Ada banyak penelitian yang menyebutkan bahwa trauma akibat perkosaan amatlah berat sekali dan dapat mengakibatkan depresi bagi korbannya. Karena traumanya ini, banyak penyintas yang kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Sebagian ada yang sulit bersosialisasi, dan ada yang sampai memutuskan mengakhiri hidupnya.
Sebelum saya menonton “27 Steps of May”, saya tidak dapat membayangkan betapa mengerikannya trauma yang dialami seorang penyintas perkosaan. Sewaktu kecil, salah seorang tetangga saya menjadi korban perkosaan. Hal yang saya tahu dari tetangga lain waktu itu, berlebihan jika penyintas perkosaan tadi harus mendapat terapi psikologis. Korban hanya disarankan untuk meditasi hingga bisa kembali tenang. Sekarang saya paham, bahwa ini adalah bentuk pengabaian. Dan ini terjadi dimana-mana.
Ravi Bharwani berhasil membawa kita semua merasakan bagaimana pedih dan beratnya trauma yang dialami May, seorang penyintas perkosaan yang menjadi tokoh utama di film ini. Ravi berhasil menunjukkan apa yang disampaikan kritikus film Prancis André Bazin, bahwa kekuatan terbesar sinema justru terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya.
Sebelum film usai, sepanjang film penonton disuguhkan keberadaan May yang selalu ditampilkan di dalam kamar. Selepas peristiwa kelam yang dialaminya delapan tahun silam, pribadi May berubah drastis. Ia menarik diri dari kehidupan luar dan hanya menjahit boneka di kamarnya untuk dijual.
Sementara May masih belum menunjukkan perkembangan signifikan. Sang Bapak digambarkan sebagai seseorang yang putus asa, prihatin atas buntunya usaha untuk kesembuhan May. Suasana keluarga yang muram tersebut menyalurkan emosi Sang Bapak ke atas ring tinju. Bertahun-tahun, bogem mentah didaratkan kepada musuhnya. Seolah sebagai katarsis bagi penyesalan dirinya yang tak becus melindungi anak.
Ada juga seorang kurir, teman dari Bapak May. Ia mengerahkan usahanya untuk menjaga harapan Sang Bapak. Ia mendatangkan orang-orang sakti untuk “mentransfer energi positif” di rumah Bapak May. Memandang seakan trauma akibat kekerasan seksual layaknya tulah yang dikirim dari antah-berantah.
Film ini membuat saya lelah secara emosi, seakan saya dapat merasakan betul apa yang dialami oleh May. Ravi Bharwani membuat saya lelah sekali menonton film ini. Ia berhasil membawa bagaimana sesungguhnya realitas psikis yang dialami penyintas perkosaan. Lega sekali rasanya ketika film ini sudah selesai. May berjalan keluar memunggungi rumahnya dengan tersenyum.
Pengabaian Berakibat Fatal
Aktivitas seksual pada dasarnya adalah aktivitas yang sangat kompleks. Ia melibatkan beragam aktivitas, mulai dari psikis hingga fisik. Jika disebutkan ragamnya akan sangat banyak.
Aktivitas yang seharusnya dilakukan dengan penuh suka cita ini akan berubah menjadi beban amat berat bila dilakukan dengan paksaan, apalagi dengan kekerasan. Kita menyebutnya sebagai perkosaan.
Namun masih banyak yang mengabaikan trauma akibat perkosaan. Tidak perlu menjadi penyintas untuk mengetahui bagaimana rasanya mengalami trauma perkosaan. Tidak ada yang berhak menghakimi tingkat trauma yang dialami penyintas perkosaan. Bagaimanapun juga mereka adalah penyintas yang perlu ditemani.
Bagi saya, film ini membuka mata kita bersama bahwa apa yang sedang dipikul penyintas kekerasan seksual amat berat sekali. Delapan tahun May melewati hari-hari yang tidak mudah untuk kemudian bisa melanjutkan hidupnya. Keluar dari rumahnya, bebas dari traumanya.
Ada yang lebih dari delapan tahun, ada yang kurang. Bahkan ada yang tidak kuat, kemudian mengambil jalan lain. Berat sekali memang. Bagi saya, Selama delapan tahun May tengah berdialog tanpa suara dengan dirinya sendiri. Hingga kemudian May memeluk ayahnya penuh cinta sembari berujar “Bukan salah Bapak”. Menggunakan pakaian yang berbeda dari sebelumnya, berwarna hijau teduh.
Film ini mengajarkan kita dengan cara yang berbeda. Melalui sosok Bapak, bahwa bagaimanapun maskulinitas itu memuakkan. Bapak yang merasa lelah dengan kondisi anaknya, melampiaskan kelelahan tersebut dengan memukul balik maskulinitas. Melalui cara maskulinitas itu sendiri bekerja. Pada beberapa pertarungan tinju, Bapak juga merasa menang melawan maskulinitas dengan kekalahannya di ring tinju. Bapak membiarkan dirinya, maskulinitas yang ada padanya, dihajar habis-habisan. Bapak seolah menikmati kejantanannya dibuat tak berdaya.
Melalui tokoh Kurir teman Bapak, kita ditelanjangi dengan sangat polos atas kesalah kaprahan yang selama ini menghinggapi masyarakat kita. Menyamakan trauma berkepanjangan akibat perkosaan dengan kemasukan roh. Sehingga cara yang digunakan untuk menyembuhkannya adalah dengan mengundang “orang pintar”.
Menyedihkan melihat pandangan masyarakat kita melihat penyintas kekerasan seksual. Hal ini lah yang menjadikan beban tambahan bagi mereka, penyintas perkosaan. Bagaimanapun beratnya beban yang menimpa mereka, hanya mereka sendiri yang bisa mengangkat beban tersebut. Kita hanya bisa memberikan ruang dialog paling nyaman, untuk penyintas berdialog dengan dirinya sendiri.
Pada akhirnya kepada setiap penyintas perkosaan, film ini menunjukkan perjuangan mereka. Bagaimanapun sulitnya, selalu ada harapan dan masa depan.