Beberapa waktu sebelumnya aku mencoba mencari berbagai referensi review terkait film Unpregnant sebagai bahan untuk membuat tulisan ini. Film itu sendiri sudah kutonton lebih dulu beberapa bulan yang lalu. Banyak review kutemukan membahas lebih kurang hal yang sama tentang Unpregnant, yaitu film road trip komedi dengan aborsi sebagai tema utama. Bahkan, rata-rata review di Indonesia lebih banyak membicarakan ketidaksetujuan mereka dengan isu yang diangkat dalam film tersebut ketimbang aspek strukturalnya. Semua review itu sebenarnya sudah bicara banyak tentang Unpregnant, namun tetap saja aku merasa perlu membicarakan hal lain yang kutemukan dalam salah satu adegan di film itu.

Unpregnant adalah film dengan genre drama komedi yang disutradarai oleh Rachel Lee Goldenberg. Cerita dalam film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ted Caplan and Jenni Hendriks. Cerita dalam film berpusat pada remaja 17 tahun bernama Veronica (Haley Lu Richardson) yang mengalami kehamilan tidak direncanakan. Bagaimanapun, KTD adalah satu hal yang sangat bertentangan dengan segala citra baik yang berusaha dibangun Veronica terkait dirinya, dan tentu saja dia merasa sangat tidak siap menjadi orang tua di usia 17 tahun saat berbagai kesempatan baik untuk mewujudkan mimpinya ada di depan mata. Jadilah Veronica memutuskan untuk melakukan aborsi.

Veronica mencari berbagai informasi yang dibutuhkan untuk dapat mengakses layanan aborsi dengan metode yang aman. Sialnya, remaja yang ingin melakukan aborsi di Missouri – tempat tinggal Veronica– harus mendapatkan izin orang tua dan ini mustahil bagi Veronica mengingat betapa konservatif kedua orang tuanya. Akhirnya Veronica memutuskan untuk ke Albuquerque karena itu adalah negara bagian terdekat yang menyediakan layanan aborsi aman tanpa membutuhkan izin orang tua. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu lebih kurang 14 jam dengan mobil dan Veronica menyiapkan semua sebaik mungkin.

Setelah kehilangan harapan pada pacar dan teman-teman satu gengnya yang menurut Veronica tidak dapat memberikan dukungan yang dia butuhkan atas keputusannya, Veronica menuju ke Bailey sebagai satu-satunya harapan terakhir untuk menemaninya ke Albuquerque. Bailey adalah teman kecil Veronica. Mereka tidak lagi berteman sejak lama karena satu dan lain hal. Singkat cerita, Bailey setuju menemani Veronica dan perjalanan mereka dimulai.

Perjalanan lintas negara bagian yang dilakukan Veronica dan Bailey tentu saja tidak serapi rencana yang telah disusun Veronica sebelumnya. Ada banyak halang-rintang sepanjang perjalanan yang kira-kira merepresentasikan lapis demi lapis kesukaran bagi orang yang ingin mengakses layanan aborsi aman. Namun, halang-rintang itu pula yang membuat pesan untuk saling mendukung terutama bagi sesama perempuan menjadi begitu kental dalam film ini hingga akhirnya kedua remaja itu menyadari mereka mampu melalui semuanya karena bersama.

Ada satu adegan menarik di akhir cerita setelah Veronica berhasil melakukan aborsi, yaitu ketika ia berbicara dengan ibunya mengenai aborsi yang telah ia lakukan. Sebelumnya saat di Albuquerque, Veronica memutuskan menelpon ibunya karena ia dan Bailey tidak lagi punya kendaraan dan cukup biaya untuk pulang ke Missouri. Saat tiba di rumah, akhirnya ada dialog antara Veronica dan ibunya mengenai apa yang telah terjadi. Ibu Veronica dengan tegas mengatakan bahwa aborsi bukanlah pilihan yang akan dia ambil sehingga mungkin dia tidak akan dapat memahami apa yang telah dilakukan anaknya, namun rasa cintanya sebagai orang tua pada Veronica tetap melebihi itu semua. Bagiku, dialog dalam adegan ini terasa sangat intens dan berjejak.

