Menengok ke belakang tentang makna Hari Ibu sebagai hari lahirnya perjuangan kaum
perempuan Indonesia, pada kongres perempuan pertama di Yogyakarta pada tanggal 22
Desember 1928, sebagai tanda kebangkitan perempuan untuk memperjuangkan keadilan.
Namun sayangnya, di tengah seruan keadilan untuk perempuan, kesehatan mental
perempuan masih sering terabaikan, terutama pada seorang ibu. Masih kita jumpai perilaku bullying pada ibu melalui perkataan menghakimi dan menyudutkan yang membuat orang yang menerima perlakuan tersebut merasa malu, tidak berharga, dan tertekan. Perilaku ini dikenal dengan istilah Mom Shaming.
Beberapa waktu lalu viral sebuah unggahan video curhatan seorang ibu rumah tangga, yang mengakui bahwa depresi pada ibu rumah tangga itu nyata. Sambil menggendong anaknya, ia menangis dan bercerita bahwa betapa berat kehidupan seorang ibu rumah tangga bagidirinya yang sebelumnya berprofesi sebagai seorang reporter yang kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja setelah melahirkan karena ingin fokus merawat anak agar tidak kehilangan moment golden age sang buah hati. Menurutnya, menjalani masa penyesuaian dari seorang ibu bekerja menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah karena banyak perubahan hidup yang ia hadapi berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Ia merasa kehilangan teman dan banyak mengalami perubahan waktu yang berbeda. Belajar memahami segala tingkah laku bayi yang merupakan dunia baru baginya, bukanlah hal yang mudah. Namun, banyak orang yang masih membandingkan dan mengomentari kehidupan ibu rumah tangga yang selama ini dianggap remeh dan dipandang sebelah mata.
Berbeda halnya dengan yang dialami oleh, sebut saja Bunda C, yang pernah mengalami baby blues setelah menjadi korban mom shaming dari orang terdekat karena mempermasalahkan proses kelahirannya yang tidak melalui proses normal. Padahal, segala cara sudah ia lakukan di masa kehamilannya untuk bisa melahirkan normal. Selama 2 minggu pasca melahirkan, ia terus menangis, marah, dan kesal hingga melampiaskan kekesalannya pada suami dan anaknya yang baru lahir, bahkan sempat ingin mencoba lari dari rumah dan terpikir untuk bunuh diri. Ia merasa menjadi ibu yang gagal karena mendengar perkataan dari kerabat yang menyudutkannya sebagai ibu yang tidak mau susah
karena memilih kelahiran Caesar dan dianggap belum menjadi ibu yang seutuhnya.
Pelaku Mom Shaming dari orang terdekat
Penilaian masyarakat seringkali membandingkan kehidupan seorang ibu dengan lainnya atau dengan dirinya sendiri berdasarkan kriteria tertentu di masyarakat yang dianggap memiliki nilai kebenaran. Komentar menghakimi terkait issue pengasuhan, gaya hidup, proses kelahiran dan pendidikan anak memang masih sering terjadi di sekitar kita. Sayangnya, hal ini masih sering dianggap sepele, padahal dampaknya bisa berbahaya bagi kesehatan mental seorang ibu.
Banyak ibu yang mengalami fenomena mom shaming justru secara langsung dari orangorang terdekat, baik keluarga maupun kerabat. Hasil survey dari mamapapa.id yang dikutip dari Kompas.Com (2020) menyatakan bahwa sebanyak 84% ibu pernah mengalami mom shaming dari orang-orang terdekat, 45,4 % dari mertua, 32,9% dari teman dan 17,4 % dari orang tak dikenal dan 4,3 % dari pasangan. Namun sayangnya di era teknologi maju seperti sekarang ini, mom shaming justru makin sering terjadi di media sosial dan ironisnya hal itu banyak dilakukan oleh kaum perempuan.
