Topik tentang aborsi di Indonesia selalu terdengar sangat familiar sekaligus liyan. Ketika bicara tentang aborsi, hampir semua orang akan merasa begitu akrab dengan berbagai berita buruk, ancaman pidana, dan kengerian yang sengaja diromantisasi demi menebarkan ketakutan. Sementara di sisi yang lain, hampir semua orang juga tak pernah tahu bahwa aborsi telah diakui sebagai bagian dari layanan kesehatan yang seharusnya diberikan dengan kualitas terbaik, dilakukan dengan aman, dan dapat diakses oleh semua yang membutuhkannya.
Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia (sebagaimana di seluruh dunia) seperti silang-sengkarut yang tak ada habisnya sejak zaman baheula. Banyak orang memilih untuk tak terlibat dalam gumpalan benang kusut yang tak tahu di mana ujung pangkalnya itu dan menelan mentah-mentah informasi simpang siur yang disodorkan media, pun regulasi timpang yang dijejalkan oleh pemerintah dan negara. Akibatnya, stigma mengenai aborsi begitu langgeng di masyarakat yang sejak awal hampir tak diberikan celah untuk melihat isu ini dari sudut pandang yang lain.
Di Indonesia sendiri, aborsi kerap ditampilkan sebagai tindakan amoral yang harus dilawan dan diberangus dengan segala cara. Sialnya, negara dengan segala kuasanya juga turut serta mengupayakan cara-cara terbaik untuk memberangus akses aborsi yang aman, salah satunya melalui kriminalisasi. Bahkan, regulasi aborsi di Indonesia ditempatkan dalam KUHP yang mengatur tentang tindak-tindak pidana. Meski secara hukum di Indonesia aborsi masuk dalam kategori legal bersyarat, tetap saja tidak dapat menyangkal fakta bahwa aborsi di Indonesia dianggap sebagai tindak kriminal.
Negara jelas-jelas latah dalam menempatkan posisinya. Pilihan individu atas tubuh mereka tak seharusnya menjadi urusan negara, termasuk ketika pilihan itu adalah melakukan aborsi. Satu-satunya tugas negara adalah melindungi dan memastikan bahwa tiap individu mendapatkan pemenuhan atas hak-hak mereka, termasuk akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang utuh di mana aborsi aman menjadi salah satu bagian di dalamnya. Maka itu, perlu adanya gerakan masif untuk mendorong negara menghentikan segala bentuk kriminalisasi atas aborsi di Indonesia.
Di tengah carut-marut regulasi aborsi yang ada di Indonesia, mulai dari PP 61 tahun 2009 hingga KUHP terbaru yang isinya tak jauh-jauh dari kriminalisasi aborsi, sudah waktunya kita meninjau ulang perihal seberapa jauh regulasi yang ada berpihak pada kepentingan warga negaranya. Aborsi adalah pilihan, terlepas aksesnya legal atau tidak. Aborsi adalah kebutuhan, terlepas bagaimana sikap negara dengan berbagai produk hukumnya.
Meskipun tidak ada data yang pasti, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan angka aborsi ilegal di Indonesia mencapai 22 kasus per 1.000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menunjukkan setidaknya terdapat 69,4 juta perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia. Jika berbasis pada angka BPS dan perkiraan WHO, setidaknya ada sekitar 1.526.800 perempuan yang melakukan aborsi ilegal. Kriminalisasi yang terus dilakukan negara pada akhirnya tidak hanya menjadi jalan buntu yang baru, tapi lebih buruk menyebabkan tingginya angka kematian akibat penolakan atas layanan aborsi dan aborsi tidak aman. Lantas, atas semua kekacauan ini, apakah kita masih berharap negara dapat memperbaiki situasi melalui legalisasi aborsi?
Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah legalisasi aborsi kemudian diperlukan untuk menjawab permasalahan yang ada di Indonesia terkait akses aborsi aman? Legalisasi aborsi artinya menjadikan aborsi sebagai tindakan yang disetujui oleh negara dan tidak mencederai regulasi yang ada. Tentu saja, legalisasi aborsi dapat membantu memudahkan banyak orang dalam mengakses layanan aborsi yang lebih ideal, tapi legalisasi aborsi nyatanya tak mampu menjawab permasalahan yang ada.
Sebelumnya telah dikatakan bahwa aborsi di Indonesia tidak sepenuhnya ilegal, tapi masuk dalam kategori legal bersyarat. Artinya, aborsi legal dilakukan, tapi hanya untuk beberapa situasi saja seperti korban tindak pidana kekerasan seksual (dengan batasan usia kehamilan) dan kondisi darurat medis. Namun, alih-alih menjawab permasalahan terkait akses aborsi yang aman, legalisasi aborsi justru memunculkan masalah baru seperti peluang negara untuk melakukan kriminalisasi dan pembatasan akses aborsi itu sendiri. Hal ini bahkan sudah dapat dilihat dengan gamblang dalam setiap aturan aborsi yang ada di Indonesia saat ini. Sekali lagi, legalisasi aborsi nyatanya tak mampu menjawab permasalahan yang ada.
Dekriminalisasi aborsi menjadi tuntutan yang lebih relevan untuk situasi aborsi di Indonesia saat ini. Secara sederhana, dekriminalisasi aborsi dapat dipahami sebagai penghapusan sanksi kriminal atas aborsi dari berbagai produk hukum yang ada, dan mereformasi aturan-aturan untuk mengupayakan pemenuhan akses aborsi aman. Dekriminalisasi atas akses aborsi yang aman perlu dilakukan karena aborsi merupakan bagian dari layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang utuh. Sebagaimana layanan kesehatan lainnya, aborsi aman seharusnya dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya tanpa ada bayang-bayang ketakutan akan kriminalisasi.
Mendesak negara untuk berhenti melakukan kriminalisasi pada siapa saja yang memilih, mengakses, maupun menyediakan layanan aborsi dengan metode aman di Indonesia adalah hal yang saat ini perlu kita usahakan bersama. Dekriminalisasi aborsi akan menjadi pintu awal untuk mengupayakan pelayanan aborsi dengan metode aman yang aksesibel untuk mendukung pemenuhan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif. Satu-satunya regulasi yang perlu dilakukan negara terkait aborsi adalah menjamin tersedianya layanan aborsi aman yang aksesibel, berkualitas, dan bebas ancaman bagi siapa saja yang membutuhkannya.