Tidak semua orang tua dapat menjadi seperti Ibu Veronica ketika anaknya memutuskan untuk memilih aborsi, namun bukankah yang dilakukan Ibu Veronica memang sudah sebagaimana harusnya orang tua berlaku?

Aku tidak bermaksud membandingkan orang tua satu dengan lainnya. Tidak ada orang tua yang sempurna sebagaimana tidak ada anak yang sempurna pula. Namun, bukankah mendukung anak dan menghormati pilihan yang mereka buat atas tubuh dan dirinya adalah tugas utama orang tua alih-alih mendikte anak untuk menjadi sesuatu di luar keinginan mereka? Tidak perlu menjadi orang tua yang sempurna untuk dapat mendukung dan menghormati pilihan anak, cukup menjadi orang tua yang belajar untuk melakukannya.

Adegan akhir itu menarikku kembali ke awal cerita, ketika Veronica menemukan hasil tes kehamilannya positif dan akhirnya harus menempuh 1.600 KM perjalanan lintas negara untuk mendapatkan layanan aborsi aman yang tidak memerlukan izin orang tua. Rasa-rasanya, hampir semua adegan halang-rintang dalam film Unpregnant menghilang di kepalaku ketika membayangkan seandainya sejak awal orang tua Veronica mau mendukung keputusannya dan memberikan persetujuan untuk melakukan aborsi. Mungkin Veronica tidak perlu menghadapi berbagai kesulitan dalam perjalanannya jika sejak awal Veronica mampu membicarakan situasinya dengan orang tuanya.

Adegan akhir film kemudian menarikku lebih jauh kembali ke dunia yang saat ini aku tinggali. Dunia di mana situasi jauh lebih buruk sebab tidak semua orang memiliki teman seperti Bailey atau orang tua seperti Ibu Veronica. Dunia di mana banyak remaja usia sekolah kehilangan nyawa akibat melakukan aborsi tidak aman sebab takut dimarahi orang tuanya saat ketahuan sedang mengalami kehamilan tidak direncanakan. Dunia di mana kebanyakan orang tua memilih menyelamatkan nama baik keluarga atau berdalih tidak ingin menambah dosa dengan cara menikahkan saja anak-anaknya yang mengalami kehamilan tidak direncanakan tanpa peduli konsekuensinya.

Mungkin jika orang tua mau belajar mendengarkan dan tidak menghakimi situasi maupun pilihan anaknya, akan lebih mudah bagi anak untuk menghadapi kehamilan tidak direncanakan dan menentukan pilihan terbaik untuk diri mereka. Mungkin jika orang tua dapat mendukung apapun pilihan anaknya serta mengesampingkan nilai personal terhadap pilihan itu, akan lebih banyak nyawa anak yang dapat diselamatkan dari ancaman bahaya aborsi tidak aman. Mungkin jika orang tua dapat menjadi pihak pertama yang memberikan ruang aman bagi anaknya, akan lebih membantu bagi banyak anak untuk menyembuhkan luka emosional dan trauma yang bisa saja muncul pasca aborsi. Mungkin anak tak perlu melalui begitu banyak kekhawatiran dan kesulitan seperti Veronica hanya untuk memperjuangkan pilihan terbaik bagi dirinya.

Menjadi orang tua memang bukan pekerjaan mudah, sebab itu jangan paksa anak yang belum siap dengan kehamilannya untuk menjadi orang tua. Ketika anak mengalami kehamilan tidak direncanakan, orang tua harusnya menjadi tempat pertama yang dapat dijangkau anak untuk mencari bantuan. Ketika anak memutuskan untuk melakukan aborsi, orang tua harusnya menjadi pihak pertama yang mengusahakan layanan terbaik untuk anak. Tidak perlu memaksakan diri untuk memahami apa yang menjadi pilihan anak jika itu terasa terlalu sulit. Cukup berikan kepercayaan dan dukungan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here