Faktor penyebab Mom Shaming
Hasil survey Stephanie Barnhart, pendiri Social Minded Media Group dan editor Mommy Nearest, New York, yang dikutip dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (2018). Dinas Pendidikan Dan Olah Raga (2018) menyatakan beberapa faktor penyebab seseorang melakukan mom shaming, salah satunya adalah perasaan marah dan kecewa yang
dilampiaskan kepada orang lain dengan cara menyudutkan dan mengucapkan sesuatu yang mengarah pada mom shaming.
Dalam teori psikoanalisa, pelampiasan emosi adalah salah satu bentuk pertahanan seseorang ketika merasa marah, kecewa dan cemas akan sesuatu dimana ia cenderung melampiaskannya kepada orang lain. Seseorang yang menekan perasaan emosinya ke dalam diri sendiri, pada batas tertentu akan mencari celah jalan keluar yang berlawanan,
sehingga kemarahan dan kekecewaan tersebut dilampiaskan kepada orang lain (Alwisol, 2017). Studi penelitian menyatakan jika seseorang yang mengalami perilaku mom shaming cenderung membalas pelaku dengan shaming kepada yang lainnya. Penyerangan balik dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri karena merasa sudah melakukan usaha terbaik (Adiyanto & Afiati, 2020). Hal ini menjadi lingkaran mata rantai yang sulit terputus.
Faktor lainnya menurut Barnhart, kurangnya pengakuan dan penerimaan dari orang lain, yang menyebabkan kekecewaan, marah dan perasaan tidak berharga, sehingga menimbulkan rasa cemburu pada orang lain yang memiliki kelebihan. Di sinilah pentingnya seorang ibu untuk menerima dan mencintai dirinya apa adanya. Penerimaan yang
seutuhnya pada diri sendiri tidak lepas dari penerimaan dan penilaian orang lain. Salah satu tokoh psikohumanistik, Carl Rogers, mengatakan bahwa penerimaan positif tanpa syarat dari orang lain akan membentuk seseorang memiliki perasaan berharga dan konsep diri yang positif.
Persepsi peran gender di masyarakat
Pada kultur budaya di Indonesia, penerimaan tentang perempuan masih terbelenggu oleh tradisi. Penilaian tentang perempuan yang ideal tidak lepas dari peran kultural yang menjadi tolak ukur penilaian di masyarakat. Perempuan yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, dinilai sebagai perempuan yang kurang ideal dan dianggap gagal. Nyatanya, dalam menjalankan berbagai peran sebagai seorang perempuan tidak lepas dari segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Hal ini yang perlu diterima sebagai bagian dari
penerimaan diri. Oleh karenanya, seseorang perlu terus belajar untuk menyelaraskan diri antara harapan dan kenyataan. Keselarasan itulah yang akan membuat kita bisa memahami dan mentoleransi tingkah laku orang lain. Menurut Rogers, seseorang cenderung memunculkan perilaku maladaptive ketika tidak bisa menerima kekurangan yang ada pada
dirinya. Penerimaan diri bagi seorang ibu tidak hanya penting untuk menjaga kesehatan mental tetapi juga untuk menghindarkan diri terjebak dalam lingkaran mata rantai sebagai korban dan pelaku Mom Shaming.
Standart penilaian masyarakat tentang perempuan yang ideal sebagai istri dan ibu rumah tangga sering dijadikan tolak ukur dalam melakukan penerimaan diri. Stigma di masyarakat seringkali menimbulkan perasaan bersalah pada perempuan ketika tidak mampu menjalankan perannya seperti yang diharapkan. Masyarakat perlu membuka wawasan dan
membentuk sudut pandang baru bahwa setiap orang memiliki keterbatasan dan cara masing-masing dalam menjalankan perannya, tidak terkecuali seorang ibu. Dukungan untuk menjadi ibu yang bahagia jauh lebih bermakna daripada menuntutnya menjadi ibu yang sempurna.