“Hari itu di Obi, satu lagi ibu telah gugur. Ibu yang mengalami pendarahan saat melahirkan, air ketubannya sudah habis begitu pula bayinya. Akan tetapi perjalanan yang harus ditempuh sangatlah panjang, berdurasi 24 jam. Memakan waktu sehari untuk mencapai puskesmas terdekat di Kabupaten Bacan, sehari terombangambing di atas laut. Namun sayangnya nyawanya tidak bisa diselamatkan. Hal tersebut sebenarnya sangat bisa dihindari, jika aktor-aktor pembuat kebijakan menaruh perhatian mengenai akses kesehatan reproduksi perempuan.”
Kisah di atas merupakan satu dari penemuan Tim Samsara di daerah Indonesia Timur, tepatnya di Obi, Maluku. Mungkin pengalaman mengenai perjuangan mengakses fasilitas kesehatan yang layak sudah jarang kita temui di daerah urban atau perkotaan, terlebih untuk menyelamatkan nyawa namun masih kerap terjadi di daerah rural, terutama di bagian Indonesia Timur dan Tengah. Hal tersebut disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata.
Hari ini, Tanggal 15 Oktober merupakan International Day of Rural Women (Hari Perempuan Pedesaan Sedunia). Tim Samsara berbagi pengalaman mengenai keadaan aktual akses terhadap layanan kesehatan reproduksi di daerah rural Indonesia seperti Maluku dan sekitarnya, Papua dan Sulawesi Barat. Perempuan daerah rural sangatlah dekat dengan alam bahkan memiliki peran besar dalam keseimbangan alam dan ketahanan pangan, kita berhutang banyak pada mereka. Sayangnya, tidak jarang mereka di-objektifikasi sebatas sebagai objek pembangunan, seakan tidak memiliki suara mereka sendiri. Kebijakan yang dibuat juga tidak jarang tidak tepat sasaran, tidak memperhitungkan mereka dan bahkan berbahaya bagi mereka.
Pentingnya Melibatkan Perempuan dalam Pembuatan Kebijakan
Salah satu dari sekian banyak tantangan perempuan di daerah pedesaan adalah akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kesulitannya memang berakar dari ketimpangan gender, di mana perempuan dianggap sebagai The Second Sex, warga kelas dua yang sering tidak dianggap dan tidak diperhitungkan. Konsekuensinya, perempuan direduksi menjadi sekadar fungsi biologis (reproduksi) dan domestik. Hal ini sampai berimbas pada kematian perempuan dan anak. Selain itu, norma sosial yang berlaku dan stereotip gender juga membatasi ruang gerak perempuan pedesaan.
Berdasarkan hasil penemuan pada Satelite Workshop Samsara dengan bidan yang fokus di wilayah Timur masalah utamanya adalah: sumber daya yang terbatas, akses yang minim serta pembangunan yang tidak merata. Hal tersebut belum menjadi fokus dari pembuatan kebijakan sehingga dampaknya Angka Kematian Ibu (AKI) meningkat dari tahun ke tahun, bahkan banyak sekali kasus yang luput atau tidak tercatat, terutama di desa-desa kecil dimana hal tersebut sudah sering terjadi. Di Sulawesi Barat tepatnya di Mamuju Utara, Tim Samsara mendapati bahwa isolasi dan keterbatasan teknologi informasi menjadi salah satu hambatannya.
Perempuan-perempuan di Mamuju Utara sampai sekarang masih belum mendapatkan informasi yang tepat dan memadai terkait kontrasepsi, bahkan untuk mereka yang sudah menikah sekalipun. Aktor-aktor penting dalam penyuluhan kontrasepsi seperti tenaga kesehatan rupanya belum sadar sepenuhnya akan pentingnya kontrasepsi. Tidak jarang mereka menolak untuk membicarakan hal itu, masih mempercayai mistifikasi terkait kontrasepsi (misal: pemasangan/konsumsi kontrasepsi dapat menyebabkan rahim kering dan kemandulan). Hal tersebut terjadi karena stigma yang kuat masih dipercayai oleh masyarakat.
Seperti di sebagian besar daerah pedesaan, di Maluku dan Papua, regulasi terkait pembangunan di kampung masih mengabaikan pemenuhan hak perempuan dalam mengakses pembangunan. Maluku contohnya, semua akses informasi terpusat di Ternate sebagai kota besar. Sistem pembangunan yang masih sangat tersentralisasi berdampak pada desa-desa di Halmahera yang dengan kondisi geografis sedemikian rupa (kepulauan) dipersulit dengan fasilitas yang minim. Perempuan yang ingin memeriksakan kondisi kesehatannya dihadapkan dengan tantangan beragam: transportasi antar-pulau, pembagian waktu (perempuan memegang ranah domestik dan harus bekerja di kebun) hingga keadaan ekonomi.
Begitu pula tenaga medis yang menangani. Dalam workshop yang diadakan Samsara, bidan-bidan yang bertugas mengaku masih minim sumber daya mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Informasi yang beredar juga terbatas, kurang tepat dan tidak akurat karena disampaikan melalui mulut ke mulut. Padahal dalam memilih kontrasepsi harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing perempuan karena tubuh perempuan berbeda. Saat pelatihan bidan di 8 Kabupaten dilangsungkan, bidan-bidan berbagi pengalaman mengenai pelayanan door to door yang dilakukan untuk sosialisasi terkait Kematian Ibu dan Anak. Tantangan yang mereka hadapi paling dominan merupakan keterbatasan geografis. Dalam satu kecamatan terdapat banyak desa yang berjauhan dan untuk mengaksesnya harus ditempuh melalui jalur laut dan bergantung dengan kondisi alam. Salah satu bidan di Raja Ampat mengaku harus melewati tebing dan jurang ketika melaksanakan tugas.
