pengaruh konservatisme dalam berbagai produk perundang-undangan masih menafikan hak-hak sipil kaum perempuan. Hukum perpajakan dan warisan misalnya dinilai masih mendiskriminasi perempuan. Selain itu produk legislasi yang melindungi perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan domestik masih lemah dan tidak ditegakkan. Menurut survei Women’s Health and Life Experiences pada 2016 silam, satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Perempuan juga masih menghadapi rintangan hukum dan diskriminasi di lapangan kerja. Dengan angka sebesar 51% pada 2017 silam, keterlibatan perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja masih jauh di bawah rata-rata pria sebesar 80%.
Rendahnya partisipasi perempuan pada pasar tenaga kerja diyakini antara lain disebabkan oleh pernikahan, memiliki anak, pendidikan yang rendah dan perubahan struktur ekonomi di pedesaan yang ditandai dengan melemahnya sektor pertanian sebagai dampak migrasi dari desa ke kota. Saat ini penting bagi kita untuk memastikan bahwa pendidikan dan hukum negara kita saat ini ‘ramah bagi perempuan’. Kita semua harus bersuara untuk kesetaraan gender, terlebih di sector pendidikan. Mary Wollstonecraft sudah mencontohkan dan sampai saat ini ia masih memimpin jalan bagi kaum feminis lewat buku klasiknya yang masih menginspirasi banyak orang hingga saat ini.