Dalam rangka memperingati World Contraception Day (Hari Kontrasepsi Sedunia) yang jatuh pada tanggal 26 September setiap tahunnya, Samsara mengangkat cerita pengalaman orang muda dari berbagai daerah di Indonesia mengenai akses terhadap kontrasepsi. Mereka merupakan peserta dari program Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) yang diselenggarakan oleh Samsara pada akhir 2019 sampai awal tahun 2020 di berbagai daerah di Pulau Jawa hingga Papua. Dengan latar belakang dan keadaan yang berbeda, rupanya mereka memiliki satu pendapat yaitu: akses terhadap kontrasepsi, terutama dalam bentuk yang paling fundamental sekalipun yaitu edukasi, masih sangat terbatas. Salah satu fokus dari SSKR adalah untuk meningkatkan kesadaran terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) serta integritas tubuh sehingga dalam materi SSKR penting pula untuk mengangkat topik mengenai kontrasepsi agar kita bisa memahami bagaimana pendidikan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi sangatlah esensial, karena masih banyak pandangan tabu/malu ketika orang muda yang sudah aktif secara seksual (sexually active) mencoba untuk mengakses kontrasepsi sebagai bentuk proteksi dirinya.
Pengalaman orang muda terkait akses terhadap kontrasepsi serta pengetahuan mereka terkait kontrasepsi menjadi temuan menarik kawan-kawan Divisi Edukasi Samsara ketika melakukan SSKR yang menyasar muda-mudi Ternate dan Jayapura pada Oktober tahun 2019 dan Januari tahun 2020. Selain di Indonesia Timur dan Tengah, SSKR juga pernah diadakan di Pulau Jawa akhir tahun 2019. Program SSKR masih berlangsung hingga sekarang melalui platform online. Para peserta SSKRĀ berusia mulai dari 18 hingga 23 tahun, usia yang masih masuk dalam kategori orang muda (youth). Dalam prosesnya, Samsara menemukan kesamaan isu yang dihadapi oleh orang muda terkait keterbatasan akses informasi terhadap kontrasepsi. Ketika informasi telah mendapat celahnya maka tantangan lain yang lebih besar adalah berbagai mistifikasi dan juga anggapan bahwa hal tersebut tabu untuk dibicarakan.
Kontrasepsi di Indonesia tidak diperlakukan sebagai pencegahan. Akibatnya kontrasepsi bukan menjadi opsi mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) bukan pula dipilih sebagai pencegahan penyebaran infeksi menular seksual. Hal tersebut tercermin dari bagaimana perlakuan agen sosial (keluarga, tetangga, teman, pasangan) serta sebagian besar tenaga kesehatan yang tidak jarang menghalangi akses terhadap kontrasepsi. Contohnya adalah salah satu peserta SSKR di Jayapura yang bercerita bahwa salah satu dari temannya pernah mengalami KTD dan beberapa bulan setelah melahirkan, dia mendapati bahwa terdapat IUD yang terpasang tanpa sepengetahuannya. Dia mengetahuinya hal tersebut bukan dari tenaga medis yang bertanggung jawab melainkan saat dia sedang buang air kecil, ia melihat benang menjuntai dari vaginanya dan ketika ditarik, benang tersebut tidak dapat putus. Dia lalu segera mengunjungi rumah sakit terdekat. Terdapat banyak sekali masalah dari kasus di atas. Pertama-tama, pemasangan kontrasepsi yang tidak diinformasikan lebih dulu (inform) kemudian tindakan tersebut tanpa konsensual atau tanpa consent. Tentu saja hal tersebut bisa disebut sebagai pelanggaran hak. Masalah yang kedua adalah, dengan begitu semakin jelas bahwa kontrasepsi hanya diberikan bagi mereka yang telah mengalami kehamilan dengan anggapan agar hal tersebut tidak terjadi dua kali dalam waktu dekat. Bagaimana dengan mereka yang ingin mendapatkan layanan terhadap kontrasepsi karena ingin meminimalisir risiko KTD maupun infeksi menular seksual? Dalam hal ini kontrasepsi semestinya diberikan dalam kerangka hak setiap orang alih-alih dipaksakan. Pemberian hak ini tentu dengan menginformasikan lebih dulu pilihan kontrasepsi apa saja yang tersedia secara lengkap, sehingga mereka pun dapat memilih kontrasepsi dengan consent berdasarkan informasi itu.
Di Pulau Jawa, banyak orang muda yang sudah mengetahui pentingnya kontrasepsi akan tetapi banyak di antara mereka khususnya peserta SSKR yang terkejut dengan berbagai pilihan yang tersedia serta ragam fungsinya. Selama ini memang kita hanya sering mendengar dan familiar dengan kondom laki-laki yang memang mudah didapatkan. Selain itu, ketimpangan relasi kuasa masih berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Bagaimana perempuan cenderung lebih pasif dalam memilih metode kontrasepsi dan bergantung pada laki-laki. Banyak peserta yang bercerita bahwa mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kondom karena pasangan mereka beranggapan kondom laki-laki mengurangi gairah seksual. Benar bahwa akses kontrasepsi untuk orang muda yang sudah aktif secara seksual masih sulit dan terbatas.
Lantas bagaimana solusinya? Mengingat bahwa pembangunan serta pembuatan kebijakan sepertinya belum berpihak dan belum menjadikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi orang muda sebagai agenda penting yang harus mulai dibicarakan. Hal tersebut dapat dimulai dari kesadaran terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi oleh orang muda. Edukasi dapat dilakukan secara bertahap dan sedini mungkin, dimulai dari pemetaan tubuh hingga pengenalan pada HKSR. Pemberian pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi untuk orang muda sebenarnya sudah sangat siap, pendidikan tersebut dapat diberikan berdasarkan pengalaman mereka, ruang aman dalam pembelajaran juga amat penting agar menciptakan pengalaman belajar kesehatan seksual reproduksi yang menyenangkan dan tepat. Untuk teman-teman yang ingin mengetahui jenis-jenis alat kontrasepsi atau mungkin masih bingung dengan pilihan-pilihan yang ada, tunggu artikel kami selanjutnya yang akan mengupas tentang jenis dan ragam alat kontrasepsi ya!
Penulis : Maya & Albertine Darasita