Selain tantangan geografis dan kontur daerah, bidan mengalami tantangan dalam melakukan diseminasi informasi. Salah satunya karena mereka menyandang status sebagai “orang asing”. Berangkat dari fakta bahwa perempuan daerah rural lebih mempercayakan dukun untuk urusan kontrasepsi (ramuan tradisional), kehamilan hingga persalinan. Bidan tidak mendapat tempatnya. Ibu yang hamil lebih memilih dan mempercayai dukun, hal tersebut didasari oleh rasa aman, percaya dan faktor kedekatan emosional terhadap dukun setempat dan sebaliknya, kepercayaan semacam itu tidak dapat didapatkan dari bidan yang rata-rata berasal dari luar. Penempatan bidan juga tidak mempertimbangkan banyak faktor esensial lainnya seperti: distribusi yang tidak merata, di berbagai desa di Maluku hanya tersedia satu bidan atau maksimal 2 bidan untuk 100 keluarga. Akibatnya, bidan kewalahan dalam menangani semua perempuan yang membutuhkan.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ketika bidan berhasil mendapat kepercayaan untuk menangani ibu, wewenang mereka terbatas. Beberapa kasus kematian ibu yang terjadi disebabkan akibat masalah administrasi seperti: bidan tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan surat rujukan. Sedangkan, dokter sedang tidak bertugas. Pada akhirnya ibu yang mengalami komplikasi karena keguguran atau melahirkan terlambat mendapatkan penanganan. Permasalahan ini berputar pada penempatan jasa layanan yang kurang tepat. Bidan yang dianggap garda terdepan masih terhimpit peraturan tidak tepat. Peraturan yang berlaku tidak tepat sasaran dan tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan bagi bidan dalam bertugas. Bidan bahkan dipermasalahkan jika dianggap “menyalahgunakan” perannya.
Perempuan Pedesaan dan Keseimbangan Alam
Perusahaan besar dan orang di daerah perkotaanlah yang paling banyak berkontribusi pada perusakan alam namun perempuan desa yang harus pertama kali menerima dampaknya. Contohnya perempuan transmigran Bali di Sulawesi Barat yang kesehariannya memikul beban ganda, yaitu di ranah domestik dan bekerja di kebun. Pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak membutuhkan air. Akan tetapi, akibat hadirnya perusahaan sawit yang membabat habis hutan di pedesaan, kualitas air menurun bahkan limbah-limbah dari perusahaan besar pengolahannya diabaikan dan dibuang secara tidak bertanggung jawab hingga berakhir merusak ekosistem.
Berbicara mengenai ekosistem, korporasi-korporasi bertanggung jawab paling besar dalam pengrusakan lingkungan. Seperti di Tabobo, Maluku terdapat anak berusia 6 tahun yang meninggal akibat infeksi limbah merkuri. Sebelumnya, Tabobo menjadi penghasil ikan teri untuk dijual ke Ternate. Semenjak tercemarnya laut dan pesisir, penduduk berhenti memakan ikan. Dapur mereka dirusak dan dirampas dari mereka. Kisah ini dapat ditemukan di buku “Tabobo: Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas”.
Perjuangan untuk melawan perubahan alam tidak ada habisnya bagi perempuan pedesaan. Bahaya yang mengintai semakin hari kian beragam. Seperti kisah dari Maluku, bagaimana ibu melahirkan rentan terhadap berbagai komplikasi akibat infeksi paru-paru. Infeksi yang terjadi tentu berasal dari lingkungan berdebu akibat hutan dibabat habis. Pembabatan hutan kemudian dijadikan perkebunan sawit (luasnya sekitar 11.930 hektar).
Dampak kerusakan ekologis lain: hujan menyebabkan lumpur sehingga menjadi medan yang menantang bagi perempuan yang membutuhkan pertolongan darurat. Infrastruktur yang telah dibangun, seperti jalan rusak karena dilewati oleh truk-truk pengangkut sawit. Fasilitas kesehatan dengan jarak yang berjauhan satu sama lain mempersulit perempuan untuk mendapatkan kesehatan yang layak. Salah satu dari banyak kasusnya adalah seorang ribu yang harus kehilangan nyawa akibat pendarahan yang dialaminya selama perjalanan ke puskesmas terdekat. Membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perjalanan akibat jalan yang berlubang karena dilewati alat-alat berat setiap harinya.
Pengalihfungsian lahan juga merupakan tantangan perempuan desa dalam ketahanan pangan. Perempuan desa menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi. Contohnya perempuan di Kao, Halmahera Utara yang beralih profesi dari bertani dan berkebun menjadi buruh di tambang emas. Kerja berat serta tanggung jawab ganda menghantui perempuan-perempuan buruh, belum lagi upah yang didapat merupakan upah minimum.
Dari berbagai tantangan di atas penting untuk melibatkan perempuan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Perempuan pedesaan terpaksa menelan apa yang tidak mereka tanam dan apa yang telah mereka tanam dirampas di hadapan mereka. Dalam hal ini perempuan pedesaan menjadi yang paling terdampak akibat krisis ekologis, kelangkaan air, kelangkaan pangan, kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap isu gender, pembangunan dan lain-lain. Untuk itu, kebijakan pemerintah terkait HKSR seharusnya diperhitungkan sehingga pembangunan di daerah rural tidak melulu terkait infrastruktur yang menguntungkan korporasi besar melainkan mempertimbangkan masyarakat khususnya perempuan. Untuk menuju ke arah itu, diperlukan keterlibatan perempuan terutama perempuan pedesaan dalam menyusun kebijakan.