Proses yang dialami perempuan tak pernah usai. Dari kelahiran hingga tutup usia, tak ada satu peristiwa pun dapat diabaikan. Dari meraba pengetahuan, budaya, nilai moral hingga menubuhkannya dalam aktivitas hidup sebagai proses ‘menjadi’. Proses ‘kemenjadian’ ini merupakan sebuah harapan dan atau mimpi perempuan.
Seorang putri yang cantik hidup dengan ibu tiri atau seorang anak tak berpunya tinggal bersama ibunya dan lain sebagainya merupakan pembuka dari berbagai dongeng. Waktu tak begitu penting disetiap kelahirannya. Cinderela, Malin Kundang, Tangkuban perahu, Sangkuriang, Roro Jonggrang hingga Putri Salju, pernah mendengarnya? Atau fabel Kancil Nyolong Timun dan berbagai dongeng rakyat lainnya. Kesemua cerita dongeng pasti mempunyai muasal, laiknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Baik dari latar belakang penciptaannya hingga pesan moral yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Dalam sebuah dongeng, perempuan mempunyai posisi yang perlu dikenali dengan jeli. Citra yang dibangun menanamkan nilai tentang kecantikan, keberuntungan, kutukan, kebencian, kemurkaan, dan lain sebagainya. Citra tersebut menyembunyikan nilai dan menjadi perumpamaan yang seolah masuk akal. Citra diserap kemudian menjadi alat stereotiping. Perempuan yang baik hati bak Cinderella yang siap dilamar Pangeran. Ibu yang doanya dikabulkan karena menunggu anaknya pulang. Bocah yang kerja keras akan mendapat keajaiban, dan lain sebagainya. Nilai, stereotipe dan citra merupakan imajinasi kultural yang tanpa ijin minta dipenuhi dan diikuti. Tidak ada yang salah dengan imajinasi kultural tersebut, yang keliru adalah ‘bermimpi’ tanpa tahu harus kemana. Tanpa tahu ‘bagaimana nasib ibu dan saudara tiri Cinderella’, ‘bagaimana nasib istri Malin Kundang’, serta bagaimana menanggapi kenyataan yang terus bergulir tak terduga.
Dalam imajinasi kultural selalu ada garis tegas antara yang buruk dan yang baik. Yang buruk selalu jatuh dan yang baik selalu berakhir bahagia. Apakah ini takdir atau sebab-akibat yang diinginkan Semesta? Boleh menjawab bukan semuanya.
Kenyataan mempunyai segala macam pilihan. Terlepas dari buruk atau baik, ada hasrat untuk bertahan pada ‘mimpi’. Sebab dan akibat tentu saja jelas akan terjadi. Misalnya, jika bermimpi menjadi selebgram, artinya mesti menarik follower sebanyak mungkin. Misalnya, lagi, untuk menentukan karir sebagai dokter artinya harus menempuh pendidikan sekian tahun dan menggali tawaran pekerjaan sedalam-dalamnya. Mungkin saja masih banyak realitas lain yang mendudukkan perempuan pada pilihan. Harus diakui bahwa pilihan tersebut semata-mata mempunyai pertimbangan untuk ‘menjadi’.
Jika saja imajinasi kultural yang didongengkan dipegang secara kuat. Maka mimpi perempuan diikat oleh tali-tali nilai. Artinya, segala macam penanda tentang perempuan yang baik harus lulus kerja domestik, yang cantik yang mempunyai tubuh proporsional dengan perawatan bahan alami serta berdandan seminimal mungkin. Berlaku sopan. Tersenyum, dan segala macam penanda lain yang mencitrakan ‘mimpi’ perempuan untuk menyetujui dan menubuhkan imajinasi kultural. Sebuah mimpi yang diarahkan bukan?
Setiap periode atau setiap tangkapan terhadap makna ‘baik’ layak untuk disusun secara arbitrer. Boleh ‘yang baik’ menurut saya ‘tidak baik’ menurut kamu. Ruang kemungkinan ‘bermimpi untuk menjadi’ harus terbuka seluas-luasnya.
Kristeva menjelaskan mengenai yang tak terucap, tak bernama dan teredam. Ketiga bentuk ini hanya bisa diketahui melalui kenyataan. Dongeng dan mimpi kemudian menjadi medium mengucapkan yang tak terucap dan tak bernama. Sesuatu hal yang tak bernama adalah ‘nilai’ dan ‘menjadi’. Ketika nilai diasosiasikan dengan ‘yang baik’ maka dianggap santun jika tindakan atau aktivitas tersebut menguntungkan. Menguntungkan menurut siapa?
Jejalin ‘nilai’ memang tak sesederhana menjelaskan hitam dan putih. Saat Cinderela tinggal bersama ibu dan dua orang saudara tirinya, ia diikat dengan aktivitas domestik. Pada suatu malam, diam-diam ia datang ke pesta. Cinderela bertemu dengan Pangeran. Pangeran yang mempunyai kekayaan, posisi terpandang dan mampu mengangkat derajatnya. Bukankan ini ‘mimpi’? Apakah perempuan pada umumnya juga bermimpi bertemu dengan Pangeran untuk mendapatkan cukup materi, posisi terpandang dan mengangkat derajatnya? Setiap keinginan akan saling bertemu. Masyarakat yang patuh, punya keinginan besar mengamini imajinasi kultural dalam bentuk nilai-nilai. Mengamini domestifikasi dan mengabaikan keterbukaan hubungan sosial. Sedangkan dalam dongeng bisa digambarkan dengan Cinderela meninggalkan kegiatan domestik dan pergi ke pesta untuk bertemu Pangeran. Saudara dan ibu tirinya juga memimpikan Pangeran yang berpunya dari segi materi dan posisi. Semua sah, boleh.
Lagi-lagi bahasa jadi medium antara kenyataan yang terjadi dan yang tersembunyi. Kenyataan yang terjadi memberi batas pada aktivitas yang dilakukan perempuan dalam proses ‘menjadi’. Kenyataan, ternyata tidak mempunyai kelonggaran seperti yang diduga. Analoginya adalah sosial media. Semakin seseorang ingin membangun citra diluar kenyataan dirinya dengan membangun penanda di sosial media, maka semakin terjerat masuk pada kenyataan yang tersembunyi. Medium gambar dan kata yang merespon permintaan publik diminta menjadi unik. Harus menarik dan lain sebagainya untuk mendapatkan ruang dan ‘like’ dari follower. Akhirnya semakin ingin terlepas dari kenyataan yang terjadi maka akan semakin terjerembab pada kenyataan lain yang tersembunyi.
Pada akhirnya, dongeng dan mimpi merupakan sebuah analogi tentang proses perempuan untuk ‘menjadi’. Menjadi Putri atau Permaisuri, menjadi orang baik atau menjadi diri sendiri, menjadi buruk atau pengutuk. Proses ‘menjadi’ mesti dilewati dan diperjuangkan karena kehidupan tidak melulu hitam dan putih atau baik dan buruk. Proses disusun lewat berbagai kenyataan yang terjadi dan yang tersembunyi, tidak selalu dapat dinilai benar dan salah. Keterbukaan berpikir serta mengutarakan pendapat adalah cara terkecil yang bisa ditempuh. Mari bermimpi bak Cinderela, Saudara dan Ibu Tiri-nya, mbak Menik, mbak Lastri, Ning Ratri ataupun Triani. Mari mendongeng kenyataan dari mimpi perempuan sebagai tahapan menggayuh proses ‘menjadi’.